Mangkrak Bertahun-tahun, Dana Terus Dikucurkan; Nasib Proyek Jalan yang Babat Mangrove di Manggarai Timur dan Diimpikan Jadi Lokasi Wisata Buatan

Dibangun sejak 2019 dengan dana awal lebih dari Rp3 miliar, disusul tambahan dua kali swakelola, proyek di sempadan Pantai Borong ini masih belum selesai. Diklaim Dinas PUPR untuk pengembangan wisata buatan, meski tidak diketahui Dinas Pariwisata

Floresa.co – Januari belum lewat separuh kalender, tapi kekeringan mulai tampak di Borong, Manggarai Timur.

Di kampung Golput, sekitar 200 meter dari Pantai Borong yang terhubung dengan Laut Sawu, enam anak berpeluh mengejar sebuah bola.

Satu gawang, enam pemain. Tanpa alas kaki dan aturan.

“Main baik-baik,” teriak seorang laki-laki dewasa yang ikut menonton. 

“Kalau besar nanti bisa masuk Persematim,” lanjutnya, mengacu pada Persatuan Sepak Bola Manggarai Timur.

Yang diteriaki makin bersemangat menendang bola. Debu mengepul bersama sepakan mereka, melambung hingga menyeberangi sebuah tembok.

Setinggi lebih dari satu meter, tembok itu mengitari kawasan mangrove yang tumbuh di sempadan Pantai Borong.

Seorang anak yang ditunjuk teman-temannya mengambil bola memandangi tembok itu, sebelum mengucap: “Tidak bisa e. Terlalu tinggi. Saya tidak bisa naik.”

Seorang temannya yang lebih tinggi datang mendekat. “Biar saya saja yang panjat dan ambil,” katanya sebelum dengan gesit menaiki tembok, melompat dan membawa kembali bola.

Tembok yang dinaiki anak itu adalah penahan tanah pada proyek jalan di pinggir pemukiman mereka.

Berada di sisi timur Kampung Golput, tembok penahan tanah ini punya dua sisi dengan lebar 15 meter, membentang kira-kira sepanjang 1.200 meter. 

Dimulai dari area dermaga Kota Borong, tembok ini melingkari hutan mangrove dan berakhir di wilayah Kampung Golput yang berada di bantaran Kali Wae Bobo.

Kondisi proyek Jalan Lingkar Luar Kota Borong yang belum tuntas. Gambar diambil pada September 2023. (Etgal Putra/Krebadia)

Proyek yang Sejak Awal Menuai Polemik

Tembok itu menjadi saksi proyek jalan yang telah dikerjakan Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat [PUPR] Manggarai Timur sejak 2019, namun hingga kini belum juga selesai.

Menggunakan anggaran awal Rp3.017.082 dari Dana Alokasi Umum [DAU], proyek jalan tersebut dikerjakan oleh CV Chavi Mitra.

Sejak awal, proyek dengan nomenklatur Peningkatan Jalan Lingkar Luar Kota Borong itu telah menuai polemik.

Sejumlah pihak mengkritiknya karena merusak hutan mangrove yang tumbuh di sempadan Pantai Borong. 

Ada juga warga setempat yang mempersoalkannya dengan menempuh upaya gugatan hukum terhadap pemerintah karena menuding kebunnya dirusak.

Front Rakyat Manggarai Timur Bergerak [FRMTB] pernah menggelar unjuk rasa di Lehong, pusat pemerintahan Kabupaten Manggarai Timur, memprotes pembangunan jalan itu.

Front ini merupakan gabungan anggota Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi Eksekutif Kota Ruteng dan Perhimpunan Mahasiswa Islam Indonesia Cabang Manggarai.

Dalam aksi pada 28 November 2019 itu mereka menuntut Pemkab Manggarai Timur menunjukkan surat izin Upaya Pengelolaan Lingkungan dan Upaya Pemantauan Lingkungan [UKL/UPL] serta Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup [AMDAL].

Tuntutan FRMTB ketika itu ditolak Kepala Dinas [Kadis] PUPR Manggarai Timur, Yosep ‘Yos’ Marto.

