Lelet Tangani Kasus Dugaan TPPO Warga yang Dipekerjakan di Kalimantan, Kapolres Sikka Diminta Mundur

PMKRI dan Jaringan HAM Sikka mempertanyakan polisi yang belum juga menetapkan tersangka

Floresa.co – Kelompok advokasi dan aktivis mahasiswa di Kabupaten Sikka mengkritisi kelambanan polisi dalam menangani kasus dugaan tindak pidana perdagangan orang dengan terduga pelaku seorang Caleg terpilih.

Pada 13 Mei, Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia [PMKRI] cabang Maumere menggelar unjuk rasa di depan kantor Polres Sikka, mendesak Kapolres AKBP Hardi Dinata mundur jika tidak bisa menuntaskan kasus ini yang sudah dilaporkan sejak awal bulan lalu.

“Kami minta Kapolda NTT segera copot Kapolres Sikka karena gagal selesaikan kasus ini,” demikian desakan mahasiswa dalam orasi.

Selain PMKRI, Jaringan HAM Sikka, yang terdiri dari para imam Katolik, suster dan aktivis, juga ikut mendatangi kantor polisi, menanyakan perkembangan penanganan kasus ini.

Pegiat HAM dan rektor di Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif Ledalero, Pastor Otto Gusti Madung, SVD mempertanyakan polisi yang terkesan jalan di tempat, kendati bukti-bukti dugaan Tindak Pidana Perdagangan Orang [TPPO] kasus ini sudah kian terang.

PMKRI mendesak pencopotan Kapolres Sikka, AKBP Hardi Dinata dalam aksi unjuk rasa pada 3 Mei 2024 karena dinilai gagal menuntaskan kasus dugaan TPPO. (Maria Margaretha Holo/Floresa)

Kasus ini bermula dari laporan meninggalnya seorang warga Sikka, Yodimus Moan Kaka atau Jodi, di Kalimantan pada akhir Maret. 

Ia merupakan bagian dari 72 warga yang diberangkatkan pada awal Maret untuk bekerja pada perusahan sawit di Kalimantan Timur. Mereka dilaporkan direkrut oleh calo yang terhubung dengan Yuvinus Solo atau Joker, Caleg  terpilih dari Partai Demokrat.

Di Kalimantan mereka ditelantarkan, membuat Jodi meninggal pada 28 Maret karena kelaparan saat sedang diantar ke rumah sakit terdekat untuk mendapat pertolongan medis. 

Kasus ini dilaporkan oleh istri Jodi ke Polres Sikka pada awal April. Sejumlah pihak sudah diperiksa, termasuk Joker.

Atas desakan dan upaya kelompok aktivis, termasuk Jaringan HAM Sikka, tujuh di antara warga yang masih berada di Kalimantan telah kembali ke Maumere pada awal bulan ini.

Ketua PMKRI Maumere, Kornelis Wuli berkata kepada Floresa, “penanganan kasus ini yang berlarut-larut” membuat mereka “turun untuk kedua kalinya menuntut keadilan bagi Yodimus Moan Kaka.” PMKRI sebelumnya berunjuk rasa pada 6 April.

Dalam aksi itu, mereka sempat ricuh dengan polisi.

Aktivis PMKRI Cabang Maumere sempat ricuh dengan polisi dalam aksi unjuk rasa pada 13 Mei 2024. (Maria Margaretha Holo/Floresa)

Kornelis berkata, PMKRI telah melakukan investigasi mandiri terhadap kasus ini dan menemukan keterlibatan Yuvinus Solo.

Ia mempertanyakan kelambaan polisi, mengingat tujuh korban yang sudah pulang dari Kalimantan juga sudah diperiksa.

“Kurang apa lagi?” katanya.

Ia berkata, temuan mereka juga menunjukkan unsur-unsur TPPO sudah terpenuhi.

“Ada penipuan, ada pemalsuan administrasi, bahkan sudah ada korban,” katanya, “tetapi tidak ada tanda-tanda Yuvinus ditetapkan sebagai tersangka.”

Ia berkata, mereka memberikan ultimatum kepada polisi agar paling lambat tiga hari ke depan sudah ada perkembangan penanganan kasus ini.

“Jika tidak, kami akan turun lagi. Kami juga akan surati Polda NTT bahkan Polri, bahwa Polres Sikka gagal total dalam menangani masalah kemanusiaan ini,” katanya. 

Ia juga berkata, “PMKRI secara organisatoris akan menyerukan mosi tidak percaya terhadap kinerja kerja Polres Sikka.”

Dalam aksi itu, PMKRI juga melakukan aksi berjalan mundur menuju Polres Sikka, yang ia sebut simbol “mundurnya kepercayaan PMKRI terhadap kinerja Polres Sikka.”

Ia berkata, berlarut-larutnya kasus ini menimbulkan keresahan di tengah masyarakat dan “goncangan masalah baru antara pihak keluarga korban dan keluarga para terduga perekrut.”

Pastor Otto Gusti Madung, SVD juga ikut mempertanyakan kelambanan polisi, sementara sejumlah sejumlah pihak, termasuk tujuh korban yang sudah dipulangkan dari Kalimantan juga langsung diperiksa setibanya di Maumere.

