Hantu dalam Pilkada

Baca Juga

Mereka menggunakan popularitas, uang dan kuasa yang melekat pada diri mereka untuk menelikungi proses Pilkada.

Basis data dan survei abal-abal, pengaruh dan lip service digunakan untuk mempengaruhi pemilih. Manipulasi garis keturunan dikoar-koar untuk mendapat simpati kelompok pemilih primordial.

Sementara dengan modal uang, penyelenggara Pilkada disogok untuk melakukan maladministrasi. Dengan setumpuk uang, para kelompok kepentingan dan (oknum-oknum) penyelenggara bisa saja secara bersama-sama melakukan perbuatan melanggar aturan yang menguntungkan pasangan calon tertentu.

Tujuannya, untuk mempengaruhi hasil Pilkada. Selain itu, dana yang disumbangkan melebihi aturan yang telah ditetapkan, atau memanipulasi data donatur pasangan calon.

Semua jaring kekuasaan digunakan untuk memenangkan Pilkada. Pasca Pilkada, pasangan calon yang menang pun hanya akan sibuk mendistribusikan kembali (balas jasa) sumber daya ekonomi dan politik (jabatan) demi melanggengkan kekuasaan dan disnasti politik.

Proses politik yang korup akan berujung pada proliferasi praktik korupsi di berbagai sendi kehidupan masyarakat.

Pasca Pilkada, praktek-praktek buruk semacam itu akan berdampak pada lahirnya korupsi multidimensional di ruang kehidupan bersama.

Pilkada yang korup menghasilkan pemerintahan lokal yang tidak representatif dan tidak bisa dipercaya. Pemimpin yang terpilih justru adalah pemimpin yang tidak dikehendaki oleh sebagian masyarakat.

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kawan-kawan bisa berdonasi dengan cara klik di sini.

Terkini