Ia beralasan, “Pemerintah bertindak sesuai mekanisme.”

UPL/UPK dan AMDAL, kata dia, telah disiapkan, namun tidak untuk ditunjukkan ke massa aksi, kecuali di hadapan persidangan.

“Kami tidak takut dan gentar. Kita akan sampaikan dan buka-bukaan di persidangan jika hal ini lanjut ke proses hukum,” katanya kala itu.

Sementara itu Darmayanti, seorang warga melaporkan Pemkab Manggarai Timur ke Kepolisian Sektor Borong.

Dalam laporan polisi nomor LP/28/X/2019/ RES M.RAI/SEK Borong itu, ia menuding Pemkab telah merusak hutan mangrove dan kebun kelapa milik mendiang ayahnya, Haji Umar Ba – yang menjadi lokasi pembangunan jalan itu. Tidak diketahui tindak lanjut dari laporan itu.

Yoseph Sunardi P. Dani, yang menjabat Pelaksana Jabatan Sementara Lurah Kota Ndora saat Darmayanti menyerahkan laporan polisi mengatakan ia sempat dimintai keterangan di Polsek Borong.

Kepada polisi, ia mengklaim telah “melakukan semua tahapan sesuai aturan,” mulai  dari pendataan hingga menginisiasi pertemuan antarpemangku kepentingan.

Proyek yang merusak mangrove juga dikiritisi aktivis lingkungan dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia cabang Nusa Tenggara Timur [Walhi NTT].

“Kalau kita mau kaji mangrove, sebenarnya salah satu yang dilakukan oleh pemerintah daerah itu pidana lingkungan,” kata Yuvensius Nonga, deputi Walhi NTT ketika itu.

Ia juga  mempertanyakan alasan pembangunan infrastruktur pada kawasan hutan mangrove yang menjadi “‘sabuk hijau” yang seharusnya dijaga. 

Tim Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan wilayah Bali Nusa Tenggara sempat turun tangan mengecek kasus pembabatan mangrove itu.

Pada 2021, kasus ini kemudian diambil alih oleh Polres Manggarai Timur. Namun, hingga kini perkembangan proses penanganannya belum diketahui.

Pemerintah sempat menanggapi kritikan para aktivis lingkungan dengan menanam anakan mangrove baru, namun nyaris tak satupun yang bertahan hidup.

Mangrove yang mati imbas penggusuran. (Etgal Putra/Krebadia)

Anggaran Terus Digelontorkan

Sejak kontroversi 2019 proyek jalan itu didiamkan, hingga pada akhir 2022 pemerintah kembali mengerjakannya.

Dinas PUPR mengucurkan dana tambahan Rp300 juta melalui skema swakelola. Dana tersebut digunakan untuk membiayai urukan tanah di lokasi proyek.

Perihal pembiaran jalan itu bertahun-tahun dan baru dikerjakan lagi hampir tiga tahun kemudian, dalam wawancara dengan Krebadia – penulis laporan ini dalam kolaborasi dengan Floresa, Yos Marto beralasan karena pandemi Covid-19.

Hal itu, kata dia, membuat “anggaran macet” sehingga pengerjaan lanjutan tidak bisa dilakukan pada 2020-2021.

Ia juga menyebut alasan teknis bahwa pembangunan infrastruktur di area rawa memerlukan waktu yang cukup lama untuk fase pengerasan secara alamiah sebelum dilakukan penimbunan material. 

“Kalau langsung timbun, pasti tanah akan turun,” katanya dalam wawancara di rumah pribadinya di Toka, Borong pada 23 Oktober 2023.

Floresa sempat menyoroti kejanggalan dalam penggunaan dana swakelola penimbunan tanah tersebut.

Dalam liputan tersebut, selain menyoroti ketiadaan papan informasi proyek di lokasi, Floresa juga menyebut tanah yang digunakan untuk urukan itu diambil dari lahan milik warga secara cuma-cuma.

Pada akhir 2023, urukan tahap kedua dilakukan, dengan anggaran lebih besar Rp400 juta.

Tak ubahnya tahap pertama, pengerjaannya juga dengan swakelola dan tanpa papan informasi proyek.

