Minta Tunda ‘Wawancara Klarifikasi,’ Warga Poco Leok Mengaku Dibentak dan Ditekan Polisi

Ketujuh warga Poco Leok dijadwalkan menjalani pemeriksaan oleh Polres Manggarai pada 2 Oktober. Mereka meminta pemeriksaan ditunda ke 6 Oktober.

Baca Juga

Floresa.co – Warga Poco Leok yang menyerahkan surat permohonan penundaan wawancara klarifikasi atas laporan informasi penghadangan aparat ke lokasi proyek geothermal mengaku dibentak-bentak polisi, yang membuat mereka tertekan.

Dua warga yang adalah mahasiswa di Universitas Katolik Indonesia St. Paulus Ruteng juga diancam dilaporkan ke rektor. Seseorang di antaranya dicurigai melakukan tindakan asusila karena tinggal dengan saudarinya di Ruteng.

Ditemani tiga warga lain dari Poco Leok, Maksimilianus “Milin” Neter dan Arkadeus Trisno Anggur mendatangi Polres Manggarai pada 2 Oktober malam.

Bersepeda motor dari Poco Leok di Kecamatan Satar Mese mereka mendatangi Polres untuk menyerahkan surat permohonan penundaan wawancara klarifikasi.

Milin dan Trisno merupakan dua dari tujuh warga Poco Leok yang namanya tercantum dalam surat “undangan wawancara klarifikasi” dari Polres Manggarai.

Wawancara dijadwalkan hari itu pukul 10.00 Wita, sesuai surat polisi bertanggal 28 September 2023.

Warga penerima surat itu memohon penundaan wawancara ke Jumat, 6 Oktober setelah waktu makan siang. 

Penundaan turut mempertimbangkan pengiriman surat yang mendadak serta jadwal kuliah Milin dan Trisno.

Setiba di Polres, mereka langsung menuju ruang Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu [SPKT] yang berada di dekat gerbang utama.

Pikir kelima warga, mereka dapat menyerahkan surat tersebut di SPKT supaya bisa segera pulang lantaran hari sudah malam. 

Yang terjadi justru sebaliknya.

Polisi yang berjaga di SPKT mengawal mereka ke ruang penyidikan dalam gedung utama Polres. 

Tak satupun polisi dalam ruangan itu yang memperkenalkan diri. 

Seorang di antaranya hanya berkata kepada kelima warga Poco Leok untuk “menunggu atasan kami.”

Begitu atasan datang, kelimanya diminta keluar ruangan untuk kemudian dipanggil satu per satu.

Alih-alih menyerahkan surat lalu pulang, mereka justru diinterogasi hingga dibentak polisi.

Marah-marah Terus

Milin tak menyangka malam itu ia menjadi warga pertama Poco Leok yang dipanggil masuk ke ruang penyidikan dalam gedung utama Polres.

Namanya memang berada di daftar teratas penerima undangan. Tapi apakah karena itu ia lalu menjadi orang pertama yang dipanggil, Milin tak tahu pasti.

Ketika ia  memasuki ruang penyidikan, empat warga lain Poco Leok menanti di luar ruang, tak mengerti apa yang bakal terjadi dalam ruangan. 

Dalam ruang penyidikan, “polisi tanya saya sambil marah-marah,” kata Milin saat ditemui Floresa di Polres Manggarai pada 2 Oktober malam, tak lama sesudah kelima warga Poco Leok keluar dari ruang penyidikan.

Seorang dari enam anggota kepolisian dalam ruangan itu membentak Milin: “Kau mahasiswa jurusan apa? Semester berapa? Nanti kami laporkan kau ke rektor.”

“Saya tidak tahu kenapa ia bertanya seperti itu,” kata Milin melanjutkan, “seperti ingin membuat kami tertekan.”

Milin memilih untuk menjawab setiap pertanyaan polisi yang marah-marah itu.

Setelah Milin, giliran Trisno yang dipanggil masuk ruangan. 

Tak ubahnya terhadap Milin, “polisi juga bertanya sambil bentak-bentak,” kata Trisno. 

Polisi bahkan sempat bertanya, “Kau tinggal dengan siapa [di Ruteng]?” Trisno menjawab, “dengan saudari.”

Dengan nada menggertak, polisi menyahut jawaban Trisno, “nanti bisa kami periksa dengan dugaan asusila.”

