Dari Logika Politik Transaksional ke Politik Cinta Kasih

Memberi catatan pada model politik transaksional, yang melihat pemilih hanya sebagai penyumbang suara dalam setiap pemilu, penulis mengatakan para kontestan mestinya memandang pemilih sebagai orang-orang yang bermartabat, subjek yang harus dihargai.

Oleh: Sr. Florensia Imelda Seran, SCSC

Negara kita sedang dalam fase persiapan menyambut pemilu yang akan berlangsung pada tahun depan. Komisi Pemilihan Umum telah menetapkan masa kampanye yang akan dimulai pada akhir November.

Meski belum memasuki masa kampanye, hari-hari ini kita menyaksikan keriuhan para kandidat yang berusaha merebut hati pemilih, entah kandidat calon presiden maupun mereka yang akan bertarung merebut kursi parlemen di tingkat nasional hingga lokal.

Seperti yang terjadi pada pemilu sebelumnya, juga pada setiap momen pilkada, para kontestan politik “tiba-tiba” berlaku menjadi sahabat dan saudara-saudari dari semua golongan. Yang ditampakkan adalah keramahan, membangun kedekatan dengan pemilih. Yang lainnya aktif memberi perhatian dan sumbangan dalam berbagai bentuk.

Target dari aksi semacam itu adalah mereka kemudian mendapat dukungan berupa suara. Prinsip yang berlaku adalah Do ut des, Aku memberi supaya engkau beri, sebuah logika politik transaksional.

Sayangnya, seperti yang kerap kita alami dari pemilu ke pemilu dan dari pilkada ke pilkada, saat sudah mendapat suara dari pemilih, menduduki kursi kekuasaan, yang terjadi adalah pengabaian terhadap janji-janji selama kampanye.

Dengan mengambil inspirasi dari salah satu ensiklik penting dalam Gereja Katolik, Veritate in Caritates yang dikeluarkan oleh Paus Benediktus XVI tanggal 7 Juli 2009, tulisan ini menawarkan sebuah cara berpolitik yang perlu dimiliki oleh para politisi, mengoreksi cara pandang transaksional. 

Sebagaimana sesuatu yang ideal, tentu saja tidak mudah dicapai. Tapi, tawaran ini diharapkan bisa menjadi bahan refleksi bagi mereka yang akan bertarung dalam pemilu.

Yang Dijanjikan dan Yang Terjadi

Meski diklaim sebagai pesta demokrasi, tidak sedikit orang yang menganggap momen seperti pemilu atau pilkada hanya sebagai rutinitas. Anggapan seperti ini muncul karena hasil dari proses-proses itu ternyata tidak semanis yang didengar pada setiap momen kampanye atau masa-masa menjelang pemilihan.

Yang dibicarakan memang yang baik-baik. Sementara yang terjadi kemudian adalah sebaliknya. Kita bisa menyimak sedikit data berikut untuk menjelaskan hal ini, secara khusus untuk konteks Nusa Tenggara Timur [NTT].

Dengan pemimpin yang silih berganti, provinsi ini masih terus tercatat di posisi buncit dalam berbagai segi. Ambil contoh soal kemiskinan. Data Badan Pusat Statistik pada tahun 2022 menempatkan NTT masih sebagai provinsi termiskin ketiga di Indonesia, dengan angka kemiskinan mencapai 19,96 persen, dua kali lipat di atas rata-rata nasional 9,36 persen.

Bahkan, Kabupaten Manggarai Barat di ujung barat Pulau Flores yang dalam beberapa tahun terakhir mencatat pembangunan yang masif di sektor pariwisata, jumlah penduduk miskinnya 17,15 persen dengan angka kemiskinan ekstrem bertambah dari 6,98 persen tahun 2021 menjadi 9,79 persen pada tahun 2022.

Di sisi lain, berdasarkan survei Komisi Pemberantasan Korupsi pada 2022, NTT masih tercatat sebagai salah satu provinsi terkorup di Indonesia. Hal ini terafirmasi juga dengan banyaknya pejabat yang tersangkut kasus korupsi, baik yang kasusnya sudah divonis, maupun yang sedang dalam proses pengusutan oleh penegak hukum.

Deretan fakta lainnya bisa ditambahkan lagi di sini. Namun, yang hendak saya katakan dari fakta di atas adalah gambaran bahwa alih-alih membawa perubahan ke arah yang lebih baik, yang biasa kita dengar pada masa-masa kampanye, yang terjadi sebaliknya.

Upaya memperkaya diri dan kelompok menjadi fakta yang tidak terelakkan ketika mereka yang bertarung dalam setiap pemilihan sudah merengkuh kursi kekuasaan. Sementara mereka yang miskin, yang terpinggirkan, yang suaranya dibutuhkan pada setiap pemilu, dilupakan.

Padahal, idealnya adalah kedekatan antara mereka yang dipilih dan yang memilih tidak hanya berlangsung saat masa-masa kampanye. Relasi itu mestinya terbangun dan terjaga terus. Jadi, ada jembatan yang menghubungkan kehendak rakyat dengan mereka yang berkuasa.

Dari Do ut des ke Politik Cinta Kasih

Gejala seperti ini muncul karena yang terjadi dalam setiap pemilu adalah pola transaksional. Kedekatan yang terjadi antara kontestan dengan pemilih hanya bersifat sementara, artifisial. Setelahnya, terjadi kesenjangan yang lebar antara janji politik dengan yang dipraktikan.