Penambahan anggaran, kata Yos, supaya jalan itu “bisa cepat dimanfaatkan.”

Perihal kembali dilakukan dengan swakelola, Wilibrodus Adeputra Lama, Pejabat Pembuat Komitmen [PPK] Bidang Bina Marga PUPR Manggarai Timur beralasan “karena lebih cepat.”

Ia menolak menjelaskan lebih rinci perihal alasan penambahan anggaran terus-menerus pada proyek jalan itu yang belum juga dimanfaatkan. 

Ia beralasan penjelasan rinci bukan wewenangnya.

“Saya memang PPK, tapi waktu itu [2019] yang urus kaka Anton,” kata Wilibrodus, “Kalau bicara mundur ke belakang, jujur saya tidak tahu.”

Anton yang ia maksud adalah Antonius Firmus Dapoto, mantan PPK Bidang Cipta Karya PUPR Manggarai Timur yang telah menjadi tersangka dan disidang di Pengadilan Negeri Kupang dalam kasus korupsi proyek air minum bersih Desa Rana Masak, Kecamatan Borong tahun anggaran 2020.

Ditanya terkait pekerjaan lanjutan pada jalan tersebut, Wilibrodus mengatakan, “tahun ini tidak ada anggaran untuk lanjut kerja.”

“Kalau tahun depan belum tahu juga, karena belum dibahas,” katanya.

Hingga liputan ini ditulis, total Rp3,7 miliar telah digelontorkan pemerintah untuk membangun tembok dan menguruk tanah di dalamnya.

Saat Krebadia mengunjungi lokasi proyek tersebut pada 14 Januari 2024, pengerjaan urukan belum juga selesai. Masih tersisa puluhan meter bagian jalan yang penuh gundukan tanah dan belum diratakan.

Urukan tahap kedua proyek jalan lingkar luar Kota Borong yang belum tuntas. Gambar diambil 14 Januari 2024. (Etgal Putra/Krebadia)

Diimpikan Jadi Lokasi Wisata Buatan

Pemkab Manggarai Timur menyebut proyek jalan itu dalam rangka pengembangan sektor pariwisata, sebagaimana dikatakan Yos Marto.

“Ini pilot project Manggarai Timur untuk sektor pariwisata buatan,” katanya.

Menurutnya , pariwisata Borong “berpotensi menambah pendapatan daerah, tetapi pengelolaannya belum maksimal.” 

Sebaliknya, “pertanian terus diandalkan sebagai sumber utama pendapatan daerah,” paradigma yang menurutnya “harus diubah.”

Ia mencontohkan Labuan Bajo, ibu kota Kabupaten Manggarai Barat yang “maju dengan pesat meninggalkan kota lain karena pariwisatanya.” 

Borong, katanya, bisa menyamai Labuan Bajo lantaran “alam kita sama bagusnya.”

“Bayangkan bila Borong jadi Waterfront city, bakal maju kota kita ini,” katanya.

Waterfront city – merujuk pada “Pedoman Kota Pesisir” (2006) dari Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil–kini menjadi Direktorat Pendayagunaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil–di Kementerian Kelautan dan Perikanan adalah “pengembangan kawasan yang berbatasan dengan air dan menghadap ke laut, sungai, danau.”

Ditanya apakah itu harus dicapai dengan membuat jalan baru di sempadan pantai dan merusak mangrove, Yos menjawab, “yang penting siapkan sarana dan prasarana dulu. Nanti Dinas Pariwisata yang akan kelola.”

Tanpa memberi jawaban pasti soal waktu penyelesaian pengerjaan jalan itu, ia melanjutkan “semua tergantung dana, tapi pelan-pelan kita kerjakan.”

Kepala Dinas PUPR Manggarai Timur, Yosep Marto. (Dokumentasi Diskominfo Manggarai Timur)

Tidak Diketahui Dinas Pariwisata

Angan-angan Yos soal menjadikan Borong sebagai Waterfront city rupanya belum tersampaikan ke Dinas Pariwisata.

Ditemui Krebadia pada 14 November 2023, Kadis Pariwisata Manggarai Timur, Rofinus Hibur Hijau mengaku “belum berkomunikasi dengan Dinas PUPR” terkait pengembangan daerah pesisir Borong. 

