Floresa.co – Belum lama ini meretas polemik terkait penelantaran Orang dengan Gangguan Jiwa [ODGJ] di Kota Kupang, NTT.
Dugaan penelantaran itu bermula ketika seorang pasien ODGJ datang ke Rumah Sakit Jiwa [RSJ] Naimata di Kelurahan Naimata itu.
Datang ditemani istri dan seorang anaknya, pasien itu tak terdaftar sebagai peserta BPJS Kesehatan.
“Mereka menyanggupi tarif pelayanan umum,” kata Direktur RSJ Naimata, Aletha D. Pian.
Pasien itu diperbolehkan pulang sesudah dirawat hingga nyaris sepekan.
Namun, sewaktu hendak membayar biaya medis, “baru ketahuan ternyata mereka tidak punya uang.”
“Sebagai pimpinan, saya terpaksa memutuskan menggratiskan pengobatannya,” kata Aletha pada 16 Januari.
Pernyataan Aletha berkebalikan dengan DPRD NTT yang turut menyoroti kasusnya.
Wakil Ketua Komisi V Anggota DPRD NTT, Winston Rondo yang membidangi kesejahteraan rakyat menemukan terjadi penelantaran.
Winston menyebut “penelantaran terjadi karena absennya alokasi dana pengaman.”
Semenjak pemerintah merelokasi anggaran pasca pandemi Covid-19, katanya, “kebijakan dana pengaman jadi hilang.”
Dana pengaman merupakan modal tanggap darurat guna membiayai pasien yang tidak terdaftar sebagai peserta BPJS Kesehatan.
Floresa berusaha menyelisik waktu permulaan kebijakan itu. Sejauh penelusuran daring dari sejumlah artikel dan laman instansi pemerintah, tak ditemukan data pasti terkait waktunya.
Namun, program dana pengaman yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah NTT itu terhenti pada 19 Mei 2023.
Penghentian pelayanan dana pengaman itu tertuang dalam surat bernomor 445/323/RSUD3.3.
Surat itu pada intinya menyatakan penghentian layanan kesehatan bagi pasien pengguna dana pengaman merupakan hasil rapat koordinasi antara Badan Keuangan Daerah Provinsi NTT, Dinas Sosial NTT, Dinas Kesehatan Kependudukan dan Pencatatan Sipil NTT, dan RSUD W.Z. Yohanes Kupang.
Keruwetan Pembayaran Medis
Aletha membantah dugaan penelantaran oleh instansinya.
Ia menyebut pasien yang “tidak memiliki kartu BPJS Kesehatan tidak bisa dilayani, kecuali membayar secara mandiri,” hal yang menurutnya memicu dugaan RSJ Naimata mengabaikan pasien.
Ia mengaku beberapa kali didatangi pasien yang bertanya kemungkinan menggunakan kartu Jamkesmas.
Aletha menolak kemungkinan itu, menjawab “kami tidak bisa layani karena programnya sudah beralih menjadi Jaminan Kesehatan Nasional.”

Program Jaminan Kesehatan Masyarakat [Jamkesmas] diterbitkan Departemen Kesehatan–kini Kementerian Kesehatan–pada 2008.
Jamkesmas digadang-gadang sebagai bentuk perlindungan bagi warga miskin yang memerlukan layanan kesehatan, dengan iuran dibayarkan oleh pemerintah.
Pemerintah mengganti Jamkesmas dengan Jaminan Kesehatan Nasional yang dikelola BPJS Kesehatan pada awal 2014.
Ditanya soal jumlah pasien yang membayar secara mandiri berbanding peserta BPJS Kesehatan secara tahunan di RSJ itu, Aletha mengaku “tak pegang datanya.”
Sebaliknya, ia mengatakan “kami tidak punya dana pengaman semenjak rumah sakit ini berdiri.”
Kerja Sama Lintas Sektor
Kelompok Kasih Inkanis [KKI] Peduli Sehat Jiwa NTT menyebut RSJ Naimata tak bisa menolak pasien dengan alasan ketiadaan anggaran.
Pater Avent Saur, ketua organisasi sukarelawan yang peduli pada kesehatan jiwa itu berkata masalah anggaran “dapat diatasi bila pemeritah bekerja sama lintas sektor.”
Selain RSJ terkait, katanya, kolaborasi dapat melibatkan Dinas Kesehatan, Dinas Sosial dan BPJS Kesehatan.
Tak hanya soal biaya, kerja sama turut “memangkas urusan administrasi yang selama ini berbelit-belit.”
Sementara Dinas Sosial “dapat menyediakan santunan bagi pasien ODGJ yang ditolak keluarga mereka.”
Apa Cukup Dibawa ke Panti Sosial?
Ditemui Floresa di ruang kerjanya pada 17 Januari, Kepala Dinas Sosial Provinsi NTT, Kanisius H.M. Mau mengklaim “penelantaran itu bukan ranah kami.”
Menolak permintaan Floresa untuk merekam pernyataannya, Kanis mengatakan “kami tak berwenang menampung ODGJ.”
Namun, “kami bisa menyantuni ketika pasien dinyatakan sembuh dan tak diterima keluarga mereka.”
Santunan termasuk menempatkan pasien tersebut di panti sosial.
Merespons pernyataan Kanis, Avent menyebut rehabilitasi tak sebatas penempatan di panti sosial.
Pemerintah “seharusnya merehabilitasi ODGJ sejak awal dirawat hingga pulih, bukan menunggu ketika ia sudah pulih.”
Editor: Anastasia Ika