Oleh: Arianto Zany Namang
Sejak wafat pada 21 April 2025, nama Paus Fransiskus menjadi trending topic dunia. Hampir semua media, termasuk di Indonesia, menyajikan liputan tentangnya.
Tidak hanya soal wafatnya, liputan-liputan media juga menyoroti warisan kesederhanaan, persaudaraan lintas batas, hingga perhatiannya pada soal-soal ekologis, isu migran dan kelompok terpinggirkan lainnya.
Melalui sosok Paus Fransiskus selama lebih dari satu dekade kepemimpinannya, kita memang bisa mengalami wajah Gereja Katolik yang tidak lagi bersifat monarkis, tetapi gereja yang berjalan bersama mereka yang miskin dan tertindas.
Selama kepausannya, ia mengekspresikan wajah gereja yang penuh kasih, wajah Allah Yang Maharahim. Hal itu kiranya merupakan wujud nyata dari motto kepausannya: Miserando atque eligendo: Ia Yang Maharahim memandangnya dengan kerahiman dan memilihnya.
Paus Fransiskus sudah selalu mengungkapkan perihal kerahiman Allah ini di dalam peristiwa hidupnya. Salah satunya dan yang paling terang adalah pada kepeduliannya terhadap soal-soal yang berdampak langsung pada orang-orang-orang kecil sejak ia masih menjabat sebagai Uskup dan Kardinal di Buenos Aires.
Lewat Ensiklik Laudato Si (LS 2015) misalnya, ia menekankan pentingnya menjaga bumi dari krisis ekologis yang dampak paling parahnya dialami kelompok marginal. Ensiklik itu kemudian mempengaruhi kebijakan politik hingga gerakan mencintai bumi di seluruh dunia.
Ia juga menjalin persaudaraan sejati dengan semua kalangan, yang kemudian dilukiskannya di dalam Ensiklik Fratelli Tutti (FT 2020). Ia secara aktif meruntuhkan tembok-tembok yang membatasi relasi yang harmonis antarumat beragama.
Sebagai pemimpin tertinggi Gereja Katolik, Paus Fransiskus sadar betul dengan daya magis kata-katanya. Karena itu, ia menggunakan secara sungguh-sungguh pengaruhnya dalam soal moral dan iman untuk membangun jembatan yang berdampak pada kebaikan bersama.
Pesan-pesannya tentang kemanusiaan tidak hanya relevan untuk umat Katolik, tetapi juga umat beragama lain, bahkan mereka yang tidak beragama.
Uskup Budi dan Proyek Geotermal
Dalam konteks Gereja Katolik di Flores, saya menemukan sosok serupa Paus Fransiskus dalam diri Uskup Agung Ende, Mgr. Paulus Budi Kleden, SVD.
Sejak ditahbiskan tahun lalu, Uskup Budi memperlihatkan wajah gereja “yang lain,” gereja yang lebih peka terhadap jeritan orang miskin dan ekologis, hal yang sebelumnya tidak begitu jelas diperlihatkan oleh uskup lain.
Lewat kata-katanya, pesan-pesan moralnya, uskup agung di Provinsi Gerejawi Flores itu menampilkan wajah Gereja Katolik yang peka menangkap jerit tangis orang miskin dan kelompok rentan.
Salah satu yang menonjol dari Uskup Budi muncul pada sikapnya terhadap proyek geotermal di Flores.
Hal yang menarik adalah, kendati geotermal dikampanyekan sebagai sumber energi yang ramah lingkungan sedemikia rupa sehingga dilabeli hijau, penolakannya berangkat dari kondisi riil yang dialami umatnya.
Ia berkata, sikapnya muncul usai “mendengar berbagai kesaksian dari sejumlah orang di Sokoria dan Mataloko serta usai berdiskusi dengan sejumlah imam.” Sokoria dan Mataloko merupakan dua dari titik proyek geotermal di wilayahnya.
Alih-alih ramah lingkungan, ia menunjukkan bahwa cara kerja proyek-proyek ini yang membawa kehancuran alam akibat eksplorasi dan eksploitasi alam yang sewenang-wenang, berdampak pada kehidupan umatnya.
Ia secara konsisten menyatakan sikap itu, yang bermula pada Januari 2025, lalu ditegaskan ulang melalui Surat Gembala Tahun Yubileum 2025 dan Surat Gembala Prapaskah 2025 bersama para uskup lain.
Keprihatinan terhadap orang miskin dan kerusakan alam ini sangat khas dan selaras dengan apa yang diketengahkan oleh Paus Fransiskus.