“Mereka tiba di Maumere pagi hari dan pihak kepolisian langsung minta agar segera diambil keterangan. Padahal, mereka saat itu masih sangat lelah,” katanya.

Aktivis dari Jaringan HAM Sikka saat mendatangi Polres Sikka pada 13 Mei 2024. (Maria Margaretha Holo/Floresa)

Namun, kata Otto, sayangnya, “hingga saat ini belum ada perkembangan penanganan.”

“Oleh karena itu kami datang ke sini untuk meminta keterangan polisi,” katanya.

Ia berkata mereka diberitahu bahwa Kapolres dan Kasat Reskrim sedang berada di tempat lain dan baru kembali pada 15 Mei.

“Kamis [16 Mei] kami akan datang lagi untuk tanya bagaimana kelanjutannya,” katanya.

Ia berkata, jika kasus ini tidak juga diproses, “tentu kami akan datang dengan massa yang lebih besar untuk menyampaikan aspirasi kami lewat demonstrasi.”

“Negara harus hadir untuk korban,” katanya.

Sementara itu, Falentinus Pogon, Ketua Tim Hukum Tim Relawan Kemanusiaan – Flores [TRUK-F] sekaligus kuasa hukum Maria Herlina Mbani, istri Jodi, berkata, bukti-bukti kasus ini sudah kuat “dan kita ingin polisi tetapkan tersangkanya.”

Menanggapi desakan para aktivis, Kepala Seksi Humas Polres Sikka, AKP Susanto berkata, polisi telah memeriksa sejumlah saksi, baik saksi di Maumere maupun saksi yang tiba dari Kalimantan. 

“Termasuk dari saksi ahli pun sudah dilaksanakan pemeriksaan,” katanya kepada Floresa.

Ia berjanji, sekembalinya Kapolres dan Kasat Reskrim ke Maumere, “akan dilakukan gelar untuk penanganan selanjutnya.”

Ke Kalimantan demi Cari Nafkah

Jodi meninggalkan isteri dan dua anaknya di Sikka pada 12 Maret. Ia membawa serta anak laki-lakinya, Aloysius Engkis Kurniawan, 19 tahun. Mereka meninggalkan Pelabuhan Lorens Say, Maumere pada 13 Maret bersama rombongan.

Maria Herlina Mbani, 41 tahun, istri Jodi, mengakui “hidup kami susah sekali,” alasan yang membuat suami dan anaknya merantau.

“Saya akan terlebih dahulu kirim uang untuk beli beras supaya kamu dan anak-anak jangan lapar,” kata Maria kepada Floresa pada 5 April, menirukan ungkapan Jodi, sebelum berangkat.

Maria Herlina Mbani, 41 tahun, istri dari Yodimus Moan Kaka atau Jodi didampingi anak dan keluarganya pada 4 April 2024 menceritakan kematian suaminya yang bekerja di Kalimantan, (Maria Margaretha Holo/Floresa)

Maria berkata, kurang lebih dua minggu sebelum Jodi dan anaknya pergi, seseorang bernama Pilius membujuk mereka. Pilius mengaku bekerja untuk Joker.

Maria berkata, Pilius memberitahu suami dan anaknya untuk kerja di Kalimantan, di mana “makan minum di sana akan dijamin.”

“Kamu ke sana tinggal kerja,” kata Pilius, yang juga memberitahu mereka bahwa Joker akan menanggung tiket kapal dan biaya lainnya.

Petrus Arifin atau Ari, 38 tahun, warga Kampung Galit, Desa Habi, Kecamatan Mapitara yang ikut dalam rombongan bersama Jodi dan masih berada di Kalimantan sempat berbicara pada 6 April.

Ia  mengakui “terjadi beberapa hal janggal dalam proses perekrutan hingga perjalanan kami dari Maumere ke Kalimantan.”

“Awalnya mereka [perekrut] datang dan beritahu kalau mereka cari tenaga kerja untuk perusahan sawit di Kalimantan, atas nama Joker,” kata Ari.

Ia berkata, ketika berada di Pelabuhan Lorens Say Maumere, mereka yang tergabung dalam rekrutan Joker berjumlah puluhan orang.

Saat hendak naik ke kapal KM Lambelu, kata Ari “kami disuruh tidak boleh kerumunan, jalan harus pisah-pisah karena nanti ketahuan.”

Joker, kata dia, juga tidak ikut naik kapal itu. Joker memberitahu mereka bahwa “banyak yang mengincar dirinya, sehingga ia memutuskan untuk naik kapal di Pelabuhan Larantuka.”

Joker kemudian bercerita kepada beberapa korban termasuk Ari bahwa “ia harus membayar polisi lima juta,” agar keberangkatan mereka sebagai tenaga kerja ilegal tidak ketahuan.

“Polisinya bilang, ‘Bapak naik kapal di Larantuka saja, jangan di sini,’” kata Ari menirukan ucapan Joker.  Akhirnya, kata dia, Joker pun naik kapal lewat Larantuka.

