Polres Lembata dalam satu tahun belakangan ini selalu menjadi sorotan masyarakat. Sebab sebagai penegak hukum, pelindung, dan pelayan masyarakat polisi senantiasa dirindukan sebagai pedang yang selalu terhunus untuk menebas setiap pelaku kejahatan tanpa pandang bulu.
Ketatnya kontrol publik ini muncul berbarengan dengan rasa kecintaan masyarakat terhadap intitusi kepolisian serta kerinduan untuk menjadikan Lembata sebagai sebuah daerah yang bebas dari segala bentuk tindak kejahatan.
Cita-cita mulia ini ternyata masih jauh dari harapan. Polisi sebagai sebuah intitusi penegak hukum, belakangan dinilai gagal dalam menangani berbagai persoalan hukum di Lembata. belakangan ini polisi lebih fokus menangani kasus yang berbau politik dan melibatkan penguasa ketimbang konsen dengan kasus-kasus masyarakat.
Kasus Yohakim Lakaloi Langoday, kasus pembunuhan Lorens Wadu, kasus kematian warga sipil di desa Dulitukan Ile Ape, kasus dugaan penyuapan oleh Bupati Lembata terhadap pengusaha, kasus kematian bocah Alfons Hita di tanah garam Ile Ape, kasus pengancaman terhadap Maxi Gantung, wartawan Harian Flores Pos yang dilakukan oleh dua orang dekat Bupati Lembata, dan kasus pembunuhan Linus Notan warga desa Jontona yang secara sepihak divonis oleh Kasat Reskrim Lembata, Arief Sadikin murni kecelakaan tanpa merujuk pada hasil otopsi maupun pengakuaan dari saksi sekaligus pelaku yang secara terbuka mengakui membunuh korban.
Hingga sekarang keluarga mencari keadilan ke Kapolda NTT (Baca Victory News, 20/01/2015). Kasus – kasus di atas adalah sebagian dari sederet masalah hukum di Lembata yang tak terkuak tuntas.
Berbeda dengan kasus-kasus yang dilaporkan oleh Bupati Lembata dan terkesan begitu cepat ditindaklanjuti polisi, sebut saja laporan kasus dugaan pencemaran nama baik bupati yang diduga dilakukan oleh Steny Leuweheg dan Vincen Benidau dua wartawan sebuah surat kabar di Lembata, juga oleh seorang tokoh lembata Nikodemus Uran. Tidak saja terhadap warga dan masyarakat, terhadap organ-oragan gerakan yang selama ini bersuara kritis seperti Aldiras, dan FP2L dan yang terakhir terhadap anggota 3 ADPRD Lembata Yakobus Liwa, Fery Koban dan Ipi Bediona.
Hal inilah yang menjadi pertanyaan publik, kok kalau kasusnya melibatkan masyarakat, atau yang menjadi korban adalah masyarakat, selalu lamban bahkan tak terkesan diabaikan. Tetapi coba kalau yang menjadi korban adalah bupati, polisi koq begitu getol untuk urus. Alasan inilah yang membuat masyarakat berpikir kalau-kalau polisi lembata ini sudah berubah semboyannya menjadi pelindung dan pengayom penguasa.
Gonjang janjing politik dan hukum di Lembata akhir-akhir ini semakin menempatkan reputasi Polisi di Polres Lembata ke titik nadir. Bahkan di mata Pengacara papan atas Jakarta asal Lembata Petrus Bala Pationa, SDM (Sumber Daya Manusia) Polisi di Lembata Rendah (Flores Pos, Rabu, 15 Oktober 2014). Jika mencermati alur pikir pengacara Bala Pationa tentang reputasi kerja dan kualitas “barisan seragam coklat” yang bermarkas di Polres Lembata, secara argumentatif Bala Pationa menyimpulkan bahwa dalam menjalankan tugas penegakan hukum di Lembata atas berbagai kasus, terbaca bahwa jajaran Kepolisian di Lembata “Tidak Mengerti Hukum”.
Janji Kapolda NTT
Kasus pembunuhan di Lembata yang menghebohkan publik ternyata tidak pernah diusut tuntas oleh aparat kepolisian. Sejumlah kasus itu harus dihentikan dengan alasan tak jelas. Padahal, alat bukti dan saksi sudah cukup memadai. Karena itu, Kapolda NTT, Brigjen Pol Endang Sujana, berjanji akan membuka kembali kasus-kasus kriminal tersebut.
