Floresa.co – Kejaksaaan Negeri [Kejari] Manggarai Barat [Mabar] mengklaim permintaan klarifikasi terkait dugaan penyalahgunaan dana kepada salah satu kepala desa atau kades merupakan inisiatif yang kebetulan karena dilakukan bersamaan dengan kegiatan lain di wilayah tersebut.
Sementara itu, kades yang dimintai keterangan tersebut mengklaim “kedatangan tim Kejari menyalahi prosedur karena dilakukan tanpa surat pemberitahuan.”
Perbedaan klaim itu berkaitan dengan kunjungan Kepala Kejari Mabar, Sarta bersama kelima stafnya ke Kantor Desa Galang, di Kecamatan Welak pada 25 November.
Kepala Seksi Intelijen Kejari Mabar, Ngurah Agung Asteka Pradewa Artha berkata, “kedatangan Sarta dan kelima jaksa lainnya bertujuan untuk meminta klarifikasi Kepala Desa Galang, Dionisius Maun, bukan untuk menggeledah.”
Ia mengklaim permintaan klarifikasi itu merupakan tindak lanjut atas pengaduan warga desa tersebut yang disampaikan pada 18 November terkait dugaan korupsi proyek air minum dan terkait dokumen pertanggungjawaban proyek tahun-tahun sebelumnya.
Ia menyebut permintaan klarifikasi itu sebagai “inisiatif yang kebetulan” karena “bersamaan dengan kegiatan pemantauan kampanye pemilihan kepala daerah.”
“Kebetulan kami bermain ke Desa Galang. Karena berada di wilayah yang sama [lokasi yang diadukan], kami memutuskan untuk menindaklanjuti aduan masyarakat,” katanya kepada Floresa pada 28 November.
“Terkait dugaan korupsinya tahun berapa saya juga kurang tahu. Akan saya koordinasi dengan kepala seksi pidana khusus,” tambahnya.
Pradewa mengklaim pihaknya hanya meminta klarifikasi Dionisius dan “belum ada pemeriksaan awal terkait aduan itu.”
Bagaimana Klaim Kades?
Sementara itu, Dionisius Maun mengklaim kedatangan tim Kejari ke kantor desa menyalahi prosedur karena “tidak ada surat pemberitahuan dan surat perintah penggeledahan.”
Ia juga mempersoalkan tim Kejari yang datang ke kantor desa pada sore hari di mana “semua staf dan aparat desa sudah pulang ke rumah masing-masing.”
Ia mengaku sempat protes dan mengajukan keberatan terkait kedatangan tim Kejari tersebut, kendati pada akhirnya penggeledahan tetap dilakukan.
Merespons protes itu, kata Dionisius, Sarta yang memimpin penggeledahan itu mengklaim “alasan tidak adanya surat pemberitahuan dan surat perintah penggeledahan adalah karena semata-mata untuk menjaga psikologi keluarga terutama istri dan anak saya.”
“Kami sengaja tidak memberitahukan kedatangan kami supaya istri dan anaknya bapak tidak takut dan bertanya ada apa dengan surat ini,” kata Dionisius menirukan ucapan Sarta.
Tanpa memerinci, Dionisius berkata, penggeledahan itu terkait adanya indikasi penyalahgunaan dana desa tahun anggaran 2022 dan 2023 serta proyek pengadaan air bersih di desanya.
Saat penggeledahan berlangsung, kata dia, “saya diminta untuk menunggu di salah satu ruangan dalam kantor tersebut.”
Ia juga mengaku diminta menemui Sarta usai tim Kejari memeriksa sejumlah dokumen yang berhubungan dengan Surat Pertanggungjawaban [SPJ] penggunaan dana desa.
Kepala Seksi Intelijen Kejari Mabar, Ngurah Agung Asteka Pradewa Artha berkata, “dalam konteks aduan atau laporan, biasanya tidak ada surat pemberitahuan, yang ada hanyalah pemberitahuan secara lisan.”
Namun, kata dia, dalam konteks aduan terhadap adanya indikasi dugaan penyelewengan dana di Desa Galang, pihaknya mengakui “tidak ada pemberitahuan jauh hari sebelumnya bahwa akan ada permintaan klarifikasi.”
