BerandaREPORTASEMENDALAMBerkas Kasus Pelecehan Seksual...

Berkas Kasus Pelecehan Seksual di SMK Negeri di Manggarai, NTT Segera Diajukan ke Kejaksaan, Komnas Perempuan Kritisi Pasal yang Digunakan Polisi

Kasus pelecehan seksual ini dilaporkan ke polisi sejak Desember tahun lalu, dengan tersangka Guru Mata Pelajaran Agama Katolik.

Floresa.co –  Polres Manggarai, Flores menyatakan akan segera mengajukan ke pihak Kejaksaan berkas kasus pelecehan seksual di sebuah Sekolah Menengah Kejuruan [SMK] Negeri untuk mulai disidangkan.

Namun, Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan [Komnas Perempuan] mengkritisi pasal yang digunakan polisi untuk menjerat tersangka.

Ipda I Made Budiarsa, Kepala Sub Bagian Hubungan Masyarakat Polres Manggarai mengatakan kepada Floresa pada Kamis, 22 Juni 2023 bahwa “saat ini  kasusnya masih dalam proses pemberkasan oleh penyidik dan akan dikirimkan ke Jaksa Penuntut Umum.”

“Paling lambat [dikirimkan] Hari Senin [26 Juni] atau Selasa,” katanya.

Kasus ini mulai diselidiki polisi sejak Desember tahun lalu, setelah munculnya aduan dari lima orang siswi yang mengaku menjadi korban pelecehan seksual dari Melkior Sobe, guru Mata Pelajaran Agama Katolik yang kemudian diberhentikan oleh sekolah.

Satu orang di antara siswi itu memutuskan mengajukan laporan resmi, didampingi orangtuanya.

Polres Manggarai kemudian menetapkan Melkior sebagai tersangka pada Februari.

Catatan Komnas Perempuan

Made mengatakan, mereka menjerat tersangka dengan Pasal 5 jo pasal 15 huruf b, g dan e Undang-undang No.12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, dengan ancaman hukuman maksimal 9 bulan penjara.

Pasal itu memuat ketentuan terkait pelecehan seksual nonfisik, yang merujuk pada “pernyataan, gerak tubuh, atau aktivitas yang tidak patut dan mengarah kepada seksualitas dengan tujuan merendahkan atau mempermalukan.”

Theresia Sri Endas Iswarini, komisioner Komnas Perempuan yang mengikuti perkembangan kasus ini sejak awal mengkritisi penggunaan pasal tersebut.

Ia mengatakan kepada Floresa bahwa pasal yang lebih tepat adalah 6 huruf a dan b yang mengatur tentang pelecehan fisik.

Sesuai huruf a pasal 6 itu, pelecehan seksual fisik merujuk pada perbuatan yang ditujukan terhadap tubuh, keinginan seksual dan/atau organ reproduksi dengan maksud merendahkan martabat seseorang berdasarkan seksualitas dan atau kesusilaannya,” dengan ancaman pidana penjara paling lama 4 tahun dan denda Rp50 juta.

Sementara pasal b terkait perbuatan seksual secara fisik yang ditujukan terhadap tubuh, keinginan seksual dan/atau organ reproduksi dengan maksud menempatkan seseorang di bawah kekuasaannya secara melawan hukum, baik di dalam maupun di luar perkawinan” yang diancam pidana penjara paling lama 12 tahun dan denda Rp300 juta.

Theresia Sri Endas Iswarini, Komisioner Komnas Perempuan. (Istimewa)

Theresia juga menambahkan, seharusnya polisi juga menggunakan Undang-undang Perlindungan Anak yang mengatur terkait penambahan sepertiga hukuman karena tersangka adalah pendidik yang seharusnya mengayomi dan melindungi peserta didik.

Penjelasan Polisi

Dikonfirmasi terkait cataan Komnas Perempuan, Made mengatakan, mereka tidak mengkategorikan kasus ini sebagai pelecehan seksual fisik karena tidak terbukti saat pemeriksaan para siswi.

“[Mereka] menyampaikan bahwa pelaku hanya omong, ‘Mau tidak jadi istri saya,’ ‘Mau berapa anak kalau jadi istri saya,’” katanya.

Hal itu, menurut dia, yang juga menjadi alasan Polres Manggarai tidak menggunakan Undang-Undang Perlindungan Anak.

Ia mengklaim undang-undang tersebut dipakai jika pelecehan seksual yang dilakukan terkait cabul atau persetubuhan.

“[Dalam] kasus ini kan pelaku tidak menyentuh alat vital korban. [Jadi] kasus ini tidak memenuhi unsur kalau menggunakan Undang-undang Perlindungan Anak,” katanya.

Kata Tersangka

Melkior atau Melki awalnya hanya disebut dengan inisial MS, termasuk oleh Floresa. Namun, ia kemudian muncul ke publik dan menggelar konferensi pada Sabtu, 17 Desember ketika berusaha melawan tuduhan terhadapnya, dengan membuat laporan balik ke polisi.

