PerspektifAnalisisHantu dalam Pilkada

Hantu dalam Pilkada

Akibatnya, legitimasi pemimpin politik tersebut pun menjadi melorot. Semua kebijakan publik dan keputusan politiknya akan dianggap cacat dalam perspektif publik.

Dalam hal ini, pemimpin politik yang lahir dari proses Pilkada yang korup dan cacat akan berujung pada kian menguatnya praktik korupsi, kolusi dan nepotisme.

Skema politik balas jasa pun tidak bisa dihindari.

Lantas di manakah demokrasi apabila kekuasaan lahir dari praktik politik yang korup dengan pemerintahan yang tidak legitimate?

Demokrasi lokal menjadi terancam bukan karena hukum dan aturan (Pilkada) yang buruk, melainkan karena para elite politik dan elite bisnis mencoba mengembosinnya.

Demokrasi lokal sejatinya ditandai dan dimulai dengan Pilkada yang jujur dan adil.

Praktik Pilkada yang penuh dengan intrik busuk merupakan sinyalemen dedemokratisasi politik lokal. Tentu, kebaikan bersama dan distribusi kesejahteraan yang adil tidak akan terjadi dari proses politik seperti itu.

Masyarakat justru akan semakin terjerembab ke dalam lembah kemiskinan dan kecemburuan sosial tingkat tinggi sebagai akibat proliferasi korupsi, kolusi dan nepotisme.

Selain dari pada itu, orang yang kaya akan semakin kaya karena mendapatkan akses dan perlakuan khusus dari penguasa lokal.

DUKUNG KAMI

Terima kasih telah membaca artikel kami.

Floresa adalah media independen. Setiap laporan kami lahir dari kerja keras rekan-rekan reporter dan editor yang terus berupaya merawat komitmen agar jurnalisme melayani kepentingan publik.

Kami menggalang dukungan publik, bagian dari cara untuk terus bertahan dan menjaga independensi.

Cara salurkan bantuan bisa dicek pada tautan ini: https://floresa.co/dukung-kami

Terima kasih untuk kawan-kawan yang telah mendukung kami.

Gabung juga di Grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini atau di Channel WhatsApp dengan klik di sini.

BACA JUGA

spot_img

TERKINI

BANYAK DIBACA