Floresa.co – Ketika dua tahun lalu menamatkan kuliah Sarjana Pertanian di Politeknik Pertanian Negeri Kupang, Makarius Gasman kembali ke kampungnya di Kabupaten Manggarai, berharap segera dapat pekerjaan.
Ia mengajukan lamaran ke beberapa tempat, namun tidak ada yang segera merespons.
Butuh setahun kemudian ketika pada September 2023 ia mendapat pekerjaan pada bagian administrasi sebuah gudang semen di Reo, Kecamatan Reok.
Namun, ia hanya bertahan sebulan karena “upahnya tidak sesuai dengan beban kerja.”
“Saya kerja dari pukul 08.00 sampai pukul 17.00 Wita dengan upah Rp1,5 per bulan dan tinggal di mes karyawan,” katanya.
Beberapa minggu usai mengundurkan diri, ia mengajukan lamaran ke sebuah perusahaan bidang pertanian. Ia dikontrak tujuh bulan sejak November 2023 sampai Mei 2024 sebagai penyuluh pertanian lapangan.
Perusahaan menugaskannya mendampingi para petani dalam program budi daya jagung di Borong, ibu kota Kabupaten Manggarai Timur.
Namun, kontraknya terpaksa berakhir pada akhir Maret 2024 karena “cuaca tidak mendukung pertumbuhan jagung.”
“Sebetulnya, saya menikmati pekerjaan itu karena sesuai dengan latar belakang saya,” katanya.
Banting Stir
Pengalaman itu membuatnya memutar otak, mencari cara untuk berdaya.
Makarius berasal dari Kampung Teras, Desa Liang Bua, Kecamatan Rahong Utara.
Ia melihat potensi di kampungnya yang “sangat mendukung pengembangan sektor pertanian” karena “tanahnya subur serta airnya cukup.”
Karena itulah, setelah sebulan menganggur, pada awal April 2024, “saya memilih mengembangkan ekonomi kreatif dengan merintis usaha budi daya sayuran.”
Selama dua minggu ia bersama keluarganya menyiapkan dan mengolah lahan sekitar rumah berukuran 25×50 meter yang sebelumnya menjadi sawah tadah hujan.
Bertepatan dengan selesainya musim panen, “pada awal April kami sudah mulai tanam bibit sayuran.”
Mengubah lahan itu untuk menanam sayur merupakan langkah tepat karena hasil sawah tidak memuaskan, katanya.
“Kalau satu petak sayur, uang yang didapatkan bisa mencapai Rp2 sampai Rp3 juta,” kata Makarius.
Sedangkan kalau tetap menanam padi, “untuk satu petak hanya bisa menghasilkan beras satu karung” berukuran 50 kilogram yang kalau dijual sekitar Rp600-700 ribu.
Ia berkata, dulunya lahan itu terdiri dari lima petak sawah dan setiap kali panen menghasilkan antara enam sampai tujuh karung beras.
Budi daya sayur itu menggunakan sistem irigasi tetes agar “menghemat air dan tenaga” dan cocok untuk lahan kering.
“Saya tampung air dari bak mandi. Kalau bak sudah penuh, daripada air dibuang percuma, saya menadahnya di bak yang terbuat dari terpal.”
Beberapa jenis sayur yang ditanamnya adalah sawi putih, labu kuning dan buncis.
Sejak April, ia menanam 1.200 sawi putih pada dua kali masa tanam.
Musim tanam pertama, Makarius menanam 715 sawih putih, tetapi yang menghasilkan uang “hanya 700, yang lainnya mati.”
Ia lalu menjualnya di sekitar Desa Liang Bua dengan harga Rp10 ribu, sehingga penghasilan kotor dari sawi putih Rp7 juta.
Setelah jeda satu setengah minggu, ia kembali menanam 485 sawi putih yang sampai sekarang belum dipanen.
Sawi putih akan dipanen setelah satu setengah bulan, katanya.
Makarius belum memasarkan sayur itu ke luar desa karena “kebutuhan di sini juga sangat tinggi,” terutama saat ada hajatan.
“Memang banyak permintaan dari luar, tetapi stoknya hanya cukup untuk di Liang Bua,” katanya.
