Floresa.co – Tour de Flores (TdF) kembali digelar untuk kedua kalinya pada Juli nanti. Seperti pada penyelenggaran pertama, penyelenggaraan kedua ini juga dihujani kritikan dari sejumlah pihak terutama terkait penggunaan dana APBD dalam ajang yang digagas pihak swasta itu.
Ignasius Iryanto Djou salah satu bakal calon yang bertarung dalam pemilihan gubernur NTT 2018 menyampaikan sejumlah pemikiran kosntruktifnya terkait TdF ini.
Ada tiga poin yang menjadi sorotan Ignas. Pertama, dari sisi manfaat TdF bertujuan untuk mempromosikan Flores sebagai sebuah destinasi wisata.
“Karena itu diharapkan pemberitaan mengenai TdF itu sejalan dengan pemberitaan mengenai objek-objek wisata yang ada di seluruh Pulau Flores. Jadi, TdF sendiri menarik orang datang tetapi pada saat yang sama, lebih penting malah, pemberitaan mengenai TdF menciptakan top of mind dari pendengar atau pembacanya, yaitu Flores sebagai objek wisata yang menarik,”ujarnya dalam keterangan tertulis yang diterima Floresa.co, Selasa 13 Juni 2017.
Menurut Ignas, ajang seperti TdF juga dilakukan di daerah lain dan juga Negara lain. Sebagai sebuah marketing tour, menurutnya memang butuh waktu supaya pesan yang disampaikan menjadi top of mind dari pembaca atau penonton. Seperti halnya iklan di TV yang diputar berulang-ulang sehingga menciptakan top of mind pada khalayak. TdF juga demikian, tidak bisa hanya dalam satu kali penyelenggaraan sudah berhasil menciptakan top of mind.
“Yang mau saya katakan adalah bahwa impact akhir yaitu TdF menjadi ajang promosi yang berujung pada meningkatnya jumlah wisatawan yang datang ke Flores, itu memang membutuhkan waktu dan membutuhkan pengulangan dari model campaign yang sama sepeti ini. Karena itu benar kalau ini dikemas sebagai annual event atau ajang tahunan,”ujarnya.
Hal kedua yang menjadi sorotan Ignas adalah soal kemasan dari TdF itu sendiri. Menurutnya, selain event utama yaitu balap sepeda dari Larantuka hingga Labuan Bajo dimana dibagi dalam beberapa etape, juga perlu ada kreasi baru berupa sub event.
Karena menurutnya, event utama saja tidak cukup kuat untuk mengangkat impact promosi yaitu branding Flores sebagai destinasi wisata.
Sub event-sub event ini menurut Ignas bisa dikemas dalam berbagai tema misalnya kuliner, budaya atau ritus masyarakat setempat. Sub event ini untuk membuka ruang partisipasi dari rakyat kebanyakan sekaligus memberikan manfaat langsung bagi masyarakat.
“Itu bisa dikemas, dimana pembalapnya itu menajdi daya tarik event-nya saja, tetapi kosentrasi massa harus terjadi bila perlu ada trasaksi kecil-kecilan. Tetapi pemberitaan mengenai sub event-sub event ini menjadi bagian dari pemberitaan main event (event utama) yang akan memperkuat pesan yang kita sampaikan yaitu Flores sebagai destinasi wisata yang luar biasa,”ujar doktor lulusan Berlin Jerman ini.
Ketiga mengenai manajemen proyek yaitu terkait planning, budgeting, pelaksanaan dan evaluasi.
Menurut Ignas pola pengelolaan TdF oleh penyelenggara terlihat merupakan pola kerja sama antara swasta dan pemerintah atau Public Private Patnership (PPP) dalam skala kecil. Pola PPP ini sudah dilakukan pemerintah pusat sebagai bagian dari upaya menyiasati kekurangan anggaran APBN dalam mengerjakan sejumlah proyek infrastrutur.
Daerah seperti di NTT kata Ignas dimana APBD-nya juga minim, bisa melakukan pola PPP untuk mendorong keterlibatan swasta dalam pembanguann daerah.
“PPP itu pada prinsipnya adalah bertemunya kepentingan pihak swasta dan pihak pemerintah yang harus memwakili kepentingan rakyat dan itu dikolaborasikan di dalam pelaksanaan suatu proyek secara bersama. Di sana ada sharing kewajiban, sharing tanggung jawab dan sharing profit,”ujarnya.
Tetapi Ignas mengingatkan dalam pola kerja sama PPP ini pun ada prinsip-prinsip yang harus ditaati. Misalnya, perencanaan (planning) dilakukan bersama antara 9 kabupaten di Flores dan pemerintah provinsi, Kementerian Pariwisata dan pihak swasta.
Stakeholder swasta terkait pariwisata kata dia sangat banyak seperti industri hotel, industri travel agency, industri kuliner/restoran, industri kerajinan rakyat dan industri lainnya. Industri-industri ini juga dilibatkan dalam seluruh manajemen proyek TdF.
Idealnya kata Ignas seluruh planning ini dibuat dalam jangka panjang misalnya lima sampai 10 tahun. Lalu, disusun dalam dokumen bersama yang diteken bersama kemudian dieksekusi setiap tahun.
“Kalau ada dana publik misalnya dana APBD masuk dalam program ini, maka transparasninya bukan hanya sesutu yang secara etis dilaksanakan, tetapi kewajiban yang dituntut dalam undang-undang,”ujar pria kelahiran Ende ini. (PTD/Floresa)