Floresa.co – Lembaga advokasi Amnesty International Indonesia menyatakan peringatan 25 tahun reformasi pada tahun ini diwarnai oleh maraknya represi negara terhadap kebebasan berekspresi yang berakibat lebih jauh pada kemunduran kebebasan sipil.
“Era Reformasi membawa harapan baru akan keterbukaan, kebebasan, dan keadilan. Namun, harapan itu padam jika aparat negara terus merepresi protes dan kritik terhadap pemerintah dengan menggunakan dalil-dalil pembangunan, keamanan dan ketertiban politik demi investasi,” kata Usman Hamid, direktur eksekutif lembaga itu.
Ia menyatakan, praktik demikian telah dilakukan pemerintah di era Orde Baru “yang seharusnya ditinggalkan sejak 25 tahun lalu.”
Reformasi Indonesia diperingati setiap Mei untuk mengenang jatuhnya Soeharto, presiden yang dikenal otoriter pada 21 Mei 1998 setelah berkuasa selama 32 tahun.
Data pemantauan Amnesty International Indonesia menunjukkan setidaknya 127 pembela HAM mengalami serangan sepanjang Januari-Mei 2023.
Serangan ini termasuk kriminalisasi oleh polisi, penangkapan hingga percobaan pembunuhan, intimidasi dan serangan fisik yang menimpa jurnalis, mahasiswa, pegiat hak masyarakat adat, dan aktivis yang kritis.
Beberapa kasus yang disorot lembaga itu termasuk yang dialami sejumlah warga dan aktivis di Kampung Cumbi, Desa Warloka, Kabupaten Manggarai Bara ketika hendak menggelar aksi unjuk rasa pada 9 Mei lalu saat ASEAN Summit di Labuan Bajo.
“Mereka menerima panggilan Polres Manggarai Barat dengan tuduhan pidana penghasutan. Padahal mereka hanya memprotes pemerintah untuk membayar ganti rugi atas rumah dan kebun mereka yang digusur untuk proyek jalan Golo Mori – Labuan Bajo,” tulis Amnesty dalam pernyataan mereka.
Kasus lain adalah pengusiran dan penghalangan kerja jurnalistik yang dialami oleh belasan jurnalis di kota Padang, Sumatera Barat, oleh pegawai dan petugas Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) saat pelantikan Wakil Walikota Padang.
Amnesty juga menyebut peristiwa pada 1 April ketika mahasiswa Papua di Bali yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Papua diadang oleh organisasi kemasyarakatan Patriot Garuda Nusantara saat menggelar demonstrasi damai menggugat demokrasi yang memburuk dan pelanggaran HAM di Papua sehingga menimbulkan kericuhan dan belasan orang terluka.
“Peristiwa itu menambah insiden kekerasan oleh ormas dan pembiaran oleh aparat terkait aksi damai mahasiswa Papua dan aktivis di Bali,” tulis Amnesty.
Lembaga itu menyoroti kasus dua pembela hak asasi manusia, Fatia Maulidiyanti dan Haris Azhar, yang menjalani sidang atas tuduhan pencemaran nama baik di Pengadilan Negeri Jakarta Timur sejak 3 April 2023 karena unggahan video yang mendiskusikan dugaan keterlibatan pejabat militer dalam bisnis tambang di Papua.
Fatia dan Haris menjalani proses hukum atas laporan Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi, Luhut Binsar Panjatan.
Amnesty juga menyebut kriminalisasi terhadap Budi Pego, aktivis lingkungan yang keberatan atas rencana penambangan emas di Tumpang Pitu, Banyuwangi, Jawa Timur dan penangkapan lima aktivis mahasiswa di Semarang, Jawa Tengah, pada April karena berunjuk rasa menolak Undang-Undang Cipta Kerja di depan kompleks kantor Gubernur dan DPRD Jawa Tengah.
Usman menyatakan, “masyarakat berhak mempertanyakan komitmen negara, terutama pemerintah atas janji dan kewajibannya melaksanakan agenda reformasi.”
“Apa betul negara masih berpegang teguh pada cita-cita reformasi? Apa negara telah serius mereformasi undang-undang, kebijakan, dan kelembagaan sektor keamanan yang lebih menghormati hak asasi? Kita tanyakan pada korban yang masih menuntut, kita tanyakan pada mereka yang bersuara kritis. Jangan-jangan negara sengaja lupa demi ambisi pembangunan ekonomi dan stabilitas politik keamanan,” kata Usman.
“Seharusnya 25 tahun reformasi menjadi pengingat bagi negara untuk segera meninggalkan pola kebijakan yang represif terhadap kebebasan berekspresi sekaligus menjamin kebebasan sipil, yang merupakan cita-cita reformasi. Bila hal itu masih diabaikan, kami sangat khawatir Indonesia akan mundur ke era otoriter,” tegasnya.\
Kondisi ini menunjukkan gejala yang tidak membaik karena dalam laporan Amnesty yang berjudul “Meredam Suara, Membungkam Kritik: Tergerusnya Kebebasan Sipil di Indonesia,” sedikitnya 328 kasus dugaan serangan fisik dan digital dengan setidaknya 834 korban dalam periode Januari 2019 hingga Mei 2022.
Serangan tersebut mayoritas dilakukan aktor negara, yang sayangnya didominasi oleh aparat kepolisian, penegak hukum yang seharusnya melayani, mengayomi dan melindungi masyarakat.
Akuntabilitas aparat keamanan negara juga patut disoroti karena dari 14 kasus pembunuhan di luar hukum di Tanah Papua, lima di antaranya diduga melibatkan terduga pelaku dari anggota Polri/TNI.
Per akhir 2022, belum ada satu kasus yang melibatkan aparat negara ini diproses di pengadilan umum.
Sementara untuk pembunuhan di luar hukum yang berada di luar Tanah Papua, dari setidaknya 30 kasus yang tercatat sepanjang 2022, mayoritas terduga pelakunya (27 kasus) berasal dari anggota kepolisian. Sayangnya, per akhir 2022, dari 27 kasus tersebut baru empat yang diproses hukum.
“Kita semua menunggu keseriusan negara untuk urusan akuntabilitas aparat keamanan. Jangan terus melanggengkan impunitas atas kejahatan serius yang dilakukan aparat negara atas nama apa pun. Itu akan merusak sendi-sendi kehidupan masyarakat yang demokratis,” lanjut Usman.