Ingkar Janji Pemerintah Tukar Guling Tanah Puskesmas Borong, Warga Bawa Sengketa ke Meja Hijau

Warga mengklaim sebagai pemilik sah tanah itu yang diperkuat dengan bukti sejarah. Pemerintah yang menguasainya puluhan tahun memilih memanfaatkannya, kendati belum memiliki landasan hukum.

Baca Juga

Floresa.co – Warga di Manggarai Timur melayangkan gugatan kepada pemerintah daerah karena bertahun-tahun mengingkari perjanjian tukar guling tanah yang kini menjadi lokasi Puskesmas Borong.

Langkah itu ditempuh kelima ahli waris sebagian bidang tanah milik Alex Tundur yang terletak di Wae Reca, RT 003 RW 002, Kelurahan Rana Loba, Kecamatan Borong. 

Kelima ahli waris itu adalah Katarina Tundur [penggugat I], Agustinus Tundur [penggugat II], Vincentius Tundur [penggugat III], Beneria Sardina Tundur [penggugat IV], dan Marsel Tundur [penggugat V].

Darius Jehedo, kerabat sekaligus juru bicara ahli waris yang berbicara kepada Floresa pada 5 Januari mengatakan, saat ini tanah seluas 9.686,28 meter persegi itu “dikuasai oleh Pemerintah Kabupaten Manggarai Timur melalui Dinas Kesehatan.”

Ia menjelaskan sebelah utara tanah itu berbatasan dengan Jalan Raya Trans Flores.

Sementara sebelah selatan berbatasan dengan tanah milik Beneria Sardina Tundur, Agustinus Tundur, Marsel Tundur, Katarina Tundur, dan Frans Dermawan.

Sebelah timur tanah itu berbatasan dengan lahan milik Katarina Tundur, Kantor Kelurahan Rana Loba dan Kantor Koramil 1612-04 Borong.

Sementara sebelah barat, kata dia, berbatasan dengan Jalan Piere Tandean.

Sejarah Tanah

Menurut Darius, tanah yang kini menjadi objek sengketa dikuasai, ditempati, dan digarap Alex Tundur bersama istrinya, Pertesia Sedia sejak 1949. 

Tanah itu, katanya, diperoleh Alex dan Pertesia dari Ibu Bese melalui pemberian secara adat, yang dalam bahasa warga setempat disebut “widang.”

Sebagai ungkapan terima kasih atau “wali”, Alex memberikan satu lembar “kain songke” dan satu ekor kambing kepada Ibu Bese.

Alex dan Bese, katanya, memiliki relasi sangat dekat sebagaimana hubungan ibu dan anak.

Ibu Bese tinggal bersama-sama dengan keluarga besar Alex sampai meninggal karena sakit pada usia 64 tahun.

Ia dimakamkan “di atas tanah yang sekarang dikuasai dan menjadi hak milik ahli waris Alex,” katanya.

Agustinus Tundur (kiri), salah satu ahli waris dan Darius Jehedo (berbaju putih), kerabat sekaligus juru bicara ahli waris yang mengklaim sebagi pemilik sah lahan Puskesmas Borong.

Pernah Berperkara dengan Yayasan Milik Keuskupan Ruteng

Sekitar 64 tahun silam, Alex didatangi seorang imam Katolik, pemimpin Yayasan Persekolahan Umat Katolik Manggarai atau Yasukma. Nama imam itu, sebagaimana yang tercatat dalam dokumen mereka, Pastor Foyensia.

Yasukma mengelola sejumlah sekolah Katolik milik Keuskupan Ruteng.

Darius bercerita, Foyensia kala itu meminta izin pinjam pakai sebidang tanah milik Alex untuk dibangun gedung dan kebun contoh usaha pertanian Sekolah Usaha Tani [SUT].

Izin pinjam pakai diputuskan lewat sebuah kesepakatan yang, pada intinya, berlaku selama tiga tahun hingga 1962.