Namun, bukan para siswi yang ia laporkan, melainkan kepala sekolah yang memecatnya. Ia menuduh kepala sekolah berada di belakang para siswi tersebut sehingga berani mengadukan dirinya ke polisi.

Tuduhan itu, klaimnya, untuk menjatuhkan dirinya karena menjadi saksi kunci dalam kasus pemalsuan absensi yang diadili di Pengadilan Negeri Ruteng, dengan terdakwa adalah kepala sekolah.

Sejak saat itu pula, itu mengatakan tidak keberatan dengan penyebutan nama lengkapnya.

Dihubungi Floresa pada Kamis, 22 Juni terkait tindak lanjut kasus ini, Melkior tetap membantah, menyebut tuduhan terhadapnya “murni laporan orang yang tidak bertanggung jawab.”

Ia mengatakan, selama tiga tahun mengajar di sekolah itu, “tidak pernah ada permusuhan dengan seluruh peserta didik.”

“Namun, pada akhir tahun 2022 tiba-tiba dituduh keji demikian,” katanya.

Ia juga mengaku pernah dipertemukan dengan siswi yang mengadukan kasus itu, difasilitasi oleh pihak kepolisian, di mana hadir juga beberapa Guru Bimbingan Konseling dan dari dinas terkait.

“Tidak ada korban menurut saya, karena semuanya dalam keadaan normal saja,” katanya.

“Lalu, apa yang menjadi dasar bahwa saya dituduhkan melakukan pelecehan seksual?”

Penyidik dari Unit Perempuan dan Perlindungan Anak [PPA] Polres Manggarai sedang melakukan pra rekonstruksi kasus dugaan pelecehan seksual di sebuah SMK Negeri di Manggarai pada 14 Desember 2022. (Dokumentasi Floresa)
Seperti Apa Pengakuan Korban?

Floresa sempat mewawancarai para siswi korban kasus ini dan mengakses dokumen berisi kesaksian mereka, juga pengakuan dari Melkior sebelum ia diberhentikan dari sekolahnya.

Dari dokumen itu, sebetulnya tercatat ada 17 siswi yang mengaku sebagai korban, meski kemudian hanya lima yang berani mengadu ke polisi dan satu yang kemudian menyampaikan laporan resmi.

Dari pengakuan mereka, yang dentitasnya dirahasiakan untuk pertimbangan keamanan dan kenyamanan, terungkap beragam bentuk dugaan pelecehan oleh Melki.

Korban A mengaku bahwa setiap kali masuk kelas Melkior selalu mencubit pipinya dan pernah memeluknya saat sedang sendirian di kelas, sambil mengelus pundak, tengkuk hingga lehernya.

Saat sedang mengajar, kata dia, Melkior juga sering menjelaskan hal-hal bernuansa pornografi yang jauh dari tema pembelajaran.

Bahkan dalam suatu kesempatan, kata dia, Melkior menjelaskan hubungan seks suami istri dengan mencontohkan A sebagai istrinya.

Sementara korban B mengaku bajunya pernah ditarik, lalu dipeluk dari belakang oleh Melkior.

Ia sempat menegur Melkior bahwa tindakan demikian “tidak wajar dilakukan seorang guru terhadap muridnya.”

Sementara korban C mengatakan ia dan teman-temannya sempat diancam oleh Melkior usai mereka melaporkan kasus ini ke Guru Bimbingan Konseling hingga kepala sekolah.

“Dia ancam kami, katanya akan lapor balik ke polisi karena kami tidak ada bukti,” kata C.

“Dia juga mengaku dirinya wartawan, dia bisa tulis berita. Kami jadinya takut. Kalau lihat dia, trauma,” tambahnya.

Informasi dari para korban, ada rekan mereka yang pernah dirayu dan diraba pahanya oleh Melkior.

Korban tersebut, kata mereka, juga mengaku diajak Melkior untuk pacaran hingga dijadikan istri.

Kasus ini dilaporkan beberapa siswi pada Oktober 2022 ke Guru Bimbingan Konseling.

Setelah menjalani pemeriksaan yang melibatkan pimpinan sekolah, Melkior sempat membuat sebuah surat pernyataan pada 25 Oktober 2022 yang isinya membenarkan pengakuan siswinya sekaligus berjanji untuk tidak mengulangi tindakannnya.

Ia  menyatakan “akan mengubah sikap dan tingkah laku” serta “siap terima sanksi jika hal ini dilanggar.”

Namun, dari pengakuan korban, ia kembali mengulangi tindakannya.

Hal itu berujung pada upaya para korban mengadukan kembali masalah ini kepada pimpinan sekolah pada 2 Desember, di mana mereka mendesak agar Melkior diberhentikan.

Atas desakan itu, kepala sekolah memberhentikannya pada 5 Desember.

Kasus di SMK Negeri ini, menurut data Floresa, merupakan kasus pertama pelecehan seksual di lembaga pendidikan di wilayah Manggarai yang dilaporkan ke polisi oleh peserta didik sendiri.

Menurut data Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, sejak tahun 2021 hingga Juni 2022, terdapat 19 kasus kekerasan seksual terhadap anak di Kabupaten Manggarai. [EP]

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di bawah ini.

Baca Juga