Seperti dalam Laudato Si, Paus berkata, kita tidak bisa lagi menutup mata dan telinga terhadap “jeritan ibu bumi” yang menderita dan mereka yang miskin dan tertindas.
“Sesungguhnya kerusakan lingkungan dan kemerosotan masyarakat lebih mempengaruhi mereka yang paling lemah di bumi: baik pengalaman hidup sehari-hari maupun penelitian ilmiah menunjukkan bahwa dampak terburuk dari semua serangan terhadap lingkungan diderita oleh kaum miskin” (LS 48).
Karena itu, keberpihakan terhadap mereka yang paling rentan, miskin dan tertindas adalah suatu pilihan yang tidak bisa ditunda.
Baik Paus Fransiskus maupun Uskup Budi Kleden sama-sama berdiri di antara kaum yang paling rentan itu dan mencoba “mendengarkan, baik jeritan bumi maupun jeritan kaum miskin” (LS 49) serentak menyuarakan suara-suara yang tidak didengar itu.
Suara Uskup Kleden yang berangkat dari keprihatinan itu sungguh nyata dan dirasakan oleh mereka yang lahan pertaniannya rusak oleh proyek geotermal, yang sumber air minumnya tercemar oleh limbah proyek.
Dengan sikapnya yang mendapat perhatian luas itu, Uskup Budi memilih berseberangan dengan klaim pemerintah dan pengusaha yang melihat proyek geotermal dari kacamata profit semata, tanpa mempertimbangkan penderitaan masyarakat.
Tidak bisa dipungkiri, mentalitas pengusaha adalah mencari keuntungan sebanyak-banyaknya atau akumulasi modal dan pemerintah hanya melihat geotermal melalui kacamata utilitarianisme atau asal menguntungkan lebih banyak orang.
Utilitarianisme dan akumulasi modal sama sekali tidak memperhitungkan jeritan dari suara-suara warga di Sokoria, Mataloko, atau di Poco Leok, beberapa dari lokasi proyek geotermal di Flores.
“Mencuri Makan dari Meja Orang Miskin”
Membuka mata lebar-lebar terhadap proyek geotermal dan segala keuntungannya serta menutup mata dan telinga terhadap jeritan orang miskin dan tertindas dari proyek tersebut adalah tindakan “mencuri makanan dari meja orang miskin.”
Mengapa? Karena di lokasi-lokasi itu ada lahan pertanian, sumber-sumber kehidupan, situs-situs budaya, tetapi dengan alasan pembangunan, green energy, dan keuntungan semakin banyak orang sebagai kedok untuk akumulasi modal, hak-hak masyarakat adat itu dirampok melalui jalan-jalan legal-formal.
Semuanya sudah sesuai dengan undang-undang adalah kata-kata yang kerap diulang-ulang, tanpa pernah memikirkan nasib mereka yang menjadi korban dari keserakahan itu.
Dalam Laudato Si, Paus Fransiskus telah mengingatkan bahwa sikap menutup mata dan mengelak ini adalah cara “membenarkan diri untuk mempertahankan semua sifat buruk yang merusak dirinya: berusaha untuk tidak melihatnya, berupaya untuk tidak mengakuinya, menunda keputusan-keputusan penting, berpura-pura seolah-olah tidak terjadi apapun” (LS 59).
Menarik bahwa kepedulian Paus Fransiskus berangkat dari keyakinan bahwa, memelihara kasih persaudaraan itu tidak bisa disempitkan hanya dalam relasi intersubjektif, ia harus dibingkai dalam hubungan-hubungan yang lebih luas antarmanusia dan antarmanusia dengan alam.
Alam tidak hadir di hadapan kita sebagai objek untuk dieksploitasi dan dihabisi, tetapi sebagai “saudara” yang menuntut sikap takzim manusia sebagaimana yang dimadahkan dengan indah oleh Santo Fransiskus dari Assisi, sosok yang mengilhami pemilihan nama Paus Fransiskus.
Memandang alam dan manusia sebagai saudara berarti kita bertanggung jawab untuk menjaga, merawat, dan melestarikannya.
Apa yang diucapkan oleh Paus Fransiskus dan Uskup Budi Kleden adalah suatu seruan moral terhadap dunia agar kita peka dalam mendengarkan jeritan kaum tertindas dan kerusakan ekologis.
