Mempersoalkan Cara Mengukur Pertumbuhan yang Melulu Soal Kapital, Infrastruktur

Ketika yang jadi alat ukur hanyalah Produk Domestik Bruto, kekayaan alam dan masyarakat hanya dilihat sebagai faktor produksi, sementara dampak ekologis dan sosial tak jadi pertimbangan. Hukum pun dipakai sebagai alat legitimasi kerusakan melalui pelbagai pelonggaran dan deregulasi.

Judul kajian: Ekonomi Nusantara: Narasi Tanding Ekonomi Pertumbuhan Kapitalistik; Penulis: Boy Jerry Even Sembiring dan Abdul Ghofar; Jumlah halaman: 20; Tahun terbit: 2021, Penerbit: Jurnal Tanah Air, WALHI


Ternyata bukan lamanya kekuasaan, melainkan Produk Domestik Bruto [PDB] adalah angka paling digdaya sedunia. Sebegitu sakti PDB sehingga negara-negara berlomba meningkatkan nilai tambahnya agar target pertumbuhan ekonomi tercapai. Tak terkecuali di Indonesia.

Di tengah-tengah pandemi Covid-19 pada akhir tahun lalu, Presiden Joko Widodo menyebut Labuan Bajo, Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur [NTT] dan Mandalika, Lombok Tengah Nusa Tenggara Barat sebagai titik baru pertumbuhan ekonomi. Ia menyatakan keduanya merupakan bukti akan pemerataan pembangunan infrastruktur. 

Ucapannya terungkap lima bulan pascaperesmian Penataan Kawasan Marina dan Sistem Pengelolaan Sampah Warloka, Labuan Bajo. “Wajah NTT, wajah Manggarai Barat, wajah Labuan Bajo, saya melihat dari pagi sampai malam hari ini telah berubah total,” katanya ketika itu.

Tak sampai di situ, ia melanjutkan, “tujuan akhir penataan seluruh kawasan adalah [untuk] kesejahteraan masyarakat di NTT, khususnya di Manggarai Barat, lebih khusus di Labuan Bajo.” 

Pada pernyataannya, kentara cara ukur kesejahteraan masyarakat yang tak jauh-jauh dari sektor ekonomi — dalam konteks ini, pembangunan infrastruktur.  

Apakah memang pengukurannya harus begitu dan hanya dengan cara itu mengukur kesejahteraan masyarakat?

Pedang Bermata Dua

Maka sampailah saya pada suatu jurnal. Sebanyak 20 dari total 75 halaman jurnal ini mengkaji potensi suatu narasi tanding sebagai perlawanan terhadap krisis yang berakar dari cara ukur PDB.

“Cara ukur PDB meyakini kesejahteraan hanya dapat ditimbang secara ekonomi,” tulis Boy Jerry Even Sembiring dan Abdul Ghofar dalam kajian mereka, “Ekonomi Nusantara: Narasi Tanding Ekonomi Pertumbuhan Kapitalistik”.

PDB dihitung berdasarkan hasil penjumlahan [konsumsi, investasi, belanja negara] dan pengurangan [ekspor dan impor].

Semua itu merupakan variabel makroekonomi. Dalam makroekonomi, subjeknya adalah suatu negara, alih-alih individu.

Cara ukur melalui PDB, tulis keduanya kemudian, “abai pada aspek sosial dan lingkungan.” Diselisik dari sisi ekonomi sekalipun, “ia hanya melahirkan bualan akan pertumbuhan yang didewakan dan akhirnya memperbesar ketimpangan.”

Pertumbuhan ekonomi pun berangsur-angsur menjadi paradoks: kenaikan PDB seiring dengan memburuknya kualitas lingkungan hidup dan melebarnya kesenjangan antarwarga.

Seumpama pedang bermata dua, ia membuat si kaya makin kaya dan yang dengan susah payah terlepas dari kemiskinan berpotensi kembali hidup miskin. Bahkan semakin miskin.

Kita sudah dan sedang melihat sebab-akibat berantainya di Manggarai Barat.

Pertumbuhan Berwujud Krisis

Proyek “Parapuar” turut mengalihfungsikan 400 hektare hutan Bowosie menjadi kawasan pariwisata super premium. Alih fungsi berdampak pada penyusutan debit air Kali Wae Mese.

Kali Wae Mese berhulu di hutan Bowosie dan bermuara di Labuan Bajo. Padahal, mengacu pada rencana pemerintah pada 2022—atau di tengah-tengah gencarnya promosi Parapuar, Sistem Penyediaan Air Minum Waemese II seharusnya mampu memenuhi 70 persen kebutuhan air bersih warga Labuan Bajo. 

Sementara itu, komunitas yang mengidentifikasi diri sebagai masyarakat adat telah turun-temurun diserahi tugas oleh para tetua. Mereka diminta untuk menjaga dan melindungi sumber air di hutan Bowosie dan mata air-mata air di sekitar Labuan Bajo.