Dalam ensiklik Veritate in Caritates, dengan konteks kontrol politik dan kontrak ekonomi, Paus Benediktus XVI menyinggung soal prinsip transaksi kepentingan, Do ut des. Ia memberi catatan menarik bahwa seharusnya yang dilakukan tidak sekedar “Aku beri karena kepentingan politis mewajibkan aku memberimu.” Hal yang amat penting yang seharusnya menjadi basis dari sikap memberi itu, kata dia, adalah sikap batin cinta kasih: “Aku beri karena aku mencintaimu dan baiklah bahwa aku memberimu.”

Dengan logika demikian, menjangkarkan sikap memberi itu pada pertimbangan keuntungan ekonomis dan keuntungan politis tidaklah memadai. Jika hanya terbatas pada hal itu, maka yang terjadi adalah sebuah transaksi; memberi sebatas karena mempertimbangkan imbalan, pemberian balik.

Meletakkan dasarnya pada cintah kasih berarti yang disasar adalah sebuah bangunan persaudaraan manusiawi. Bangunan ini menempatkan sesama dalam posisi setara, tidak untuk dimanipulasi, dilihat berharga hanya karena bisa memberikan keuntungan politik. Relasi yang dibangun bukan sebuah relasi yang manipulatif, yang eksploitatif.

Dasar dari semua ini, menurut Paus Benediktus yang adalah pemimpin Gereja Katolik dengan era kepausan 2005-2013 adalah pada kebenaran kristiani, bahwa orang memberi perhatian dan cinta kepada sesama karena ia layak dicintai. Melalui ensiklik ini, ia mendorong semua pihak yang berkarya di ranah publik untuk bekerja sama, membangun peradaban manusia yang semakin adil dan sejahtera dalam semangat dasar cinta kasih. Kerjasama itu tidak mungkin tanpa hubungan yang tulus dan terbuka.

Dalam konteks ini, ia melihat bahwa cinta kasih itu lebih daripada sekedar memberi kepada si miskin, tetapi yang lebih utama adalah mengakui bahwa semua datang dari cinta Allah. Karena itu, manusia mengemban tanggung jawab moral untuk tidak memanipulasi kaum kecil demi keuntungan pribadi dan golongan. Amanah yang diemban dibangun di atas dasar cinta pada kebenaran yang hakiki, yakni kasih Allah kepada semua manusia yang sama dan merata.

Prinsip kasi itulah yang menghantar orang untuk bertindak adil terhadap sesama, tanpa memanipulasinya. Sebagaimana dikatakan ensiklik ini, “Kasih menuntut keadilan: pengakuan dan penghargaan terhadap hak-hak sah pribadi dan masyarakat (art.6).”

Harapan Untuk Politisi

Berangkat dari inspirasi ensiklik itu, yang meletakkan dasar-dasar yang kokoh bagi sebuah relasi, saya menarik beberapa poin berikut sebagai pesan untuk mereka yang bertarung dalam pemilu.

Pertama, tidak dekat dengan rakyat hanya saat kampanye. Rakyat jangan hanya dilihat sebagai stok suara yang dikuras saat kampanye dan ditinggalkan setelah semua selesai. Prinsip “habis manis sepah dibuang” dalam dunia politik mesti ditinggalkan. Tujuan kampanye untuk memperkenalkan visi, misi dan citra diri politisi kepada publik. Visi, misi dan citra diri seseorang tidak dinilai dari janji manis, tetapi pada komitmen untuk kemudian menggenapinya.

Kedua, menempatkan pemilih tidak hanya sebagai pemilik suara, tetapi sebagai pribadi, yang harus dihargai. Karena itu pemilih tidak untuk dibohongi, dikibuli. Pemilih bukanlah objek dari politik melainkan subjek yang memiliki martabat yang sama dengan politisi. Mereka berharga di mata politisi bukan karena suara yang dimiliki, melainkan karena harkat dan martabat sebagai manusia. 

Ketiga, ketika sudah mendapat kekuasaan, ya genapilah janji-janji. Yang diucapkan harus menjadi daging. Janji kampanye tidak bisa hanya sekedar obat penenang bagi rakyat. Yang dibutuhkan adalah politisi yang mampu memadukan kata dan tindakan, menggenapi janji meski harus berkorban. Janji yang tetaplah janji hanya berlaku bagi pecundang. Bagi pejuang nilai-nilai kebenaran, janji adalah soal harga diri, martabat yang wajib diperjuangkan.

Akhirnya, penting ditegaskan bahwa setiap mereka yang mengambil jalur di ranah politik mesti memiliki tanggung jawab moral untuk memperjuangkan nasib mereka yang kecil dan lemah, tidak memiliki suara, posisi dan kesempatan untuk membela diri dan memperjuangkan hak. Dengan demikian, dunia politik menjadi wadah pewartaan dan pelayanan untuk menjadikan sesama manusia sebagai pribadi-pribadi yang bermartabat.

Sr. Florensia Imelda Seran, SCSC adalah mahasiswi pada Sekolah Tinggi Ilmu Pastoral St. Sirilus Ruteng

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di bawah ini.

Baca Artikel Lainnya