Jelang Pemilu 2024, AJI Minta Jokowi Berhenti Rusak Demokrasi dan Lindungi Kebebasan Pers

AJI menyebut Jokowi makin menunjukkan ambisinya melanggengkan kekuasaan dengan cara yang kotor, menyalahgunakan sumber daya negara dan mengintimidasi oposisi

Baca Juga

Floresa.co – Dalam sebuah pernyataan menjelang penyelenggaraan Pemilu 2024, Aliansi Jurnalis Independen [AJI] mendesak Presiden Joko “Jokowi” Widodo berhenti merusak demokrasi dan menjamin perlindungan terhadap kebebasan pers.

Organisasi jurnalis itu menilai selama pemerintahan Jokowi, Indonesia telah mengalami kemunduran demokrasi yang luar biasa dan abai terhadap penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia [HAM] demi mempertahankan investasi yang menguntungkan oligarki.

Pernyataan itu disampaikan AJI Indonesia bersama 40 AJI Kota pada 12 Februari.

AJI mengatakan kepemimpinan Jokowi yang anti-demokrasi telah ditunjukkan dengan pengesahan sejumlah peraturan perundangan-undangan yang justru mengancam HAM dan memperlemah institusi demokrasi, termasuk pers.

AJI menyebut beberapa di antaranya, seperti Peraturan Presiden tentang jabatan fungsional Tentara Nasional Indonesia, revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi, UU Cipta Kerja, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, dan revisi UU Informasi dan Transaksi Elektronik yang masih memuat pasal-pasal berbahaya bagi kebebasan berekspresi dan kebebasan pers.

AJI mengatakan represi dan kriminalisasi terhadap kritik dan pembela HAM juga telah mempersempit kebebasan pers. 

Alih-alih mendengarkan aspirasi rakyat, kata AJI, masyarakat sipil yang berunjuk rasa atas berbagai UU yang mengancam itu justru ditindak dengan kekerasan dan diancam dengan pasal-pasal pidana.

“Di bawah rezim Jokowi pula, kebebasan pers mencapai situasi kritis,” kata AJI.

AJI menyatakan, pada 2023, terdapat 89 kasus serangan yang menargetkan jurnalis dan media, tertinggi sepanjang satu dekade terakhir.

Kekerasan demi kekerasan yang terjadi tanpa diikuti penyelidikan yang serius dan imparsial, kata AJI, mengakibatkan siklus kekerasan terhadap jurnalis tidak pernah berhenti.

Pada rentang 2016-2023, kata AJI, UU ITE disalahgunakan untuk mengancam 38 jurnalis.

“Kebebasan pers dikungkung saat perannya jauh lebih dibutuhkan di tengah demokrasi yang turun,” kata AJI.

AJI juga menyoroti oligarki media yang masih mencengkram kuat sehingga mengintervensi independensi pers dan UU Cipta Kerja yang memberangus kesejahteraan pekerja, termasuk jurnalis. 

AJI mengatakan saat ini Presiden Jokowi makin menunjukkan ambisinya melanggengkan kekuasaan dengan “cara yang kotor” yakni dengan melemahkan Mahkamah Konstitusi yang kemudian melahirkan politik dinasti, menyalahgunakan sumber daya negara dan mengintimidasi oposisi.

Rezim Jokowi, menurut AJI, mengabaikan pentingnya Pemilu yang jujur, adil, dan berintegritas.

“Tidak ada demokrasi dalam Pemilu yang cacat. Tidak ada kebebasan pers jika demokrasinya mati,” ungkap AJI.

Dalam pernyataan itu, AJI meminta “Jokowi harus berhenti menyalahgunakan kekuasaan karena merusak demokrasi dan integritas Pemilu.”

AJI juga mendesaknya “menghentikan berbagai jenis kekerasan terhadap masyarakat sipil yang menyampaikan ekspresi serta mengawasi integritas Pemilu.”

Dalam poin ketiga, AJI meminta Jokowi “memastikan pers dapat bekerja secara independen dan bebas dari kekerasan, kriminalisasi serta intervensi kepentingan politik.”

Warga Indonesia akan melakukan pemungutan suara pada 14 Februari, untuk memilih presiden dan wakil presiden serta anggota legislatif dari tingkat nasional hingga daerah.

Penyelenggaraan Pemilu ini, menurut kelompok masyarakat sipil, telah diwarnai praktik penyalahgunaan kekuasaan oleh Jokowi, untuk mempertahankan dinasti politiknya.

Putra Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, 36 tahun, maju sebagai calon wakil presiden, mendampingi Prabowo Subianto.

Ia maju setelah Mahkamah Konstitusi mengubah syarat bagi calon presiden dan wakil presiden. Perubahan itu terkait membolehkan kandidat di bawah usia 40 tahun, asal pernah menjabat sebagai pemimpin di level daerah yang dipilih lewat pemilihan langsung. 

Ketua Mahkamah Konstitusi saat pengambilan putusan itu adalah Anwar Usman, paman Gibran, yang sudah diberhentikan karena dinyatakan melanggar etik berat.

Editor: Herry Kabut

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kawan-kawan bisa berdonasi dengan cara klik di sini.

Terkini