Floresa.co – Warga di Poco Leok, Kabupaten Manggarai, NTT yang menentang proyek geothermal menampik tudingan bahwa sikap mereka muncul karena diprovokasi oleh sebuah lembaga advokasi Gereja Katolik.
Tudingan itu “tidak benar,” kata Tadeus Sukardin, warga Gendang Lungar, salah satu dari 10 kampung adat di wilayah Poco Leok.
Dampak buruk proyek geothermal, kata dia kepada Floresa, akan dirasakan oleh warga yang tinggal di wilayah Poco Leok, “bukan orang dari luar.”
Karena itu, katanya pada Jumat, 21 Juli, mereka menentang proyek itu yang kini sudah dalam fase pengadaan lahan.
Tadeus merespons tudingan baru-baru ini dari Raimundus Wajong, sosok yang pernah menjadi penggalang aksi massa dari luar wilayah Poco Leok untuk menyatakan dukungan bagi kelanjutan proyek yang dikerjakan PT Perusahaan Listrik Negara itu.
Dalam berita yang dilansir Suaranusantara.com, Raimundus menuding bahwa lembaga Gereja Katolik, khususnya Komisi JPIC-SVD Ruteng adalah provokator di balik aksi penolakan proyek itu.
Ia menyebut lembaga yang berbasis di Ruteng, ibukota Manggarai itu “merusak tatanan hidup” warga Poco Leok.
Ia juga meminta Uskup Ruteng, Mgr. Siprianus Hormat “segera menarik peran pemimpin JPIC SVD” dan kegiatan KSP Spirit Soverdia, koperasi milik lembaga itu di wilayah Poco Leok dan Manggarai.
Dikonfirmasi Floresa, Jumat, 21 Juli, Raimundus mengatakan, pernyataannya itu muncul karena sejak sosialisasi awal oleh pemerintah dan perusahaan pada tahun 2017 hingga tahap survei lokasi pengeboran, “tidak ada satupun warga atau pihak yang menolak” proyek tersebut.
“Waktu antara survei dan ukur lahan lokasi titik geothermal masuklah JPIC-SVD Ruteng di Lungar dan sejak itulah mulai ada pihak yg menolak,” ungkapnya.
Pastor Simon Suban Tukan, SVD, Ketua JPIC-SVD Ruteng, kata dia “sering membuat rapat di Aula Gereja Katolik Stasi Lungar untuk menolak proyek geothermal.”
Selain itu, ia juga mengirim tangkapan layar berita media Infopertama.com berjudul “Tolak Geothermal Poco Leok, Ada JPIC SVD di antara Massa Aksi.”
Berita itu memperlihatkan seseorang yang memakai baju berisi tulisan JPIC-SVD saat aksi unjuk rasa proyek geothermal pada bulan lalu.
Raimundus adalah warga Poco Leok yang saat ini berdomisili di Wae Koe, wilayah di luar Poco Leok yang berjarak sekitar 10 km ke arah barat.
Ia pernah memimpin aksi unjuk rasa di Lungar yang mendatangkan warga dari sekitar wilayah Poco Leok pada 16 Juni, menyatakan sikap mendukung proyek itu.
Merespons klaim Raimundus, Tadeus Sukardin menyatakan, keterlibatan JPIC-SVD adalah atas permintaan resmi dari sepuluh gendang di Poco Leok untuk membantu perjuangan mereka.
“Surat permohonan pendampingannya sudah ada di lembaga JPIC-SVD Ruteng,” katanya.
Ia juga mengatakan penolakan warga berkaitan dengan “harkat dan martabat gendang”, yang menurutnya tidak dihargai oleh pihak perusahaan yang melakukan aktivitas di atas tanah lingko atau lahan komunal mereka.
“Tanah ini berkaitan dengan gendang, yaitu gendang one lingko peang, golo lonto wae teku dan compang takung (rumah, kebun, kampung, air, dan tempat persembahan kepada leluhur),” katanya.
“Kalau salah satunya dirusakkan maka budaya tersebut sudah rusak dan kami tidak menginginkan hal ini terjadi,” tambah Tadeus.
Petrus Jehaput, Tua Adat Gendang Mocok mengatakan penolakan yang dilakukannya bersama warga Poco Leok tidak lahir dari provokasi pihak lain, termasuk lembaga JPIC SVD Ruteng.
“Ini adalah isi hati kami sendiri, sebab titik proyek geothermal ini berada di tanah lingko,” ungkapnya.
Ia juga menambahkan, lingko sebagai lahan pertanian memiliki hubungan yang tidak bisa dilepaskan dari gendang atau kampung.
“Kalau lingko sudah terluka, itu juga akan melukai gendang”, tambahnya.
Sementara itu, Pastor Simon Suban Tukan, SVD mengatakan kepada Floresa, selama ini lembaga yang dipimpinnya itu memang melakukan kegiatan bersama warga di Lungar dan sekitarnya.
“Termasuk pendampingan terhadap warga yang merasa haknya diambil sewenang-wenang oleh pihak lain,” ungkapnya.
Terkait tudingan menjadi dalang atau provokator perlawanan warga terhadap proyek geothermal, ia mengatakan “silahkan saja” dan “itu pemahaman mereka.”
“Tidak perlu ditanggapi, biarkan waktu yang akan menjawabnya,” katanya.
JPIC-SVD adalah salah satu dari beberapa lembaga yang diminta warga Poco Leok untuk mendampingi mereka.
Lembaga lainnya adalah JPIC-OFM Indonesia, Sunspirit for Justice and Peace, Jaringan Advokasi Tambang dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia cabang NTT.
Proyek geothermal Poco Leok, perluasan dari Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi [PLTP] Ulumbu hingga kini telah sampai pada tahap pelaksanaan, ditandai dengan keikutsertaan Badan Pertanahan [ATR/BPN] Kabupaten Manggarai dalam aktivitas pengadaan lahan.
Proyek ini terus menuai perlawanan warga setempat.
Mereka setidaknya sudah sepuluh kali melakukan aksi protes, baik melalui audiensi dengan pemerintah maupun pengadangan terhadap aktivitas perusahaan dan pemerintah di lingko yang menjadi lokasi pengeboran geothermal.
Pada 4 Juli, perwakilan warga Poco Leok menemui BPN untuk beraudiensi, sekaligus menyerahkan surat yang menyatakan keberatan terhadap aktivitas perusahaan di atas tanah lingko, yang menurut mereka tanpa konsultasi dan komunikasi dengan tokoh adat dan warga.
Mereka juga menemui perwakilan DPRD Manggarai pada hari yang sama.
Selain itu, pada 5 Juli, warga juga mengirim surat resmi kepada pendana proyek tersebut, Bank Jerman Kreditanstalt für Wiederaufbau (KfW), untuk menjelaskan argumentasi penolakan.
Beberapa di antaranya adalah menolak eksploitasi atas ruang hidup, proses-proses proyek yang tidak melibatkan warga dan adanya represi oleh aparat keamanan.
Proyek tersebut, yang merupakan bagian dari proyek strategis nasional menargetkan energi listrik 2×20 megawatt, meningkat dari 10 megawatt yang dihasilkan PLTP Ulumbu saat ini.