Dalam salah satu syaratnya, Alex melarang SUT membangun gedung atau struktur bangunan lain di atas tanah tersebut secara permanen. 

Yang terjadi kemudian, pada 1962 pengelola SUT secara diam-diam mengajukan permohonan kepada Kepala Kantor Agraria Kabupaten Manggarai untuk menerbitkan Sertifikat Hak Milik Tanah atas nama SUT di lahan itu.

Mendapati informasi pengajuan tersebut, “Alex lalu melaporkan ke Haminte Riwu.” Haminte merupakan istilah yang disematkan pada pemerintahan setara kecamatan yang disebut Kedaluan dalam masa pendudukan Belanda. Sementara Riwu adalah nama Kedaluan yang membawahi wilayah itu.

Alex dan Bese menyerahkan pelaporan resmi tertulis kepada haminte pada 8 Mei 1963.

Haminte, kata dia, menindaklanjuti dengan mengirimkan surat pembatalan seluruh proses penerbitan sertifikat itu.

“Bapa [Alex] ini lapor perkara. Dalam perkara itu, ia menang. Pater Foyensia kalah,” katanya.

Pada 9 Desember 1964, masih menurut cerita Darius, Haminte Riwu melarang pengelola SUT atau siapapun beraktivitas di atas tanah tersebut. 

Sebaliknya, haminte memerintahkan pengelola SUT untuk mengembalikan tanah pinjam pakai itu kepada Alex dan Bese.

“Merasa malu berperkara dengan seorang pastor,” Darius melanjutkan, “Alex lalu memberikan sebidang tanah pengganti di Golo Karot kepada pengelola SUT.”

Di kemudian hari, di atas tanah itu, kata dia, berdiri Gereja Katolik St. Gregorius Borong dan Sekolah Menengah Atas Katolik Pancasila Borong.

Ingkar Janji

Suatu hari pada 1970, Bupati Manggarai saat itu, Frans Sales Lega mendatangi rumah Alex.

Ia meminta izin supaya pemerintah dapat membangun tempat pelayanan kesehatan di atas tanah yang pernah dipinjam Yasukma itu.

Bese dan Katarina Tundur hadir dalam pertemuan itu, yang berbuah perjanjian adat tukar guling tanah.

“Bapa tua [Alex] berikan, dengan syarat ‘tanah ganti tanah,” kata Darius.

Syarat lainnya adalah, pemerintah hanya boleh membangun gedung pos pelayanan kesehatan, tidak untuk bangunan yang lain.”

Vitalis Sobak, kerabat ahli waris, mengatakan Frans Sales Lega memang sepakat dengan perjanjian tukar guling tanah, tetapi lokasi dan waktu penyerahannya tidak pernah ditentukan. 

Frans, seperti dikisahkan kembali oleh Vitalis, hanya mengatakan: “Nanti kita tukar guling.”

Ia menduga Frans “tidak berani membuat perjanjian secara tertulis karena waktu itu pemerintah belum punya tanah pengganti untuk diserahkan kepada Alex.”

Marsel Tundur, juga ahli waris tanah itu, menjelaskan usai dipakai pemerintah mereka tetap menanam berbagai tanaman seperti pisang, kelapa dan mangga di lahan kosong di sekitar tempat pelayanan kesehatan itu.

Lahan tanam itu berubah rupa pada 1992, kala “pemerintah Kabupaten Manggarai datang dan memotong semua tanaman di sana.”

“Kami demo damai, sudah,” katanya.

Sebagai bagian dari demo damai, ahli waris menuntut pemerintah segera “merealisasikan janji memberikan tanah pengganti, atau setidak-tidaknya menyerahkan kembali tanah warisan Alex kepada ahli waris.

Camat Borong saat itu, Ambros Dandur, kata Vitalis, menjawab “akan tetap tukar guling, tetapi prosesnya nanti dulu.”

