Kekerasan Seksual Tak Juga Berhenti di Sikka, Pemerhati: ‘Darurat untuk Ditangani Pemerintah Daerah’

Terakhir, Polres menerima dua laporan kekerasan seksual dalam dua hari berturut-turut. Terlapor masih diburu

Floresa.co – Pemerhati perempuan dan anak menyatakan maraknya kasus kekerasan seksual di Kabupaten Sikka sebagai persoalan serius yang darurat untuk ditangani pemerintah setempat.

Anggota Divisi Reformasi Kebijakan Publik di Koalisi Perempuan Indonesia [KPI], Eka Ernawati menyatakan kesimpulan tersebut berdasarkan “analisis kewilayahan Sikka yang dikomparasi dengan jumlah laporan kekerasan seksual dalam waktu belakangan.”

Unsur-unsur “kewilayahan” yang dijabarkannya termasuk transportasi yang belum memadai serta rendahnya kesadaran warga akan kekerasan seksual di Sikka.

“Menjadi pekerjaan rumah yang serius bagi pemerintah Sikka untuk melakukan kerja-kerja penyadaran bagi warga,” katanya pada 13 Januari.

Penyadaran termasuk “tak menyalahkan dan menyudutkan korban.”

Karenanya, Eka mendesak aparat penegak hukum dan pemerintah daerah “lekas menemukan akar kekerasan seksual dan menangani secara terstruktur sehingga tak lagi ada korban berjatuhan.”

Eka Ernawati, anggota Divisi Reformasi Kebijakan Publik di Koalisi Perempuan Indonesia. (Dokumentasi pribadi)

Ke Homestay Tanpa Persetujuan

Pernyataan Eka merespons dua kasus kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur yang terakhir dilaporkan di Sikka. 

VR dilaporkan memerkosa seorang perempuan asal Kabupaten Lembata. F dilaporkan memerkosa perempuan asal Kecamatan Talibura, Kabupaten Sikka.

Kepala Seksi Humas Polres Sikka, Iptu Yermi Soludale mengatakan kasus yang melibatkan VR bermula dari laporan seorang warga pada 9 Januari.

Warga itu, kata dia, melaporkan lelaki 28 tahun asal Kecamatan Kangae, Kabupaten Sikka telah memerkosa adiknya yang masih berusia 17 tahun.

Korban, katanya, bekerja di salah satu perusahaan swasta di Maumere, ibu kota Kabupaten Sikka. 

“Keduanya saling kenal dan berpacaran,” katanya.

Yermi berkata, kasus tersebut bermula ketika VR menghubungi korban melalui WhatsApp dan mengajak bepergian menggunakan sepeda motor pada 13 November 2024.

Kendati sempat ditolak, kata dia, VR terus merayu hingga akhirnya korban menerima ajakan itu. 

Keduanya berboncengan sepeda motor dari Maumere menuju Kecamatan Magepanda yang terpaut sekitar 30 kilometer.

Di tengah perjalanan, terlapor menepikan sepeda motor ke sebuah tempat penginapan atau homestay.

“Singgah di homestay itu bukan atas dasar kesepakatan. Bahkan korban saja tidak tahu kalau terduga pelaku membawanya ke homestay tersebut,” katanya pada 10 Januari.

“Di tempat itulah terlapor meraba tubuh dan memerkosa korban,” tambahnya.

Yermi berkata, VR kembali memerkosa korban pada sembilan hari kemudian.

Nyaris Terulang

Pemerkosaan nyaris terulang pada 4 Desember bila korban tak menampik. 

Yermi tak lebih lanjut menjabarkan cara korban menampik terlapor.

Ia hanya mengatakan lantaran korban menampik, VR mengancam akan mengirimkan foto korban tanpa busana kepada paman korban yang sedang berada di Kabupaten Flores Timur.

Berhasil terlepas dari ancaman VR, korban bersama kakaknya lalu mendatangi Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu Polres Sikka untuk melaporkan kejadian tersebut.