Bagi masyarakat adat, hutan bukanlah alat untuk menjadi lebih kaya. Berabad-abad masyarakat adat—tak hanya di Manggarai Barat—menjaga hutan tanpa menerima sepeser pun sebagai kompensasi.

Tetapi mereka kini justru terancam kehilangan pemeliharaan — dan mungkin sekali, ruang hidup, seperti terjadi di Wae Sano dalam kasus proyek geothermal — akibat praktik-praktik atas nama pertumbuhan PDB.

“Mengejar pertumbuhan PDB artinya pula memelencengkan prioritas kita akan apa yang sesungguhnya penting bagi kesejahteraan hidup manusia,” tulis keduanya dalam kajian yang terbit pada Jurnal Tanah Air 2021. Jurnal Tanah Air merupakan salah satu produk publikasi  tengah tahun Wahana Lingkungan Hidup Indonesia [WALHI].

Jika betul, pertumbuhan semacam itu agaknya mengantarkan kita pada fase krisis berkepanjangan.

Serangkaian krisis itu mengejawantah lewat kemiskinan, kerusakan lingkungan dan gerusan sosial-budaya yang tak berkesudahan.

Pada saat yang sama, “membuka ruang investasi dan melegalkan perampasan tanah dan sumber kehidupan rakyat sama artinya dengan merawat konflik agraria tetap subur.”

Ada yang Salah dengan Cara Ukurnya

Kajian kedua peneliti sebetulnya tak sefrasa pun menyisipkan “Manggarai Barat”. Mereka mengambil studi kasus di tiga provinsi Indonesia. Masing-masing Jawa Timur, Bali dan Kalimantan Timur.

Namun bagi saya, membaca runutan kasus di tiga provinsi itu tak ubahnya membaca berita terkait kondisi di Manggarai Barat. Seperti berefleksi, lantaran akar krisisnya sama: pembangunan demi peningkatan PDB dan akhirnya, mencapai pertumbuhan ekonomi nasional.

Lewat kajian kedua peneliti WALHI pula, saya akhirnya mengetahui bahwa, pertama-tama dan yang utama dari segala carut-marut ini adalah: ada yang salah dengan cara ukur PDB.

“Krisis demi krisis telah meyakinkan banyak pihak—termasuk para ekonom dan pencipta angka ini sendiri—bahwa ada yang salah dengan cara para pengambil kebijakan memakai PDB sebagai ukuran keberhasilan,” tulis kedua peneliti.

Kekayaan alam dan masyarakat hanya dilihat sebagai faktor produksi. Dampak ekologis dan sosial tak jadi pertimbangan. Hukum, yang tak dapat bekerja menghentikan kerusakan, malah menjadi alat legitimasi kerusakan itu sendiri melalui pelbagai pelonggaran dan deregulasi.

Ketika itu semua terjadi, “pertumbuhan ekonomi menjadi alat politik yang penuh kuasa.” Sebaliknya saat kapasitas pertumbuhan ekonomi menurun, anjlok pula legitimasi suatu pemerintahan.

Jalan Baru

Ketidakadilan tersebut mendorong WALHI merekomendasikan narasi tanding yang mereka sebut sebagai “Ekonomi Nusantara.”

Konsep “Ekonomi Nusantara” menggambarkan praktik ekonomi lokal yang berlandaskan empat nilai perangkat.

Masing-masing nilai perangkat itu adalah [1] hubungan sejarah masa lalu, [2] keterikatan dengan ragam lanskap ekologis Indonesia, [3] praktik ekonomi tidak merusak, dilakukan secara humanis dan koheren dengan kearifan lokal dan [4] berdimensi pemulihan dari kondisi sosial ekologis.

Terlepas dari apapun sebutannya, konsep rekomendasi WALHI itu agaknya mampu membuka jalan baru untuk mengatasi krisis yang dibiarkan terjadi. Dalam konsep tersebut, keberagaman karakter dan kearifan lokal menjadi pembedanya. Di tengah-tengah pengaruh pertumbuhan ekonomi, seperti dituliskan keduanya, “ia mencari jalan transisi untuk terlepas dari ekonomi kapitalistik.”

Seandainya cara ukur PDB dapat dihapus, kedua peneliti melanjutkan, akan tersedia tempat yang lebih luas bagi kerja sama antarmanusia disertai praktik ekonomi ramah lingkungan.

Dan ini yang menurut saya sama pentingnya: “akan ada jalan bagi kita untuk menafsirkan ulang dimensi kehidupan lokal dan rural yang selama ini tersisih oleh praktik ekonomi ekstraktif.”

Barangkali kita juga perlu memikirkan ulang akan apa sebetulnya arti pertumbuhan.

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kami bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di bawah ini.