Ambros juga memanggil Gerardus Tundur, kakak tiri ahli waris, ke kantornya untuk mendiskusikan kembali terkait tanah itu.

“Kami tidak tahu seperti apa hasil diskusinya,” kata Vitalis.

Fasilitas pendukung dan jenis pelayanan Kesehatan di Puskemas Borong. (Dokumentasi Floresa)

Ahli Waris Gugat Pemerintah

Pada 2007 terjadi pemekaran wilayah Kabupaten Manggarai Timur dari Kabupaten Manggarai.

Implikasinya, tempat pelayanan kesehatan yang kini bernama Puskesmas Borong berada di bawah penguasaan Pemerintah Kabupaten Manggarai Timur.

Ahli waris lalu mengirimkan surat dan somasi kepada Bupati sementara Manggarai Timur saat itu, Frans Paju Leok.

Namun, kata dia, upaya itu sia-sia karena tidak ditanggapi oleh bupati hingga saat ini.

Ia menjelaskan pada November 2021 Bupati Manggarai Timur, Andreas Agas melalui Yoseph Durahi, Kepala Dinas Pertanahan, mengutus seorang petugas bernama Donsi menemui Katarina Tundur, meminta data sejarah tanah itu lewat sebuah wawancara. 

Ia menjelaskan berselang sekitar 14 hari kemudian, Donsi bersama Kepala dan staf Unit Pelaksana Teknis Daerah [UPTD] Puskesmas Borong kembali mendatangi Katarina Tundur.

Mereka memintanya menandatangani sebuah dokumen.

Katarina, kata dia, tidak bersedia tanda tangan karena menduga itu adalah dokumen “hibah tanah Puskesmas Borong” dan bahwa “ahli waris Alex berjumlah lima orang, bukan hanya saya.”

“Mereka [yang datang] dua orang perempuan, satu orang laki-laki. Pada saat itu ketemulah dengan adik ini [Marsel]. Terus dari situ, dia [Marsel] ribut,” ungkapnya.

Darius mengatakan para pegawai itu menyebut dokumen itu sebagai “dokumen pendukung” untuk pengukuran dan sertifikasi tanah. 

Tetapi, kata dia, meski tidak membacanya, ahli waris menduga itu adalah dokumen hibah tanah.

“Kami curiga begitu karena ‘pernah satu kali Donsi membawa dokumen yang diduga dokumen hibah,” ungkapnya.

Ia menjelaskan merespons protes Marsel, pada 28 Februari 2023 Pemerintah Kabupaten Manggarai Timur mengirimkan surat bernomor HP. 02.02.82-53.19/II/2023 kepada ahli waris. 

Isi surat itu, kata dia, mengundang para ahli waris mengikuti Sidang Panitia “A” dan pengukuran bidang tanah. 

Darius menjelaskan sidang itu berhubungan dengan permohonan hak pakai atas tanah di Puskesmas Borong yang diajukan Boni Hasudungan, Sekretaris Daerah Manggarai Timur.

Atas dasar undangan tersebut, kata dia, para ahli waris baru mengetahui bahwa Pemerintah Kabupaten Manggarai Timur “secara diam-diam” berupaya mengambil alih hak atas tanah itu.

Ia menjelaskan sidang itu berlangsung di Kantor Camat Borong pada Rabu, 1 Maret 2023 pukul 10.00 Wita dan semua ahli waris hadir.

Sidang itu, kata dia, dipimpin oleh Jeremias Haning, Kepala Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Manggarai Timur.

“Nah, mendadak mereka berlima [ahli waris] mengangkat saya sebagai juru bicara,” katanya.

Karena itu, kata dia, ia meminta proses pengukuran tanah dibatalkan “karena saya tahu bahwa tanah Puskesmas itu milik kelima ahli waris, bukan milik Pemda.”

“Akhirnya, pada waktu itu pengukuran tanah itu batal, sampai dengan hari ini,” ungkapnya.  