Apalagi, katanya, “saya baru menjabat sebagai kadis.” Rofinus diangkat sebagai Kadis Pariwisata oleh Bupati Andreas Agas pada 29 Desember 2022.

Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Manggarai Timur, Rofinus Hibur Hijau (tengah). (Dokumentasi Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Manggarai Timur)

Ia mengatakan wewenangnya sebagai Kadis Pariwisata terbatas pada pengelolaan aset wisata “sesuai regulasi pemerintah daerah.”

“Kami punya banyak ide kreatif,” katanya, “tetapi terhambat regulasi.” Ia tak lebih lanjut menjabarkan ganjalannya.

“Kami hanya kelola apa yang jadi bagian dinas kami,” kata Rofinus.

Mengaku belum pernah menyambangi lokasi proyek jalan itu, Rofinus mengatakan hanya “mengetahui polemik pada awal pembangunannya.”

“Saya belum tahu perkembangan lanjutannya,” katanya. 

Bupati Tidak Merespons

Sementara tidak ada kepastian kapan proyek itu akan selesai dan impian menjadikannya lokasi wisata buatan bisa terwujud, Krebadia telah berupaya mewawancarai Bupati Manggarai Timur, Andreas Agas.

Upaya itu dilakukan melalui Jeany Wajong, Kepala Bagian Protokoler dan Komunikasi Pimpinan [Prokopim].

Jeany yang ditemui Krebadia pada 11 Desember 2023 di ruang kerjanya di lantai satu kantor bupati di Lehong, memberi informasi kemungkinan jadwal wawancara sepekan kemudian karena bupati masih di Jakarta.

“Nanti kita berkabar saja, di atas tanggal 18. Nanti ite (Anda) bisa WA saya tanggal 18,” katanya.

Kepada Jeany, Krebadia menyampaikan dua topik wawancara, termasuk soal proyek jalan ini.

Informasi dua topik wawancara itu lalu direspons Jeanny, “berarti nanti saya laporkan dua agenda itu ya.”

Namun, saat dikonfirmasi pada 18 Desember, Jeany memberikan jawaban bahwa jadwal kegiatan bupati sedang padat dan wawancara belum bisa dilakukan.

Selain melalui Prokopim, Krebadia telah berupaya menghubung Agas melalui pesan WA ke nomor ponsel pribadinya pada 26 Januari.

Pesan WA tersebut terkirim, bercentang dua dengan warna biru tanda telah dibaca, namun tidak dibalas hingga liputan ini dirilis.

Bupati Manggarai Timur, Andreas Agas. (Dokumentasi Diskominfo Manggarai Timur)

Dugaan Praktik Bagi-Bagi Proyek

Terbengkalainya proyek jalan lingkar luar itu dan ketidakjelasan waktu penuntasannya di tengah minimnya informasi pemerintah, menurut Siprianus Edi Hardum, pengamat kebijakan publik dan dosen hukum, seharusnya perlu dijelaskan secara terbuka kepada masyarakat.

“Masyarakat memiliki kekuatan untuk mempertanyakan kejelasan proyek milik pemerintah,” kata Edi melalui sambungan telepon pada 21 Januari.

Lelaki asal Reok Barat, Kabupaten Manggarai yang kini mengajar Universitas Tama Jagakarsa, Jakarta Selatan itu menjabarkan tiga alasan pentingnya kejelasan informasi proyek itu dibuka ke publik; pembangunannya menggunakan pajak rakyat; pengerjaannya merusak daerah sempadan pantai; dan pembangunannya patut diduga korupsi karena mangkrak.

Selain dugaan korupsi, ia menduga terbengkalainya sebagai imbas permainan ‘bagi-bagi proyek.”

“Mengapa mangkrak, karena itu bisa saja proyek bagi-bagi?” katanya, “Sekian persen untuk pihak yang punya kepentingan. Dananya kurang, akhirnya mangkrak.”

Dihubungi secara terpisah, merespons dugaan praktik politik “bagi-bagi jatah,” Yos Marto berkata, “saya tidak tahu soal itu.”