Sementara buncis dan jenis sayuran lain belum menghasilkan uang karena “belum banyak yang ditanam dan masih dalam tahap uji coba.”
“Ke depan saya tetap kembangkan.”
Berdaya Sendiri
Pemerintah Kabupaten Manggarai, di bawah era Bupati Herybertus GL Nabit dan wakilnya, Heribertus Ngabut – dikenal H2N – yang memimpin sejak 2021 memiliki Program Petani Milenial.
Digadang-gadang sebagai program unggulan saat kampanye Pilkada 2020, program itu diklaim bagian dari upaya memperkuat sektor pertanian di Kabupaten Manggarai.
Namun, realisasinya jadi sorotan karena tidak ada agenda jelas untuk mendukung pengembangan petani muda.
Padahal, sejak awal Nabit mengklaimnya “bakal menyediakan komoditas strategis sesuai tren pasar,” target yang akan “menjadi salah satu jalan keluar mengatasi pengangguran.”
Selama tiga tahun terakhir, keseluruhan anggaran Program Petani Milenial Rp1.234.573.250, menurut data dari Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan.
Rinciannya Rp265.641.525 pada 2021; Rp505.806.725 pada 2022 dan Rp463.125.000 pada 2023.
Dana itu, umumnya untuk pengadaan bibit tanaman hortikultura dan pengadaan sarana, seperti tandon air, traktor mini, mesin pompa air dan selang air.
Sementara nasib program itu tidak jelas, pasokan sayuran di pasar-pasar di Manggarai umumnya dari daerah lain, seperti Kabupaten Ngada dan Kabupaten Sikka.
Di sisi lain, mengacu pada data Badan Pusat Statistik Kabupaten Manggarai, luas panen tanaman sayur menurun selama periode kepemimpinan H2N.
Dari luas panen yang selalu di atas 700 hektare sebelum 2021, terjadi penurunan drastis selama era H2N, menjadi hanya 464 hektare pada 2021, 497 hektar pada 2022 dan 416 hektare pada 2023.
Produksi sayuran juga menurun pada 2021 dan 2022. Dari 15.846 kuintal pada 2021 menjadi 10.065 kuintal pada 2022.
Makarius menyoroti program itu yang hanya fokus pada pengadaan bibit dan sarana prasarana.
Hal yang tak kalah penting dan seharusnya jadi perhatian pemerintah, katanya, pendampingan terhadap petani, termasuk petani muda.
Pemerintah perlu memastikan adanya fasilitator yaitu penyuluh pertanian lapangan yang sesuai dengan latar belakang pendidikan, kata Makarius.
Namun, menurut pengamatannya, kadang karena kedekatan politik, “pemerintah mengangkat penyuluh pertanian yang bukan jurusan pertanian.”
Pendampingan menjadi krusial karena selama ini, kata dia, para petani menanam berbagai macam tanaman, tanpa menggunakan teknik tertentu.
Prinsipnya “yang penting tanaman itu tumbuh dan dapat menghasilkan uang.”
Dengan pendampingan, jelasnya, para petani mendapat pengetahuan terkait teknik yang lebih efektif.
“Seandainya pemerintah hadir, otomatis masyarakat membiasakan hal yang benar, bukan membenarkan hal yang biasa,” katanya.
Manfaatkan Lahan agar Produktif
Makarius berkata, yang ia lakukan kini adalah bagian dari upaya “harus mulai dulu” dan berharap bisa diikuti oleh warga lain di kampungnya, terutama kaum muda.
“Saya hanya bergerak bersama keluarga dan beberapa teman,” katanya.
Ia berkata, kalaupun tidak untuk bisnis, penting untuk memanfaatkan lahan di sekitar rumah menjadi produktif demi memenuhi kebutuhan sayur rumah tangga.
“Setiap kali membutuhkan sayur, kita tinggal petik saja,” katanya.
Akhir-akhir ini, ia sering mengunggah aktivitas budi daya sayurnya di media sosial.
Ia menyebut hal itu bagian dari edukasi dan ajakan kepada publik untuk bisa sama-sama belajar.
Di tengah kondisi susahnya mencari pekerjaan usai kuliah seperti yang ia alami, kata Makarius, merintis usaha sendiri menjadi jalan yang lebih mungkin.
Editor: Ryan Dagur