Oleh: Pastor Markus Marlon MSC
Belum lama ini (Sabtu, 03 Mei 2014), saya belanja tomat-wortel di pasar tradisional Simpong – sebuah pasar terbesar di Kota Luwuk (Sulawesi Tengah). Ketika sedang mengadakan transaksi 1kg tomat seharga Rp. 9.000,- terdengarlah sebuah lagu yang dilantukan oleh Atiek CB dengan judul, “Nurlela.” Samar-samar dari kejauhan, terdengar syair, “Rasain kamu, sekarang gigit jari, makanya jadi pacar jangan plin-plan!” Dari kata plin-plan itu, tercenung sebuah refleksi yang cukup mendalam.
Plin-plan adalah cakapan sehari-hari bahasa Jawa berasal dari kata plinthat-plinthut yang memiliki arti berpendirian tidak tetap dan mudah dipengaruhi. Orang semacam ini tidak bisa dipegang omongannya. Orang Jawa mengatakan bahwa orang yang plin-plan itu “Esok dhêle, sore tempe” (Pagi kedelai tetapi sore sudah bilang tempe). Dalam waktu yang tidak terlalu lama sudah berubah ucapan maupun pendiriannya. Novel tulisan HAMKA – Haji Abdul Malik Karim Amrullah (1908 – 1981) berjudul, “Tenggelamnya Kapal Van der Wijck” melukiskan tokoh Zainnudin yang plin-plan dalam mencintai Hayati. Zainnudin cinta setengah mati terhadap Hayati. Namun – karena sesuatu hal – Hayati “lari” dari padanya. Namun, setelah Hayati itu didapat kembali, dirinya disia-siakan sampai akhirnya tenggelam (sad-ending bahkan tragedy ending). Seandainya Zainnudin itu tidak plin-plan, tentu kisah romantis ini akan berakhir happy-ending.
Orang yang plin-plan sangat tidak disukai. Kebudayaan Jawa mengenal ungkapan, “Sabda pandhita ratu tan kena wola-wali” dan“Berbudi bawalaksana” artinya ucapan raja tidak boleh diulang dan seorang raja harus teguh memang janji. Kalau dalam Kitab Suci agama Kristen dikatakan, “Jika ya, hendaklah katakan: ya, jika tidak, hendaklah kamu katakah: tidak…” (Mat 5: 37). Dalam bahasa sekarang dikatakan sebagai wilayah “abu-abu” atau “grey area.” Hitam tidak putih pun tidak. Plin-plan.