Darius menjelaskan para ahli waris melakukan protes dan mengajukan keberatan kepada BPN Manggarai Timur dengan cara menolak tahapan proses pengukuran hak pakai atas tanah itu yang diklaim sepihak oleh pemerintah.

Klaim itu, kata dia, dilakukan dengan cara memasang plang di atas tanah itu.

Vitalis mengatakan pemasangan plang itu dilakukan saat perkara sedang bergulir.

Bangun Tak Tanggung-tanggung

Menurut Vitalis, klaim Pemerintah Kabupaten Manggarai Timur tidak berdasar hukum karena di plang itu tidak dicantumkan nomor akta dan sertifikat serta proses perolehan tanah.

“Lampirkan dulu bukti hak tanah itu. Kalau tanah itu hibah, lampirkan surat hibah. Kalaupun jual beli, lampirkan juga surat jual beli,” katanya.

Alih-alih memperjelas dan menindaklanjuti status tanah supaya ada kepastian hak kepemilikan, “pemerintah malah mengingkari kesepakatan awal yaitu hanya boleh membangun tempat pelayanan kesehatan.”

Pemerintah, kata dia, justru membangun berbagai fasilitas baru seperti Ruang Rawat Inap, Rumah Dinas Dokter, Ruangan Kebidanan, Gudang Obat, Ruangan Instalasi Gawat Darurat, Ruang Pelayanan, dan tempat tinggal pegawai.

“Ini kelemahan pemerintah. Sudah belum jelas statusnya [tanah], malah bangun struktur. Tidak tanggung-tanggung pembangunannya, hingga bertubi-tubi,” ungkapnya. 

Vitalis menjelaskan pembangunan fasilitas tambahan itu adalah perbuatan melawan hukum karena mengoperasikannya tanpa dasar hukum yang jelas dan sah. Kemudian, kata dia, kepentingan hukum ahli waris tersandera oleh penguasaan

Pemerintah Kabupaten Manggarai Timur karena mereka tidak dapat menikmati hasil dari obyek sengketa.

“Ini sama dengan mereka [pemerintah] menelanjangi diri. Banyaknya bangunan di atas itu tanpa dasar hukum yang kuat. Berani-beraninya membangun di atas itu. Nanti bangunan itu dapat dirobohkan,” ungkapnya. 

Ia menilai pembangunan berbagai fasilitas di tengah ketidakjelasan status tanah adalah “bagian dari korupsi kebijakan.”

Sebab, kata dia, kebijakan tentang pembangunan fasilitas itu tidak berdasar pada hukum dan mengabaikan rambu-rambu tentang pelaksanaan pembangunan. 

“ Padahal, ada aturan bahwa kalau bangunan pemerintah, lampirkan dulu bukti hak tanah itu,” katanya.

Marsel menjelaskan merespons penolakan itu, pada 13 Maret 2023, Jeremias mengirimkan surat bernomor MP.01.01/113-53.19/III/2023. Surat itu, kata dia, berisi  undangan kepada ahli waris melakukan mediasi pada Selasa, 21 Maret 2023.

Ahli waris dan kerabat Alex Tundur saat mediasi dengan pihak Pemerintah Kabupaten Manggarai Timur di Kantor BPN pada Selasa, 21 Maret 2023. (Dokumentasi Facebook Kantah Kabupaten Manggarai Timur)

“Mediasi itu tidak memenuhi kata sepakat. Pemda mengatakan kami tetap pada prinsip bahwa tanah itu milik Pemda, karena sudah terdaftar sebagai aset Pemda,” ungkapnya. 

Darius bercerita, setelah mediasi itu, ia dan anaknya, Sandri, diundang Jeremias mengikuti rapat di kantornya.” 

Sesampai di sana, kata dia, Jeremias menanyai mereka terkait keinginan ahli waris Alex.

