Floresa.co – Masyarakat adat Poco Leok di Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur telah mengirim sebuah surat lain kepada Bank Pembangunan Jerman Kreditanstalt für Wiederaufbau [KwF], di mana mereka tetap menegaskan sikap menolak proyek geothermal yang mereka sebut sedang dipaksakan oleh otoritas dan korporasi.
Jika masih mendanai rencana eksplorasi dan eksploitasi perluasan geothermal Poco Leok, maka Bank KwF “terlibat dan punya andil besar untuk melakukan kejahatan kemanusiaan di Poco Leok,” tulis Komunitas Adat Poco Leok melalui surat yang salinannya diperoleh Floresa pada 20 Agustus.
Dalam surat yang ditandatangani perwakilan dari 10 gendang (kampung adat) di wilayah Poco Leok, yakni Lungar, Tere, Jong, Mucu, Mocok, Nderu, Cako, Rebak, Mori, dan Ncamar itu, mereka juga melampirkan dokumen dan bukti terjadinya kekerasan oleh aparat kepada warga.
Surat itu yang dikirimkan pada 2 Agustus merupakan tanggapan warga terhadap surat KwF pada 25 Juli. Surat KwF memang tidak ditujukan kepada warga, tetapi kepada PT Perusahaan Listrik Negara [PT PLN] yang hendak mengerjakan proyek tersebut.
Surat KwF terhadap PT PLN merespons pengaduan warga Poco Leok awal Juli, yang sekaligus meminta bank tersebut menghentikan pendanaan.
Dalam suratnya yang ditandatangani oleh Herald Gerding, Kepala Divisi Asia Tenggara dan Timur dan Andre Degenkolb, Manajer Portofolio Senior Asia Tenggara dan Timur, Bank KwF menyatakan menanggapi pengaduan warga “dengan serius dan mendukung niat untuk menindaklanjuti” tuntutan-tuntutan mereka.
“Kami meminta bantuan Anda [PT PLN] untuk menanggapi keprihatinan warga,” tulis KfW.
KfW menegaskan, proyek yang mereka biayai “selalu dikembangkan sesuai dengan standar lingkungan dan sosial internasional.”
Dalam surat tanggapannya, warga Poco Leok mengatakan berterima kasih kepada Bank KfW “terutama terkait perhatian terhadap lingkungan dan sosial sesuai standar internasional.”
Namun, kata mereka, “sampai hari ini tidak ada ketaatan pihak PT. PLN terhadap standar lingkungan dan sosial” yang disarankan itu, sehingga “kami menolak kehadiran pihak PT. PLN di wilayah kami.”
“Kami tegaskan bahwa standard FPIC (Free, Prior, Informed, Consent) sama sekali tidak dijalankan oleh pihak PT. PLN,” tulis Komunitas Adat Poco Leok.
Mereka menyebut contoh peristiwa pada 1 Agustus, di mana PT PLN “melakukan pemaksaan terhadap kami dengan mengerahkan aparat keamanan dalam jumlah besar dan memasuki wilayah kami tanpa seizin kami.”
Proyek geothermal Poco Leok, perluasan dari PLTP Ulumbu, yang merupakan bagian dari proyek strategis nasional menargetkan energi listrik 2×20 Megawatt, meningkat dari 10 Megawatt yang dihasilkan saat ini.
Pengiriman surat aduan kepada Bank KfW merupakan salah satu dari upaya warga melakukan perlawanan, di samping menulis surat kepada pihak pemerintah dan ATR/BPN Manggarai, juga berbagai aksi pengadangan terhadap aktivitas perusahaan di lokasi-lokasi pengeboran geothermal dan unjuk rasa di berbagai lokasi, seperti di Ruteng, Kupang dan Jakarta.
Pada 17 Agustus, bertepatan dengan peringatan Hari Kemerdekaan Indonesia ke-78, warga Poco Leok mengadakan upacara bertajuk ‘Merdeka Tanpa Geotherma,” di mana mereka tetap menegaskan penolakan terhadap proyek itu.
Selain Poco Leok, beberapa tempat di Flores juga menjadi sasaran proyek geothermal sejak penetapan pulau tersebut sebagai Pulau Geothermal pada 2017, seperti di Wae Sano, Kabupaten Manggarai Barat dan di Mataloko, Kabupaten Ngada.
Di lokasi-lokasi ini, warga juga menolak karena titik-titik pengeboran yang berada di dalam ruang hidup mereka, seperti di dekat pemukiman dan lahan pertanian.