Janji Kapolda ini disampaikan setelah mendengar masukan dari utusan masyarakat, tokoh masyarakat dan tokoh agamaa se-Kabupaten Lembata saat bersilahturahmi di Aula Hotel Palm, Rabu 26/11/2014 lalu. Kapolda malah berjanji segera menurunkan tim lengkap, baik itu Propam, Intel juga Tim Khusus untuk menyelidiki sejumlah kasus kriminal tersebut. (Baca mediantt.com 29/11/2014)
Masyarakat Lembata masih berharap kiranya Kapolda NTT bisa merealisasikan janji – janjinya. Masyarakat Lembata berharap kapolda bisa menurunkan tim khusus untuk melakukan operasi titik-titik kanker di lembaga kepolisian Lembata, melakukan operasi cesar dengan pisau yang tepat. Publik berharap kapolda mencopot Kasat Serse, Kasat Sabara, Kasat Intel, Wakapolres dan Kapolres Lembata dicopot karena hemat penulis mereka inilah yang menjadi biang dari mandeknya masalah – masalah di atas. Dalam konteks ini, Cicero sempat berpidato di depan tribunus dengan mengatakan bahwa ikan membusuk mulai dari kepala hingga ke ekor, sehingga tindakan yang pantas dilakukan menurutnya adalah dengan memotong dan membuangnya (Imperium, 2007).
Masalah pelik dihadapi ketika nurani seseorang tertutup kabut tebal akibat “keterlanjurannya” terlibat atas sandiwara mafia hukum dan peradilan. Pastilah mereka diam dan bungkam seribu bahasa karena khawatir sejarah kelamnya akan ikut terbuka, sehingga tepat ketika J.E. Sahetapy menyitir pepatah Belanda “de pot verwijt de ketel” yang artinya “belanga menuduh panci, maka akan sama-sama hitam pantatnya”.
Oleh sebab itu, masyarakat lembata sangat berharap komitmen dan kemauan Kapolda NTT untuk segera menuntaskan kasus – kasus di Lembata . Masyarakat amat merindukan teladan hukum, sehingga prasyarat kejujuran, ketegasan, dan keberanian dalam menegakkan hukum dengan moral dan nurani menjadi syarat minimal dari pencarian tersebut (Deryck Beyleveld, Law as a Moral Judgment, 1986).
Sebagai penegak hukum dan pengayom, masyarakat tidak sekadar ingin Polri tegas mungusut kasus secara tuntas. Masyarakat mendambakan polisi yang tidak selalu harus memasang wajah garang namun mudah goyah bila digoda uang. Masyarakat mendambakan polisi yang tegas, tapi tetap humanis dalam melayani.
Kita sepakat, polisi sebaiknya tidak menghianati hati masyarakat. Wajah tegas itu ditampilkan jika anggota polisi berhadapan dengan para pelaku kejahatan dan dalam menjalankan tugas penegakan hukum. Sedang wajah humanis itu ditampilkan ketika memberikan pelayanan prima kepada masyarakat. Hanya dengan cara demikian, polisi kita semakin dicintai masyarakat.
Satu hal yang tidak kalah pentingnya yakni publik Lembata berharap pengawasan oleh pers secara langung dan terus-menerus. Pemred Media SKH, Tabloid, Media Online kiranya bisa melihat kasus di Lembata, karena hemat penulis wartawan – wartawan yang bertugas di Lembata banyak yang sudah terkooptasi oleh kepala daerah ataupun pimpinan lembaga – lembaga tertentu . Ada yang begitu lemah gemulainya sampai rela menjadi anjing piaraan.
Tanpa adanya pemberitaan dari media massa, tentu tabir kelam penegakkan hukum seperti sekarang ini tidak akan pernah tersingkap ke meja publik. A blessing in disguise! Oleh karenanya kita patut bersyukur, sebab baik aparat penegak hukum, pers maupun masyarakat luas menjadi terlatih pendengaran telinganya, terasah penglihatan matanya, dan tersinari hati nuraninya.
Perjuangan menegakkan keadilan berdasarkan moralitas dan hati nurani yang tulus memang terasa berat dan tiada henti. Akan tetapi, keyakinan atas pencapaiannya tidak boleh pernah goyah atau redup sedikitpun.
Tentunya di masa yang akan datang kita berharap bahwa tak perlu lagi kita mengais-ngais untuk sekedar mencari sebongkah nurani di tengah-tengah ilalang keadilan. Bahkan saking pentingnya arti sebuah nurani hukum, Mahatma Gandhi pernah menyatakan, “In matters of conscience, the law of the majority has no place”.
Igo Halimaking adalah mahasiswa asal Lembata. Ia tinggal di Kupang