“Saya undang kamu ada tujuan penting. Ada beberapa pertanyaan untuk kamu. Yang paling pertama, apa yang menjadi keinginan kamu selaku ahli waris dari tanah Puskesmas yang dimiliki Dinas Kesehatan Kabupaten Manggarai Timur dan Pemda Manggarai Timur? Apa yang kamu inginkan?”, ungkapnya menirukan ucapan Jeremias.

Terhadap pertanyaan itu, kata Darius, ia tegas menjawab, “kami tidak punya keinginan lain.  Kami hanya minta tanah pengganti dari tanah Puskesmas yang dinamakan tukar guling.”

“Kalau tukarnya sudah kami berikan seluruh tanah Puskesmas, mana gulingnya [tanah pengganti]?” ungkapnya. 

Terhadap pertanyaan itu, kata dia, Jeremias menjawab, “kalau tanah, Manggarai Timur tidak punya. Uang pun tidak ada.” 

Merespons jawaban itu, Darius kembali bertanya, “Berarti kalau kami minta ganti rugi berupa uang, Pemda juga tidak punya?”

Terhadap pertanyaan itu, kata dia, Jeremias menjawab, “Ya pasti tidak ada. Pemda hanya punya uang ‘sirih pinang.’ Kalau kamu suka, itu pasti terjadi.”

Mendengar jawaban itu, kata Darius, anaknya, Sandri mengatakan, “Kalau itu yang diinginkan atau sedang direncanakan oleh pemerintah, maka kami ambil pulang [kembali] tanah itu.”

Mendengar jawaban itu, kata Darius,  Jeremias berkata, “Sudah, pertemuan selesai.” 

Vitalis menjelaskan ‘uang sirih pinang’ maksudnya Pemerintah Kabupaten Manggarai Timur menggantikan tanah dengan uang seadanya.

“Berapa saja yang mereka miliki,” kata dia, artinya “tidak ada kepastian tentang nominal uang dan pemberiannya tergantung mereka.”

Lantas, kata dia, “kami tolak karena tidak ada kepastian angkanya, kan terserah mereka.”

“Bukan itu yang kami cari. Kami hanya mau kembalikan tanah atau mana tanah gulingnya,” katanya.  

Darius menjelaskan pada 31 Maret 2023, Jeremias kembali mengundang ahli waris melakukan mediasi melalui surat bernomor MP.01.01/139-53.19/III/2023. Surat itu, kata dia, merupakan respons Pemerintah Kabupaten Manggarai Timur atas kegagalan pada mediasi pertama.

“Mediasi kedua ini batal [gagal mencapai kata sepakat] lagi,” ungkapnya.

Ia mengingat dalam mediasi itu Yoseph mengatakan “kami tidak akan menyerahkan tanah ini begitu saja. Silahkan kamu lapor perkara di mana pun, kami ikut.”

Pernyataan itu, kata Darius, berarti penyelesaian sengketa tanah Puskesmas Borong dilanjutkan ke tahap litigasi, “melaporkan secara perdata atau secara hukum, atau secara pidana ke Pengadilan Negeri Ruteng.”

Ia menjelaskan merespons kegagalan mediasi pertama dan kedua, pada Senin, 17 April 2023 Jeremias menerbitkan Berita Acara Pelaksanaan Mediasi Kedua berisi rekomendasi agar penyelesaian perkara tanah Puskesmas Borong dilanjutkan lewat proses litigasi. 

“Pada saat itu ada perjanjian tenggang waktunya selama 90 hari. BPN yang janjikan itu. Dalam berita acara itu dikatakan selama 90 hari ke depan atau tiga bulan bilamana tidak ada gugatan pihak penggugat, maka proses pengukuran tanah maupun sertifikat tanah, dilanjutkan pemerintah,” ungkapnya.

Mendaftarkan Gugatan

Darius menjelaskan tanpa sepengetahuan Pemerintah Kabupaten Manggarai Timur, ahli waris lebih awal memasukkan materi gugatan ke Pengadilan Negeri Ruteng pada 10 Juli 2023. 

