Floresa.co – Nusa Tenggara Timur (NTT) hangat di telinga publik nasional setelah tersangka pembunuh bocah cilik Engelina di Bali disebut-sebut berasal dari Sumba, NTT. Kasus ini belum kelar, nama NTT kembali mencuat setelah warga Kecamatan Amanuban Selatan dan Kecamatan Kualin, Timor Tengah Selatan (TTS), NTT, diberitakan terpaksa makan putak (batang pohon lontar yang digunakan untuk makanan ternak) akibat kekeringan yang menyebabkan gagal panen.
Musibah ini mendapat perhatian pemerintah pusat. Menteri Sosial diutus Presiden Jokowi untuk mengunjungi warga NTT yang menderita busung lapar ini.
Namun, patut disayangkan sampai saat ini 13 anggota DPR, khususnya dari Dapil II NTT, seperti Setya Novanto, Herman Heri, Victor Laiskodat, belum memberikan bantuan apa pun.
Hal ini disampaikan koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) Petrus Selestinus kepada Floresa.co, Senin, (22/6/2015).
“Berbagai peristiwa menyedihkan seperti busung lapar, perdagangan orang, kelaparan secara masif dan korupsi akut yang silih berganti terjadi di NTT, seolah-olah semakin menambah jarak yang jauh antara warga masyarakat di NTT dengan 13 (tiga belas) wakil rakyat yang terpilih di DPR-RI khususnya dari dapil II NTT,” kata Petrus.
Menurut Petrus, Setya Novanto, Herman Herry, Victor Laiskodat, dkk. bukan saja menjadi anggota DPR-RI akan tetapi juga memiliki jabatan strategis di DPR.
Dengan kekuatan 13 Anggota DPR-RI dan jabatan strategis di DPR bahkan Ketua DPR-RI dijabat oleh Setya Novanto, lanjut Petrus, sejumlah peristiwa malang di NTT sebetulnya bisa diminimalisir bahkan ditiadakan dengan mudah.
“Yang terjadi justru sebaliknya, mereka seolah-olah buta terhadap apa yang terjadi di NTT,” tegasnya.
Bahkan jika perisitiwa malang itu menjadi sebuah berita nasional yang memerlukan penanganan dengan anggaran yang besar, tambah Petrus, maka bisa saja perusahaan-perusahan dimana mereka menjadi bagian dari perusahaan itu menjadikan peristiwa malang yang menimpa warga NTT menjadi proyek lahan bisnis bagi usaha yang menjadi kroni mereka.
Karena itu, lanjut Petrus, masyarakat NTT harus mengubah paradigma bagaimana memilih sosok wakil rakyat pada masa yang datang.
“Orientasi wakil rakyat kita sekarang hanya pada membela kepentingan partainya, pengusaha-pengusaha yang menjadi mitranya dan dirinya sendiri, sementara untuk kepnetingan rakyat diwakilinya mungkin hanya 1 atau 2 prosen dari seluruh perhatian yang dia miliki,” ujar Petrus.
Menurut Petrus, ini juga sebetulnya sebuah tindak pidana korupsi terselubung karena wakil rakyat bertindak di luar kewenangan dan kewajiban yangg dimiliki.
Publik NTT, tegasnya, harus didorong utk membudayakan sikap secara spontan menjatuhkan sanksi sosial kepada wakil rakyatnya yang tidak peduli kepada wakilnya ketika peristiwa malang menimpa warganya, seperti yang saat ini terjadi di TTS.
“Bentuk sanksi sosial yang paling sederhana adalah tidak lagi memilih wakil rakyat seperti itu pada pemilu berikutnya,” pungkasnya. (Armand Suparman/ARS/Floresa)