Halosina hidup di perkampungan ladang di lembah pedalaman Yahukimo, sekitar lima jam jalan kaki dari pinggiran kota Wamena.
Ia harus berjuang menghidupi dirinya dan empat anaknya setelah suaminya kawin lagi. Tanah ladang yang dibukakan oleh sang suami sudah tak subur lagi sehingga tak bisa ditanami. Namun, karena lebih memperhatikan istri keduanya, yang juga beranak banyak, maka Halosina tak bisa mengandalkan lelaki itu lagi untuk memberinya ladang.
Walhasil, di tengah himpitan kelaparan anak-anaknya, Halosina terpaksa mencuri ubi di ladang adik iparnya sendiri. Namun, ikatan kekeluargaan itu ternyata tak membuat Halosina terbebas dari hukuman.
Pemilik ladang dan ketua adat tetap bersikeras bahwa Halosina harus membayar denda satu ekor babi, atau sekitar Rp 500 ribu. Tak punya uang sepeser pun, Halosina akhirnya kabur dari desanya, dan ‘bersembunyi’ di rumah saudaranya di kampung sebelah.
Namun, ancaman denda terus mengejarnya, walau ia dengan gigih berupaya menempuh jalan damai dengan membujuk dan meminta maaf kepada sang adik ipar.