“Tidak ada bagi-bagi proyek,” katanya.

Ia mengklaim, “Saya Kadis yang sama sekali tidak berhubungan dengan kontraktor.”

Edi beralasan klaimnya berangkat dari pengalaman keterlibatan sebagai pengajar hukum pemerintahan daerah.

“Saya mengetahui di daerah-daerah itu ada organisasi yang tujuannya justru korupsi, namanya Muspida dan itu sudah dari dulu.”

Menurut Edi, forum Musyawarah Pimpinan Daerah [Muspida] pada awalnya dibentuk untuk tujuan positif seperti memudahkan koordinasi antarinstansi.

Namun dalam praktiknya, “ini menjadi forum untuk bagi-bagi proyek.”

“Forum Muspida telah tahu sama tahu soal penyimpangan keuangan negara,” kata Edi.

“Bisa saja itu politik kongkalingkong, bisa saja anggarannya sudah pas, tapi karena telah dibagi-bagi, akhirnya tidak jalan.”

Siprianus Edi Hardum: Masyarakat memiliki kekuatan untuk mempertanyakan kejelasan proyek milik pemerintah. (Istimewa)

Edi menjelaskan, “praktik kongkalingkong” di daerah umumnya melibatkan aparat penegak hukum sehingga banyak proyek yang amburadul tidak diusut.

“Ada sekian persen untuk jaksa, sehingga jaksanya tidak menuntut,” katanya memberi contoh.

Edi memperkuat klaimnya dengan contoh konkret kasus pembangunan Terminal Kembur di Manggarai Timur yang tidak dimanfaatkan dana malah menyeret petani pemilik lahan dan pegawai rendahan di dinas terkait ke penjara.

“Jaksa malah menjadikan Gregorius sebagai tersangka untuk menyelamatkan oknum pejabat yang telah membayar,” kata Edi, merujuk pada Gregorius Jeramu.

Gregorius telah dibebaskan oleh Mahkamah Agung pada November 2023, setelah dalam pengadilan sebelumnya ia divonis penjara karena menjual tanah yang tidak bersertifikat untuk terminal.

Para pejabat yang seharusnya bertanggung jawab untuk bangunan fisik terminal, kata Edi, “sampai sekarang tidak tersentuh, padahal namanya sudah disebut.”

“Jaksa dengan senang hati jadikan [pejabat demikian] sebagai ATM berjalan. Peras terus dan setor terus.”

Praktik seperti ini, lanjut Edi, “menunjukkan betapa tengil dan luar biasa pembangkangan hukum yang terjadi di daerah.”

“Manggarai Timur itu bupatinya tengil, apalagi Manggarai,” kata Edi.

Kata tengil, kata dia, juga merujuk pada sikap “tidak responsif pada masukan masyarakat.”

“Mengapa tidak responsif? Karena tidak ada yang memberi sanksi,” sehingga “aman-aman saja meski suka main proyek.”

Edi juga mengkritisi bungkamnya legislatif terhadap apa yang ia sebut “pembangkangan.”

“Apakah ada dari mereka yang berani mengkritisi penyakit ini?” tanyanya.

Padahal, kata dia, legislatif punya tiga yaitu fungsi kontrol, fungsi anggaran, dan fungsi legislasi.

“Fungsi kontrol ini 100 persen tidak digunakan. Justru fungsi kontrol ini jadi sarana kongkalingkong,” kata Edi.

“Praktik kongkalingkong itu akhirnya sejalan dengan fungsi anggaran, bagaimana anggota dewan minta persentase dari proyek gorong-gorong atau jalan misalnya.” 

Imbasnya, lanjut Edi Hardum, “mereka tidak bisa melahirkan regulasi yang bersifat kontrol.”

“Masyarakat seperti berteriak di padang pasir. Sendirian dan tidak didengar.”

Deker penahan tanah di sisi barat jalan lingkar luar Kota Borong yang telah amblas. Gambar diambil 14 Januari 2024. (Etgal Putra/Krebadia)

Yang Sudah Dikerjakan Mulai Rusak

Empat tahun berlalu sejak proyek jalan itu dikerjakan, sementara urukan kembali dikerjakan, banyak bagian tembok penahan tanah yang retak dan diselimuti belukar.