Yermi berkata, kakak korban membuat laporan polisi pada 9 Januari yang tertuang dalam laporan bernomor LP/B/8/I/2025/SPKT/Polres Sikka/Polda NTT.

Kasus tersebut, kata dia, masih dalam tahap penyelidikan dan pihaknya sudah meminta keterangan dari korban dan seorang saksi yang merupakan keluarga korban dari Lembata.

Namun, kata dia, pemeriksaan terhadap korban dan saksi belum rampung karena “mereka buru-buru kembali ke Lembata untuk menyampaikan kasus ini kepada keluarga.”

“Semoga Senin nanti—merujuk 13 Januari—semuanya bisa menjadi jelas. Pasti akan ada saksi lain lagi yang akan dimintai keterangan, termasuk penjaga homestay,” katanya.

Floresa menghubungi Yermi pada 13 Januari. Ia mengaku “sedang sakit asam urat. Hari ini tidak bekerja. Esok saya informasikan kembali.”

Memburu Dua Terlapor

Usai pelaporan pada 9 Januari, korban melakukan visum di RSUD T.C. Hillers Maumere. 

“Kami masih memburu VR yang belum diketahui keberadaannya,” kata Yermi.

Yermi berkata sehari kemudian pihaknya kembali menerima laporan terkait kasus yang sama dari seorang warga asal Kecamatan Talibura.

Warga itu, kata dia, melaporkan tindak pidana persetubuhan anak di bawah umur yang dilakukan oleh F [20 tahun] yang memerkosa putrinya.

Korban, katanya, masih berusia 17 tahun dan sedang mengenyam pendidikan di salah satu sekolah di Kecamatan Alok Timur. 

Yermi berkata, korban dan F sudah saling kenal. Keduanya bertukar nomor ponsel dan memberi tahu akun Facebook pada akhir Juni 2024.

Tak lama sesudahnya, terlapor dan korban mulai berpacaran.

Pemerkosaan bermula ketika F mendatangi kos korban di Kecamatan Alok Timur pada 2 Juli sore.

Sesampai di kos tersebut, kata dia, “F memegang tangan dan membanting tubuh korban ke tempat tidur sebelum memerkosanya.”

“Terlapor melakukan aksinya dari Juli sampai dengan Desember 2024,” katanya.

Yermi berkata, ayah korban membuat laporan polisi yang tertuang dalam laporan bernomor LP/B/07/I/2025/SPKT/Polres Sikka/Polda Nusa Tenggara Timur.

Ia juga berkata Polres telah meminta keterangan korban dan ibunya.

Ia menambahkan korban telah melakukan visum di RSUD T.C. Hillers Maumere. 

“Prosesnya dalam tahap penyelidikan,” katanya, “kami juga masih memburu terduga pelaku.”

Lebih Aktif Bersinergi

Eka Ernawati berkata di tengah maraknya kasus kekerasan seksual, “penting bagi pemerintah daerah untuk membangun penanganan yang responsif dan komprehensif.”

Ia menekankan penanganan tak terbatas pada pemrosesan hukum, melainkan juga pemulihan fisik, psikis dan rehabilitasi sosial bagi korban.

Eka juga mendesak pemerintah daerah “lebih aktif bersinergi dengan lembaga-lembaga pemerhati isu perempuan dan anak.”

“Menjadi tugas pemerintah melakukan sosialisasi hingga ke ujung-ujung wilayah tentang UU Tindak Pidana Kekerasan seksual,” katanya kepada Floresa pada 13 Januari.

Eka mengaku KPI telah bekerja sama dengan pemerintah Kabupaten Sikka untuk memulihkan psikologi korban dan penyintas kekerasan seksual.

Namun, Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak di kabupaten itu “sampai saat ini belum punya rumah aman.”

Ia juga mengaku KPI tak memiliki sumber daya manusia yang memadai dalam pendampingan psikologi, keterbatasan yang mendorong organisasinya bekerja sama dengan Tim Relawan untuk Kemanusiaan Flores [TRUK-F], lembaga Gereja Katolik yang aktif mendampingi korban kekerasan seksual.

Dalam kolaborasi tersebut, kata Eka, penyediaan rumah aman dan pemulihan psikologi disediakan TRUK-F.