Waktu itu, kata dia, ia membawa tiga dokumen penting dari pengacara ahli waris, yakni surat pendaftaran panitera di Kehakiman Pengadilan Negeri Ruteng.

“Dua hari setelahnya, yakni 12 Juli, saya mengantar surat ke BPN. Surat itu berisi pemberitahuan bahwa materi perkara kami sudah didaftar di Pengadilan Negeri Ruteng,” katanya.

Ia menjelaskan pada 17 Juni 2023 BPN kembali mengundang ahli waris melakukan mediasi.

BPN, kata dia, juga mengirimkan surat pemberitahuan tentang pengukuran tanah.

“Tapi waktu itu tidak jadi ukur. Sampai sekarang belum terjadi pengukuran karena gugatan kami sudah terdaftar di pengadilan. Kami juga tahu tujuan pengukuran itu adalah untuk pensertifikatan,” katanya.

Marsel mengatakan pada Rabu, 15 November 2023 Majelis Hakim Pengadilan Negeri Ruteng menyelenggarakan musyawarah yang diikuti oleh Carisma Gagah Arisatya, sebagai Hakim Ketua dan anggota masing-masing Syifa Alam dan Indi Muhtar Ismail.

Musyawarah itu menghasilkan empat keputusan. Pertama, menolak eksepsi para tergugat, Pemerintah Kabupaten Manggarai Timur. Kedua menyatakan Pengadilan Negeri Ruteng berwenang mengadili perkara ini. Ketiga memerintahkan kedua belah pihak untuk melanjutkan persidangan. Keempat, menangguhkan biaya perkara sampai putusan terakhir. 

Ia menjelaskan putusan itu telah diucapkan dalam persidangan terbuka untuk umum, dengan dihadiri Jeleha, sebagai Panitera Pengganti. 

Putusan itu, kata dia, telah dikirim secara elektronik melalui sistem informasi pengadilan pada hari itu juga. 

Vitalis menjelaskan dalam salah satu gugatannya, ahli waris meminta Pengadilan Negeri Ruteng meletakkan sita jaminan (conservatoir beslag).

Tujuannya, kata dia, untuk menjamin tanah obyek sengketa tidak dipindahtangankan kepada pihak lain secara melawan hukum.

“Sita jaminan artinya kosongkan, tidak ada kegiatan. Sita jaminan itu untuk mengetahui bahwa lokasi Puskesmas itu berada di bawah pengawasan pengadilan. Harus ada plang yang memberitahukan tanah ini disita supaya kedua belah pihak tidak boleh melakukan aktivitas di sana,” ungkapnya. 

Darius mengatakan pada 15 Desember 2023 diselenggarakan sidang lokasi di mana Pengadilan Negeri Ruteng mendatangi objek sengketa dan meminta keterangan dari kedua belah pihak terkait batas-batas tanah.

Waktu itu, kata dia, ada perjanjian bahwa pada 22 Desember 2023 akan diselenggarakan sidang para saksi, tetapi kemudian jadwal sidang itu diundur pada 10 Januari 2024. 

“Sidang saksi itu tergantung pada kebijakan hakim. Bisa saja saksi dari kedua belah pihak dimintai keterangan. Bisa juga hakim hanya meminta keterangan saksi dari salah satu pihak,” ungkapnya.

Floresa telah berusaha meminta tanggapan Andreas Agas, Bupati Manggarai Timur melalui pesan WhatsApp pada Selasa, 9 Januari terkait konflik ini.

Namun, hingga kini masih centang satu, tanda belum terkirim ke calon penerima pesan.

Pada hari yang sama, Floresa juga menghubungi Boni Hasidungan, Sekretaris Daerah Manggarai Timur melalui pesan WhatsApp

Namun ia tak menanggapi pesan yang terkirim. Pesan itu bercentang dua tetapi tidak biru, tanda sudah sampai ke penerimanya.

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kawan-kawan bisa berdonasi dengan cara klik di sini.

Terkini