“Kami baru beritahu di hari itu saat kami sudah berada di kantor Desa Galang,” katanya.
Pradewa mengaku kaget dengan pengakuan Dionisius yang menyebut alasan tidak adanya surat pemberitahuan dan surat perintah penggeledahan demi “menjaga psikologi keluarga terutama istri dan anak.”
“Kira-kira jaksa siapa yang sampaikan begitu pada kepala desa,” katanya.
Ia mengklaim pihaknya “tidak mengeluarkan pernyataan itu dalam pertemuan dengan Dionisius.”
Ia juga membantah pernyataan Dionisius yang menyebut “tim jaksa menggeledah sejumlah dokumen salah satu ruangan di kantor desa.”
“Itu tidak benar. Kami tidak menggeledah dokumen apa pun,” katanya.
Ditanya terkait indikasi kerugian negara dalam laporan warga tersebut, Pradewa berkata, “saya perlu berkoordinasi dengan kepala seksi pidana khusus untuk merespons ini.”
Ia mengklaim tidak dapat memberitahu indikasi kerugian itu karena laporan tersebut “masih tahap permintaan klarifikasi” dan “saya harus koordinasi lagi dengan kepala seksi pidana khusus.”
Kendati tak memerinci, ia menegaskan “dugaan penyelewengan itu bukan dilakukan oleh kades yang menjabat sekarang, tetapi oleh kades yang menjabat sebelumnya.”
“Kami meminta klarifikasi pada kades sekarang untuk melihat SPJ yang sebelumnya, yang berkaitan dengan aduan itu karena yang berwenang dan memegang dokumen itu adalah kades yang menjabat sekarang,” katanya.
Ia mengklaim permintaan klarifikasi itu dilakukan “tanpa paksaan dan tidak ada penolakan dari kades.”
Seperti Menangkap Babi di Hutan
Siprianus Edi Hardum, Sekretaris Jenderal Forum Advokat Manggarai Raya atau Famara yang juga dosen hukum di Jakarta berkata, “aparat penegak hukum dalam menjalankan tugasnya harus berdasarkan hukum.”
Dalam kasus penggeledahan di kantor Desa Galang, kata dia, mestinya jaksa menjalankan tugasnya dengan berbasis pada hukum acara yakni Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana [KUHAP] dalam proses penyelidikan termasuk permintaan klarifikasi.
Ia berkata, klasifikasi yang diklaim jaksa merupakan bagian dari upaya mengumpulkan bukti atas laporan yang sudah diterima.
Pengumpulan bukti, kata dia, berupa keterangan saksi di tempat kejadian perkara.
“Namanya klarifikasi itu bagian dari penyelidikan untuk mengungkapkan sebuah fakta,” katanya kepada Floresa pada 4 Desember.
Edi berkata, permintaan klarifikasi mesti dilakukan secara patut dan secara tertulis tercantum dalam berita acara berita acara pemanggilan.
Karena itu, kata dia, untuk meminta klarifikasi, maka harus tertulis kop surat dari lembaga yang bersangkutan.
“Kalau itu dari kejaksaan harus stempel dan tanda tangan kepala seksi atau kepala unit yang menangani kasus-kasus serupa,” katanya.
Ia berkata, dalam kasus di Desa Galang, “apa yang sudah dilakukan oleh Kejari Mabar sudah bertentangan dengan KUHAP.”
Jika jaksa hendak menggeledah, kata dia, maka mereka harus mendapat izin dari Ketua Pengadilan Negeri Manggarai Barat.
Ia berkata, jaksa mestinya mengirim surat pemberitahuan terlebih dahulu sebelum menggeledah atau meminta klarifikasi sebagaimana diatur dalam KUHAP pasal 3 ayat 1.
Di dalam KUHAP, kata dia, “tidak ada klarifikasi yang dilakukan secara kebetulan atau atas inisiatif di tengah jalan.”
“Apa yang sudah dilakukan oleh Kejari Mabar dengan mendatangi tempat perkara tanpa rambu-rambu hukum adalah sebuah kekeliruan besar,” katanya.
“Kalau tidak menggunakan rambu-rambu hukum dalam menjalankan tugasnya, itu sama dengan menangkap babi di hutan,” tambahnya.
Editor: Anno Susabun