Aksi Brutal Polisi Terhadap Warga NTT Mencoreng Marwah Presisi Polri

Publik perlu mengawasi tindakan institusi Polri terhadap anggota yang melakukan pelanggaran

 Oleh: Petrus Salestinus

Dua aksi kekerasan dilakukan oleh anggota Kepolisian Republik Indonesia [Polri] di Provinsi Nusa Tenggara Timur [NTT] pekan ini telah secara nyata mencoreng institusi Kepolisian.

Pada 13 September, AKP Ivans Drajat, Kapolsek Komodo di Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat memukul dan memaki-maki seorang satpam lantaran ditegur karena menggunakan helm saat hendak menggunakan mesin ATM.

Peristiwa itu hanya terjadi selang tiga hari setelah pada 10 September, kekerasan brutal juga dilakukan oleh dua oknum anggota Brimob di Maumere, Kabupaten Sikka. Korbannya adalah Tadeus Nong Payung dan Martinus Rino, dua warga sipil.

Kedua aksi kekerasan ini memperlihatkan gambaran kecongkakan anggota Polri di tengah warga di NTT. Warga yang umumnya memiliki budaya santun dan ramah ternyata tidak membuat oknum-oknum ini merasa sebagai warga bangsa yang sama.

Sebaliknya, mereka seolah-olah merasa diri sebagai orang yang berkuasa di atas segalanya, sehingga bisa melakukan apa saja,  tanpa merasa bersalah.

Ini adalah praktik-praktik tidak terpuji yang harus dihentikan dan karena itu mesti menjadi perhatian institusi ini, khususnya pimpinan mereka di NTT, Kapolda Johny Asadoma.

Bagaimanapun juga, perilaku anggota Polri yang memukul warga adalah kejahatan penganiayaan. Pelakunya harus diproses hukum dan etik.

Salah satu hal yang mesti ditunjukkan dalam penanganan kasus-kasus ini adalah proses hukum yang transparan dan akuntabel. Ini amat penting karena warga, apalagi mereka yang menjadi korban kekerasan, berhak untuk tahu seperti apa tindakan dari institusi kepolisian terhadap pelaku.

Terikat Pada Hukum dan Kode Etik

Kita tahu bahwa setiap anggota Polri, baik dalam menjalankan tugasnya maupun di luar tugas, terikat pada aturan hukum dan etika.

Ada empat kategori etika yang melekat pada mereka, yaitu yaitu etika kepribadian, etika kenegaraan, etika kelembagaan dan etika dalam hubungan dengan masyarakat.

Selama ini, banyak anggota Polri yang melanggar etika kemasyarakatan, di samping melanggar hukum.

Hal ini tampak dalam banyaknya tindak kekerasan anggota Polri terhadap warga sipil, baik pemukulan, penganiayaan maupun kekerasan verbal ketika mereka sedang bertugas maupun di luar tugas.

Padahal, sudah seharusnya, ketika bertugas di lapangan, polisi tidak hanya menempatkan diri  sebagai penegak hukum.

Dalam diri setiap anggota Polri, melekat tugas dan fungsi sebagai pelindung dan pengayom masyarakat.

Tugas sebagai pelindung dan pengayom masyarakat tidak boleh dilepaskan dari tugas sebagai penegak hukum. Tugas itu harus dibudayakan dan dijadikan sebagai kebanggaan setiap Polri.

Selain itu, pimpinan Polri juga perlu mengevaluasi budaya melindungi korps secara berlebihan, yang mengabaikan persoalan disiplin dan etika anggota Polri di tengah masyarakat. 

Akibatnya, konsep Polri yang Presisi [Prediktif, Responsibilitas dan Transparansi berkeadilan] yang diperkenalkan oleh Kapolri Jend Polisi Listyo Sigit Prabowo, dalam rangka upaya meningkatkan profesionalisme dan pelayanan Kepolisian yang bermutu tidak tercapai. Yang merusaknya adalah anggota Polri sendiri.

Perlu Tindakan Tegas

Atas dasar itu, tindakan anggota Polri, seperti yang dilakukan oleh Kapolsek Komodo dan dua anggota Brimob di Sikka harus diproses secara hukum dan etika.

Khusus tentang AKP Ivans, patut dicatat bahwa ia juga pernah dipidana pada 2021 oleh Pengadilan Negeri Atambua di Kabupaten Belu.

Terhadap putusan itu sendiri, ada catatan penting karena ia hanya dipidana penjara 3 bulan dengan percobaan 10 bulan. Padahal, ia melanggar pasal 44 ayat 1 UU No. 23 Tahun 2004, tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga yang ancaman pidananya 5 tahun penjara bahkan bisa bisa sampai 10 tahun sebagai dalam ayat 2. Namun, mengapa putusannya sangat ringan. Ada apa?

Dengan rekam jejak kasus itu, AKP Ivans Drajat sudah mestinya diproses secara etik dan diberikan sanksi etik berupa dipecat dengan tidak hormat.

Atau, setidak-tidaknya ia diputuskan tidak layak menduduki jabatan struktural dalam institusi Kepolisian, seperti menjadi reserse atau penyidik. Pimpinan Polri ibarat menebar racun bagi masyarakat ketika menempatkan polisi seperti ini sebagai pimpinan.

Terkait putusan ringan yang pernah dijatuhkan ke AKP Ivans yang berbau kolusi dan kasus penganiayaan satpam di Labuan Bajo, kami dari Tim Pembela Demokrasi Indonesia [TPDI] akan membuat pengaduan resmi ke Komisi Etik Polri.  

Bersamaan dengan itu, kami juga akan melaporkan dua oknum Brimob yang  melakukan penganiayaan terhadap dua orang  pemuda Kewapante. Kami meminta kepada Propam Polda NTT dan Komisi Etik Polri agar mereka dinonaktifkan.

Kontrol publik dibutuhkan untuk mengawasi tindakan Polri terhadap anggotanya yang memperlihatkan kesewenang-wenangan. Mengapa? Karena kita jarang mendengar ada proses secara hukum dan dan etika yang tuntas dalam kasus-kasus semacam ini.

Petrus Selestinus adalah Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia [TPDI] dan Adovat Perekat Nusantara

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di bawah ini.

Baca Artikel Lainnya