Deker penyalur air di sisi barat jalan telah amblas, besi beton penyangga deker mencuat dan diselimuti karat.

Tidak sampai beberapa meter dari deker amblas itu, seorang bapak duduk di sebuah bale-bale. Bertelanjang dada, ia tampak santai menonton anak-anak bermain bola.

Sesekali ia berteriak, “Jangan main kasar!” Sesekali ia juga memperingatkan mereka dengan seruan, “Awas, jangan tendang batu!” dan “Hati-hati, banyak paku di situ!”

Nama bapak itu Thomas, warga Kampung Golput, yang berada dalam area pembangunan proyek jalan itu.

Ia enggan berkomentar banyak terkait proyek jalan itu yang tembok penahan tanahnya hanya berjarak tiga meter dari pintu rumahnya.

“Kami hanya orang kecil yang menumpang di sini,” kata Thomas, “tidak enak kalau cerita, takut salah.”

“Kami tidak mau ikut campur urusan pemerintah.”

Editor: Anastasia Ika dan Ryan Dagur

Laporan ini merupakan artikel pertama dari dua artikel liputan terkait proyek jalan yang babat mangrove di sempadan Pantai Borong. Liputan dikerjakan Etgal Putra dari Krebadia dalam kolaborasi dengan Floresa, bagian dari program penguatan kapasitas jurnalis di Flores. Program ini didukung hibah dari Alumni Thematic International Exchange Seminar [TIES] Departemen Luar Negeri Amerika Serikat.

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di bawah ini.

Baca Juga Artikel Lainnya

Menteri Sandiaga Uno Tanam 1.000 Pohon di Golo Mori, Labuan Bajo, Tapi Dukung Pembabatan ‘Jutaan Pohon’ untuk Proyek Parapuar di Kawasan Hutan Bowosie

Penanaman pohon, kata Sandiaga, bagian dari upaya mendukung ‘green tourism’ di Labuan Bajo, namun dianggap sebagai aksi ‘tipu-tapu’

Maria Suryanti Jun: Menentang Geotermal karena Poco Leok Tanah Adat dan Warisan Leluhur Kami

Kelompok perempuan di Poco Leok terlibat aktif dalam gerakan perlawanan menolak proyek geotermal yang diyakini mengancam masa depan hidup dan lingkungan mereka

Abrasi Kian Parah, Pesisir Sikka Kian Terancam

Warga berjibaku mencari solusi di tengah abainya pemerintah

BRI Cabang Ruteng Beri Penjelasan terkait Kasus Nasabah yang Protes Soal Tunggakan Pinjaman

Nasabah tersebut mempersoalkan tunggakan lebih dari Rp29 juta 

Perkuat Sisi Bisnis dan Teknologi, Floresa Ikut Program Pendampingan ‘Advance’ AMSI

Pelatihan intensif tatap muka di Jakarta selama tiga hari dilanjutkan dengan pendampingan lanjutan selama tiga bulan ke depan

Imam Katolik di Keuskupan Ruteng Beri Klarifikasi di Tengah Tudingan ‘Berhubungan’ dengan Perempuan Bersuami

Kasus ini dilaporkan ke pimpinan gereja pada 24 April, yang membuat imam itu langsung diberhentikan dari jabatan sebagai pastor paroki

Proyek Tanggul Cegah Abrasi di Sikka ‘Hanya Sepotong,’ Warga Pesisir Cari Jalan Sendiri Hadapi Banjir Rob yang Kian Parah

Sambil menunggu tindakan nyata pemerintah menangani abrasi, warga membangun tanggul seadanya secara swadaya 

Kritisi Wacana Pungut Iuran Pariwisata dari Tiket Pesawat, Pelaku Usaha Sebut Kontradiktif dengan Upaya Tingkatkan Kunjungan Wisatawan

Bila diterapkan, kata mereka, kebijakan ini akan mengerek harga tiket pesawat sehingga berpotensi mengurangi minat wisatawan melancong di berbagai destinasi wisata