Dipaksa Teken Surat

Secara keseluruhan, nyaris dua jam mereka dalam ruangan penyidikan. Sehabis diinterogasi, mereka dibawa ke ruang sebelah penyidikan untuk menandatangani sebuah surat keterangan. 

Membaca isi surat, Trisno bertanya, “apa bedanya surat ini dengan yang kami antar tadi?”

Seorang polisi menjawab, “surat ini untuk ditandatangani saja. Tak ada bedanya dengan surat tadi.”

Trisno mengingat kalimat penutup surat itu yang berbunyi “tidak ada unsur paksaan dari siapapun.”

Tetapi dalam ruangan yang juga sarat bentakan itu, ia “merasa tertekan dan dipaksa harus menandatangani.”

Trisno sempat meminta polisi untuk mengizinkannya memotret surat keterangan tersebut. Namun, “mereka larang kami.”

Milin dan Trisno, yang sama-sama tinggal di Desa Lungar, Poco Leok, lalu menandatangani surat. 

Sambil memvideokan keduanya, polisi juga meminta mereka membacakan surat keterangan tersebut.

Setelah Milin dan Trisno, ganti Tadeus Sukardi dipanggil. Ia ditanya soal “hubungan sosial masyarakat Poco Leok.” 

Tadeus, yang namanya tak tercantum dalam undangan wawancara menjawab: “hubungan kami baik. Tak ada persoalan.”

Ia juga ditanya alasan menolak proyek geothermal di wilayah Poco Leok, yang dijawab “karena terkait dengan hajat hidup kami.”

Hak Dirampas, Warga Berhak Bereaksi

Selain Milin dan Trisno, polisi juga memanggil Bonaventura Harum, Agustinus Egot, Heribertus Jebatu, Ponsianus Lewang dan Ponsius Nogol.

Pada 2 Oktober pagi, Floresa meminta konfirmasi ke Polres soal pemanggilan terhadap ketujuh warga itu.

Ipda I Made Budiarsa, Kepala Sub Bagian Hubungan Masyarakat Polres Manggarai mengatakan ketujuh warga “dipanggil secara acak guna dimintai klarifikasi terkait laporan informasi anggota Polres Manggarai.”

Tanpa merinci identitas pelapor, Made mengatakan laporan informasi tersebut “terkait penghadangan terhadap aparat saat melaksanakan tugas pada 27 September.”

Sekitar 30-an personel gabungan polisi dan tentara mendatangi Poco Leok pada tanggal itu, mengawal petugas dari PT Perusahaan Listrik Negara yang hendak menuju lokasi proyek geothermal.

Menanggapi pemanggilan terhadap ketujuh warga, Muhammad Jamil, Kepala Divisi Hukum Jaringan Advokasi Tambang [Jatam] menyatakan “polisi telah gagal menjalankan fungsinya.”

“Polisi sepertinya tidak paham bagaimana menerapkan perlakuan yang sama di hadapan hukum sesuai Pasal 28D UUD 1945,” katanya kepada Floresa pada 2 Oktober.

Pasal itu menyebutkan bahwa ‘setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.’

Ketimbang langsung memanggil warga yang mempertahankan tanah, menurut Jamil, “polisi harus lebih dulu periksa, siapa yang melapor, dan isi laporannya apa?”

Dalam konteks hak asasi manusia, “siapapun berhak bereaksi ketika haknya dirampas,” katanya menyinggung keterlibatan ketujuh warga itu dalam aksi protes menolak proyek geothermal.

Proyek geothermal Poco Leok merupakan perluasan dari Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi [PLTP] Ulumbu, sekitar 3 kilometer sebelah barat Poco Leok, yang beroperasi sejak 2012.

Pemerintah menargetkan proyek geothermal Poco Leok menghasilkan energi listrik 2 x 20 megawatt. meningkat dari 10 megawatt yang sudah beroperasi saat ini.

Proyek ini termasuk dalam Proyek Strategis Nasional, bagian dari Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik PT PLN 2021-2030.

Warga Poco Leok terus melakukan perlawanan terhadap proyek yang berada di tanah ulayat mereka dan dekat dengan pemukiman mereka.

Mereka terlibat dalam beberapa kali upaya penghadangan aparat dan perusahaan yang mendatangi wilayah mereka, selain dengan menggelar rangkaian unjuk rasa.

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kawan-kawan bisa berdonasi dengan cara klik di sini.

Terkini