Mereka yang miskin dan tertindas jangan dilihat sebagai mereka yang tidak memiliki sesuatu sama sekali. Sebaliknya mereka adalah pemilik sejati dari prinsip-prinsip pembangunan peradaban dan sejarahnya sendiri.
Leonardo Boff, seorang teolog pembebasan dari Amerika Latin menyatakan, mereka yang miskin dan tertindas adalah mereka yang memiliki budaya, kapasitas untuk bekerja, untuk berkolaborasi, berorganisasi, dan berjuang.
“Orang miskin dan tertindas,” katanya, “menempa dirinya menjadi agen-agen sejarah (historical agents) dari pembebasan dirinya dan mampu untuk menentukan dirinya sendiri dalam solidaritas yang sama” (Boff: 1995).
Karena itu, yang diperlukan hanyalah keberpihakan dari suatu otoritas yang lebih besar, dalam hal ini termasuk gereja, untuk merangsang suatu tindakan pembebasan dari ketertindasan itu.
Itu artinya, marginalisasi terhadap kelompok-kelompok rentan atas nama pembangunan bukanlah suatu pembangunan yang mencirikan keberpihakan terhadap martabat manusia dan mereduksi peran mereka sebagai historical agents yang menentukan pembangunan sesuai dengan prinsip-prinsip kebudayaan yang menjadi locus penemuan jati dirinya sebagai manusia.
Proyek geotermal yang dikerjakan atas nama modernitas, kemajuan, dan kecepatan, sudah barang tentu menghabisi proses evolusi sosial-kebudayaan masyarakat lokal yang terjadi selama ratusan tahun.
Konsekuensinya adalah masyarakat lokal terhempas dari akar kebudayaan dan sejarah yang menubuh dalam situs-situs adat, menjadi orang asing di tanah sendiri, terputus dari akses terhadap sumber-sumber kehidupan yang menafkahi mereka selama bertahun-tahun.
Apa yang Bisa Kita Lakukan?
Belajar dari pengalaman keberpihakan Paus Fransiskus dan Uskup Budi Kleden, kita perlu mengasah kepekaan terhadap realitas sosial, terhadap jeritan kaum tertindas, lalu mulai mengambil langkah.
Kita bisa turut serta dalam perjuangan mereka untuk membebaskan diri dari cengkeraman ketidakadilan.
Saya merujuk pada pemikiran Leonardo Boff soal empat tahapan untuk tiba pada pembebasan itu.
Pertama, melihat, merasakan, dan memikul penderitaan manusia. Artinya, kita membuka diri terhadap pengalaman penderitaan dan ketertindasan mereka yang rentan. Dalam konteks gereja adalah hadir di antara para domba yang sedang menderita.
Kedua, penilaian analitik (analytical judging), yaitu menalar secara kritis dan dalam terang iman terhadap fakta dan data ketertindasan dan ketidakadilan.
Pengalaman berada bersama dengan yang tertindas dan penilaian nalar dan iman secara kritis atas fakta tersebut dapat membuat kita semakin peka terhadap penderitaan orang lain.
Ketiga, tindakan transformatif (transformative action), yaitu berkontribusi nyata terhadap upaya pembebasan mereka yang tertindas.
Uskup Budi Kleden misalnya telah mengharuskan agar para imam yang berkarya di keuskupannya melakukan katekese ekologis di tingkatan komunitas umat basis. Konsientisasi atau penyadaran umat basis penting agar perlawanan dan pembebasan dapat dilakukan secara masif.
Keempat, dimensi yang lebih spiritual yakni perayaan (celebration), bahwa refleksi tentang perjuangan pembebasan melampaui dimensi sosial, politik, ataupun kelompok. Ini perkara semua orang untuk melahirkan kebaikan bagi semua.
Perjuangan untuk melawan ketidakadilan itu sudah dimulai.
Paus Fransiskus meninggalkan warisan yang luhur tentang gereja yang tidak netral tapi yang berpihak kepada kaum tertindas.Ia menunjukkan hal itu dengan keteladan hidupnya yang amat sederhana hingga wafatnya.
Uskup Budi Kleden juga sudah memulainya dengan penolakan terhadap geotermal dan penguatan umat basis untuk membangun kesadaran bersama.
Perjuangan untuk memperbaiki ekologi yang rusak tidak hanya tugas satu dua orang, tetapi menjadi tanggung jawab bersama, tanpa kecuali.
Arianto Zany Namang adalah pegiat forum diskusi “Literasi Ekologi Indonesia Timur,” alumnus Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara
Editor: Ryan Dagur