Tiba di Pelabuhan Kota Balikpapan, kata Ari, mereka melanjutkan perjalanan hingga ke daerah yang ia sebut ‘Simpang Kalteng,” dan dipisahkan dalam dua kelompok.

“Kami yang satu bus kemudian diberangkatkan dari Simpang Kalteng menuju satu tempat yang mereka sebut Kamp Baru,” kata Ari.

“Kami malah dititipkan lagi kepada orang lain yang tidak kami kenal, namanya Yanto.”

Yanto berkata kepada rombongan tersebut, “sampai di Kamp Baru, kalau ada orang tanya, bilang saja ‘kami ini nyasar.”” 

Tiba di Kamp Baru, kata Ari, rombongan yang terdiri dari sembilan orang, termasuk Jodi, dipindahkan ke beberapa tempat dan tinggal di pondok.

Berada di pondok tersebut, mereka tidak dibekali peralatan dapur maupun bahan makanan. Lampu dan peralatan tidur pun tidak disediakan. Ari dan teman-temannya hanya diberi peralatan untuk kerja.

Ia berkata, “hari-hari pertama kami masih dapat makan, tetapi beberapa hari kemudian kami diberi makan nasi basi.”

“Kami makan hanya pagi hari, makan siangnya jam setengah sepuluh malam. Setelah itu kami tidak dapat jatah makanan lagi,” katanya.

Karena kelaparan itulah, kata dia, membuat Jodi sakit, lalu meninggal.

Dalam wawancara pada 5 April dengan Floresa, Didimus Rusman, salah satu perwakilan keluarga Joker mengakui Joker yang merekrut para korban dan menyampaikan ada upaya damai dengan keluarga korban, usai kasus ini mencuat.

“Kasus ini terjadi di dalam lingkaran keluarga saja. Baik saya, YS dan Jodi masih memiliki hubungan kekeluargaan yang dekat,” katanya.

Jadi, kata dia, “YS meminta saya untuk memediasi,” yang dilakukan saat anak Jodi sudah kembali ke Sikka.

Joker (kedua dari kanan) hadir dalam konferensi pers bersama kuasa usai menjalani pemeriksaan di Polres Sikka pada 9 April 2024. (Tribun Flores)

Didimus berkata tidak memiliki hak untuk memaksa berdamai, tetapi hadir untuk mempertemukan pihak keluarga korban dan Joker.

Polres Sikka telah memeriksa Joker atau YS pada 9 April.  Dalam keterangan pers sebelum pemeriksaan, kuasa hukumnya, Dominikus Tukan dan Alfons Hilarius Ase, membantah keterlibatan kliennya.

Dominikus mengklaim sembilan tenaga kerja yang terlantar di Kalimantan Timur, termasuk Jodi, bukan merupakan rekrutan Joker.

Dominikus berkata Joker hanya mengirim 32 tenaga kerja, kendati mengakui tidak melalui prosedur legal pengiriman tenaga kerja keluar daerah atau tidak berkoordinasi dengan Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Sikka.

“Urusan prosedural atau non prosedural itu harus dari pihak yang mempunyai kewenangan untuk menilai, tidak bisa kami menilai itu,” katanya.

Menurutnya, 32 orang itu berasal dari Kecamatan Mapitara dan mereka yang meminta kepada YS untuk dibawa untuk bekerja di Kalimantan.

Namun, Ketua Tim Hukum TRUK-F Falentinus Pogon berkata pihaknya meyakini ada keterlibatan Joker, merujuk pada tiga fakta yang sedang diselidiki Polres Sikka.

Salah satunya, kata dia, adalah soal Joker yang berangkat bersamaan dengan korban.

“Walaupun dia naik di Larantuka, tetapi menurut manifes, tercatat dirinya naik di Maumere,” katanya.

Perbedaan data manifes ini terkonfirmasi dari data keberangkatan KM Lambelu dari Pelabuhan Lorens Say Maumere per 13 Maret, yang mencatat nama Joker dan beberapa nama lainnya yang diduga dibiayai Joker. 

Sementara manifes keberangkatan penumpang KM Lambelu dari Pelabuhan Larantuka tidak tertera nama Joker.

Falentinus mempertanyakan alasan perbedaan antara manifes dan keterangan tempat keberangkatan Joker. 

Ketua Tim Hukum TRUK-F sekaligus Kuasa Hukum Maria Herlina Mbani, istri Jodi, Falentinus Pogon. (Istimewa)

Seharusnya, kata dia, jika manifes tercatat di Maumere, dia naiknya di Maumere, bukan di tempat lain. “Kenapa naiknya di Larantuka?” katanya.

Ia mempertahankan argumen soal dugaan keterlibatan Joker, menyebutnya “bukan fitnah.”

“Fakta ini tidak bisa digoyang lagi. Mau diputar, mau dibolak-balik, tidak bisa digoyang, karena mereka sendiri yang omong,” kata Falentinus.

Ia juga menyoroti upaya damai dari pihak Joker yang ia sebut sebagai salah satu fakta dugaan keterlibatannya.

Editor: Ryan Dagur

spot_imgspot_img

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini.

Baca Juga Artikel Lainnya