Mahasiswa Asal Nagekeo di Kupang Dorong Polisi Proses Hukum Pemilik Akun Facebook yang Dinilai Hina Masyarakat Adat Rendu Butowe terkait Proyek Waduk Lambo

Mereka berencana menggelar aksi demonstrasi di Polda NTT bila pemilik akun Facebook itu tidak diproses hukum

Baca Juga

Floresa.co- Organisasi mahasiswa di Kupang, ibu kota Provinsi Nusa Tenggara Timur [NTT] mendorong polisi memproses hukum pemilik sebuah akun Facebook yang dinilai menghina dan mencemarkan nama baik masyarakat adat Nagekeo.

Ikatan Generasi Muda Asal Rendu [IGMAR] menyatakan komentar pemilik akun Facebook Beccy Azi di sebuah grup Facebook, “merendahkan harkat dan martabat kami sebagai orang Rendu Butowe.”

“Kami IGMAR Kupang mengecam keras tindakan tersebut, sebab kami merasa direndahkan secara harkat dan martabat. Kami merasa tidak dihargai,”  ujar Ignasius Podi Be’i, Ketua Umum IGMAR dalam pernyataan pada 20 Maret.

Igen, sapaannya, menilai komentar Beccy Azi dilakukan dengan “tahu dan mau.”

“Saya hanya meminta pemilik akun tersebut bertanggung jawab atas pernyataannya, sebab hal tersebut dilakukan secara sadar, bukan karena paksaan. Saya sebagai orang Rendu Butowe merasa tidak dihargai,” katanya.

Ia pun meminta Polres Nagekeo menangani kasus ini secara profesional dengan menindaklanjuti laporan yang disampaikan perwakilan masyarakat adat Rendu Butowe.

“Kami memberi waktu 3×24 jam untuk Polres Nagekeo menangani kasus tersebut,” katanya.

“Jika tidak diindahkan, jangan marah, kami akan melakukan aksi besar-besaran di Kepolisian Daerah [Polda] NTT,” tambahnya.

Ignasius Podi Be’i, Ketua Umum IGMAR memberikan waktu 3×24 jam kepada Polres Nagekeo untuk menangani kasus ini. (Dokumentasi IKMAR)

Perwakilan masyarakat adat Rendu Butowe melaporkan Beccy Azi, pemilik akun Facebook yang diduga merupakan Aparatur Sipil Negara [ASN] di lingkup Pemerintah Kabupaten [Pemkab] Nagekeo itu ke Polres Nagekeo pada 18 Maret.

Adiyanto Weo, salah satu perwakilan masyarakat adat Rendu Butowe berkata akun itu dilaporkan lantaran komentarnya pada salah satu unggahan di Grup Facebook “Mbay Online” pada 17 Maret “yang menyinggung perasaan masyarakat adat Rendu Butowe.”

Dalam sebuah gambar tangkapan layar yang diperoleh Floresa, Beccy Azi mengomentari unggahan oleh pemilik akun bernama Jento yang mengirim tautan berita dari media siber Florespos.net tentang polemik pembanguan Waduk Lambo.

Berita itu berisi tuntutan warga Rendu Butowe menghentikan pembangunan waduk itu jika pemerintah tidak membayar ganti rugi lahan.

Beccy Azi menulis: Ini su mulai gejala gila.nanti kamu yg ada sawah di pintu rendubutowe tu kerja sawah pake air ludah atau air kencing sja jangan pake air yg dri bendungan….ituhari jokowi dtg kamu tidak mau duduk teriak di jalan atau bikin aksi buka baju macam ituhari tu pamer BH yg lumut semua tu.

Adiyanto menyebut, komentar tersebut “sangat keterlaluan dan merusak nama baik masyarakat adat Rendu Butowe.”

“Dia tidak punya hak untuk mengatakan kami orang Rendu seperti itu,” katanya dalam pernyataan yang diterima Floresa.

Neo, salah seorang warga yang ikut dalam rombongan perwakilan masyarakat Rendu Butowe saat mendatangi Polres Nagekeo menyebut tindakan Beccy Azi “sudah di luar batas dan keji.”

“Mana ada orang kerja sawah pakai kencing. Sebagai warga negara yang baik, kita serahkan masalah ini ke pihak berwajib agar diproses sesuai hukum yang berlaku,” katanya.

Perwakilan masyarakat Rendu Butowe di Kabupaten Nagekeo mendatangi Polres Nagekeo pada 18 Maret 2024 melaporkan pemilik akun Facebook yang diduga menghina mereka karena menuntut ganti rugi lahan untuk pembangunan Waduk Lambo. (Dokumentasi masyarakat adat Rendu Butowe)

Waduk Lambo merupakan salah satu bagian dari Proyek Strategis Nasional yang berlokasi di Lowose, Desa Rendu Butowe.

Waduk dengan kapasitas tampung mencapai 51,74 juta meter kubik itu memiliki luas bentangan genangan mencapai 499,5 hektare.

Sejak awal pembangunannya, warga setempat melakukan rangkaian protes lantaran penetapan lokasi [Penlok] yang dinilai sepihak oleh pemerintah, tanpa melalui kesepakatan dengan mereka. 

Salah satu yang menjadi sorotan mereka adalah tanah ulayat seluas kurang lebih 210 hektare, milik warga tiga desa yakni Desa Rendu Butowe, Kecamatan Aesesa Selatan; Desa Labolewa, Kecamatan Aesesa dan Desa Ulupulu, Kecamatan Nangaroro.

Meski dipersoalkan warga, pembangunannya tetap dilanjutkan hingga saat ini, dengan perkembangan pekerjaan mencapai  hampir 50 persen. 

“Tanah kami sudah dikerjakan untuk waduk, namun satu persen pun kami belum terima ganti rugi,” kata Tadeus Betu, warga Desa Rendu Butowe seperti dilansir Florespos.net.

“Kami minta pemerintah jangan tutup telinga dan tutup mata. Bantu kami masyarakat kecil,” tambahnya.

Editor: Petrus Dabu

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kawan-kawan bisa berdonasi dengan cara klik di sini.

Terkini