Jakarta, Floresa.co – Kordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) Petrus Selestinus mengatakan, disposisi bupati Manggrai Barat (Mabar), Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT) Agustinus Ch Dula tentang status bencana alam di jalan Lando-Noa, kecamatan Macang Pacar akan menentukan apakah bupati Dula melakukan tindak pidana korupsi atau tidak.
“(Itu) akan menjadi penentu apakah Dula memiliki niat atau tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukannya,” kata Petrus di Jakarta, Senin 4 Septermber 2017.
Menurutnya, secara yuridis, disposisi tersebut bukanlah sebuah keputusan yang berisi “Penetapan Tentang Status Darurat Bencana dan Tingkatannya” sebagaimana dimaksud dalam UU No. 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana.
Disposisi itu, kata Petrus hanya sebuah catatan yang berisi perintah untuk digunakan sebagai alasan pembenar dalam mengeluarkan kebijakan penunjukan langsung atas alasan bencana alam guna memuluskan pekerjaan proyek di Lando-Noa yang secara faktual seharusnya dikerjakan dengan mekanisme tender.
“Apalagi disposisi itu sekaligus menegasikan kewenangan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Mabar tentang rekomendasi pernyataan status darurat bencana dan tingkatannya di Lando-Noa,” tegasnya.
Selain itu, jelas Petrus pernyataan tentang sebuah kerusakan sebagai akibat bencana alam, syaratnya harus ada rekomendasi dari BPBD setempat. Tujuannya, agar sebuah kerusakan yang terjadi tidak mudah dimanipulasi oleh bupati yang oleh Undang-Undang diberi wewenang untuk mengeluarkan penetapan status darurat bencana dan tingkatanya untuk bencana alam wilayah pemerintahannya.
“Tanpa ada rekomendasi yang berisi penetapan status darurat bencana dan tingkatannya dari BPBD Mabar, maka pernyataan bencana alam itu walaupun dikeluarkan oleh Dula, quod non, maka disposisi itu sudah dapat dikualifikasi sebagai niat atau tujuan menyalahgunakan wewenang jabatan bupati yang melekat pada dirinya (Dula),” kata Petrus.
Merujuk Undang-Undang Nomor Tipikor
UU Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dalam Pasal 2 ayat (1) menegaskan bahwa setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling bayak Rp 1 miliar.
Sedangkan pada ketentuan Pasal 3 menegaskan bahwa setiap orang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp 50 juta dan paling banyak Rp 1 miliar.
Petrus menilai, disposisi yang dikeluarkan bupati Dula pada 11 Januari 2014 itu sudah memenuhi unsur-unsur pasal 2 dan atau pasal 3 UU tersebut.
“Sangat mudah ditemukan, yaitu “siapakah gerangan orang pertama yang memiliki “niat” atau “tujuan” untuk melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi dengan cara menyalahgunakan kewenangan atau kesempatan karena jabatan atau kedudukan sehingga merugikan keuangan negara”.
“Apakah disposisi bupati Dula merupakan wujud dari niat atau tujuan menguntungkan diri sendiri, orang lain atau korporasi, menyalahgunakan kewenangan karena jabatan atau kedudukan sebagai Bupati?” jelasnya.
Lebih lanjut Petrus menegaskan agar lebih lanjut mendalami unsur-unsur Tipikor dalam disposisi itu. Apakah disposisi yang dikeluarkan bupati Dula memenuhi unsur-unsur delik korupsi menurut ketentuan pasal 2 dan atau pasal 3 UU Tipikor.
Petrus menjelaskan bahwa terdapat beberapa unsur yang menunjukan bahwa bupati Dula telah melakukan tindak pidana korupsi. Pertama adalah unsur orang atau setiap orang. Kemudian unsur “sarana atau kesempatan” yang mengatakan bahwa di jalan Lando-Noa terjadi bencana alam, padahal tidak ada atau fiktif.
Lalu, unsur kerugian negara menurut Petrus sudah ada. Itu sesuai audit BPKP NTT berjumlah 920 juta. Sementara itu, unsur menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi sedang dibuktikan dalam persidangan.
“Apakah bupati Dula ikut menikmati atau hanya oleh Agus Tama atau Jimi Ketua atau Vinsent Tunggal dari CV Sinar Lembor Indah yang melakukannya secara sendiri-sendiri,” katanya.
Maka, tahapan pemeriksaan di persidangan di Pengadilan Tipikor Kupang kata Petrus, momentum untuk membuktikan apakah Agus Tama, Vinsent Tunggal dan Jimi Ketua terbukti melakukan Tindak Pidana Korupsi secara sendiri-sendiri atau bersama-sama dengan bupati Dula karena jabatannya.
Menurut Petrus, yang harus diurai ialah orang pertama yang memiliki niat atau tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain serta menyalahgunakan kewenangan karena jabatan.
“Kemana saja uang Rp 920 juta sebagai kerugian negara itu dibagikan untuk keuntungan bagi diri sendiri, orang lain atau korporasi. Berapa jumlah pembagian masing-masing pihak, siapa yang membagi serta dengan cara bagaimana.
“Ini semua akan menjadi jelas dan terang ketika Terdakwa Agus Tama dan Vinsent Tunggal diperiksa sebagai Terdakwa dalam persidangan yang akan datang, sekaligus untuk menetukan siapa tersangka baru berikutnya, sebagaimana dikonstatir oleh Kepala Kejaksaan Negeri Manggarai Barat, Subekhan tentang akan ada tersangka baru dimaksud,” katanya.
Sebagai sebuah peristiwa korupsi, lanjut Petrus, kasus dugaan korupsi Lando-Noa sudah sempurna menjadi sebuah delik atau peristiwa pidana. Terbukti, Agus Tama dan Vinsent Tunggal sebagai Terdakwa serta Jimi Ketua sebagai Tersangka.
“Sementara bagi calon tersangka lainnya sangat tergantung kepada hasil pemeriksaan Tedakwa Agus Tama dan Vinsent Tunggal dan Tersangka Jimi Ketua pada saatnya nanti,” tutup Advokat Peradi itu. (Ario Jempau/ARJ/TIN/Floresa).