TRUK F mempunyai Divisi Perempuan yang antara lain mengadvokasi berbagai kebijakan berperspektif gender dan menyebarluaskan pendidikan publik, selain mendampingi perempuan dan anak-anak korban kekerasan dalam mengakses keadilan dan rehabilitasi sosial.

Hadir di Sikka pada 1997, TRUK-F telah terlibat dalam penanganan kasus kekerasan seksual secara secara komprehensif, kendati pemerintah daerah belum memiliki rumah aman atau shelter yang menjadi kebutuhan mendesak bagi para korban. 

Terus Bertambah

Eka baru saja memberikan pelatihan pengorganisasian dan advokasi bagi perempuan di Maumere, ibu kota Kabupaten Sikka pada 10-12 Januari.

Pada hari ketiga pelatihan, “kami mendapat aduan terkait pemerkosaan terhadap anak di bawah umur oleh bapak sambungnya.”

Ia berkata, kasus yang terjadi di Kecamatan Magepanda itu sedang ditangani Balai Perempuan Sinar Reroroja yang berbasis di Desa Reroroja.   

Sejak balai itu dibentuk KPI, kata dia, “ada kesadaran dari masyarakat untuk melaporkan kasus dan tidak hanya menyelesaikannya secara adat.” 

Perburuan terhadap dua terlapor pada pertengahan Januari menambah daftar laporan kekerasan seksual terhadap anak di Sikka.

Dua pekan sebelumnya, seorang ibu dari Kecamatan Kangae melaporkan suaminya, YJ karena diduga menyetubuhi putri bungsu mereka selama bertahun-tahun. 

YJ mulai memerkosa putri bungsunya pada 2016, saat korban duduk di bangku kelas V Sekolah Dasar.

Ia berulang kali melakukan kejahatan yang sama hingga Februari 2024.

Tetapi soalnya tak berhenti di situ karena dalam pemeriksaan saksi-saksi, “terungkap bahwa YS melakukan kejahatan serupa terhadap ketiga putrinya yang lain.”

Selain seorang putri yang merantau bekerja di Pulau Kalimantan, dua anak perempuan lainnya telah dimintai keterangan.

YJ diketahui kerap mengancam akan membunuh keempat putrinya jika membocorkan kelakuannya kepada orang lain.

YJ ditetapkan tersangka pada 4 Januari dan dijerat Pasal 81 ayat [2] Undang-Undang [UU] Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dengan ancaman pidana penjara maksimal 15 tahun.

YJ saat ditahan di Polres Sikka pada 6 Januari 2025. Tujuh hari sebelumnya YJ ditahan di Polsek Kewapante. (Dokumentasi Albert Cakramento)

Pada April tahun lalu, seorang anak perempuan berusia empat tahun diperkosa pelajar laki-laki berusia 15 tahun. 

Pemerkosaan terjadi pada 26 Maret 2024 di suatu kebun, menurut keterangan ayah korban saat melapor kasus ini ke polisi. 

Pelaku, katanya, semula mengiming-imingi akan memberikan buah kelapa ke korban, tetapi kemudian malah memerkosanya.

Pada awal Juli, seorang pelatih Pasukan Pengibar Bendera [Paskibra] di Sikka menjadi tersangka kasus dugaan pelecehan seksual terhadap pelajar laki-laki berusia 15 tahun.

Kasus ini dilaporkan ke polisi setelah korban mengadu kepada ibunya.

Polisi menetapkan pelatih berinisial RAR itu sebagai tersangka pada 6 Juli dan langsung ditahan.

Selama 2022 dan 2023, Polres Sikka menerima laporan sedikitnya 20 kasus kekerasan seksual terhadap anak.

Pada 2023 tercatat 28 kasus, dengan proses hukum empat kasus masih berjalan. 

Jumlahnya meningkat dari 20 kasus pada 2022. Proses hukum empat kasus pada tahun tersebut juga masih berjalan.

Editor: Anastasia Ika

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini.

BACA JUGA

BANYAK DIBACA