Klaim Polisi Berbeda dengan Warga Poco Leok Soal ‘Tekanan’ Saat Antar Surat Penundaan Wawancara Klarifikasi

Warga Poco Leok mendapat surat panggilan polisi karena hadang aparat yang kawal perusahaan ke lokasi proyek geothermal

Baca Juga

Floresa.co – Polres Manggarai menyampaikan klaim berbeda dengan warga Poco Leok terkait apa yang disebut warga sebagai tekanan untuk mereka saat mengantar surat permintaan penundaan ‘wawancara klarifikasi’ atas laporan informasi penghadangan aparat ke lokasi proyek geothermal.

AKP Hendrich Risqi Ario Bahtera, Kasat Reskrim mengatakan, mereka tidak membentak-bentak warga yang datang ke kantor Polres Manggarai pada Senin malam, 2 Oktober.

“Tidak benar [soal tekanan] itu,” klaimnya kepada Floresa saat wawancara pada Rabu, 4 Oktober.

Ia mengatakan hanya menyuruh dua dari tujuh warga yang dipanggil itu untuk membuat surat pernyataan komitmen untuk hadir dalam wawancara klarifikasi pada Jumat 6 Oktober.

Permintaan penundaan wawancara yang seharusnya dilakukan pada 2 Oktober itu, kata dia, “sesuai dengan permintaan warga karena alasan kuliah.”

Ia mengatakan, saat warga itu datang, semuanya masuk ke dalam ruangan.

Karena itu, lanjutnya “kita suruh keluar, lalu panggil satu-satu untuk buat pernyataan.”

Dua dari tujuh warga Poco Leok yang dipanggil Polres Manggarai itu adalah mahasiswa di Universitas Katolik Indonesia St. Paulus Ruteng.

Berbeda dengan klaim polisi, dua mahasiswa itu mengaku dibentak-bentak saat berada di dalam ruangan.

Maksimilianus “Milin” Neter, salah satu mahasiswa mengatakan, ketika  memasuki ruangan, “polisi tanya saya sambil marah-marah.”

Seorang dari enam anggota kepolisian dalam ruangan itu membentak Milin: “Kau mahasiswa jurusan apa? Semester berapa? Nanti kami laporkan kau ke rektor.”

“Saya tidak tahu kenapa ia bertanya seperti itu,” kata Milin saat wawancara dengan Floresa pada malam kejadian, “seperti ingin membuat kami tertekan.”

Milin memilih untuk menjawab setiap pertanyaan polisi yang marah-marah itu.

Setelah Milin, giliran Arkadeus Trisno Anggur, mahasiswa lainnya yang dipanggil masuk ruangan. 

Tak ubahnya terhadap Milin, “polisi juga bertanya sambil bentak-bentak,” kata Trisno. 

Polisi bahkan sempat bertanya, “Kau tinggal dengan siapa [di Ruteng]?” Trisno menjawab, “dengan saudari.”

Dengan nada menggertak, polisi menyahut jawaban Trisno, “nanti bisa kami periksa dengan dugaan asusila.”

Hendrich, Kasat Reskrim tidak membantah bahwa polisi menanyakan tempat tinggal Trisno.

Ia berdalih hal itu “sangat perlu untuk kepentingan keamanan dan ketertiban masyarakat.”

Ia mengatakan, di Ruteng ia kerap mendapat laporan, termasuk dari wartawan, soal tindakan asusila.

“Jangan sampe mengakunya sama saudari, ternyata sama pacar, timbul perbuatan lain yang tidak kita inginkan,” katanya.

Ia menjelaskan, tidak ada maksud lain dengan pertanyaan itu.

“Hanya mau tahu saja, masa tidak boleh?” katanya.

Dipanggil Karena Hadang Aparat

Selain Milin dan Trisno, polisi juga memanggil lima warga Poco Leok lainnya. Mereka adalah Bonaventura Harum, Agustinus Egot, Heribertus Jebatu, Ponsianus Lewang dan Ponsius Nogol.

Pemanggilan itu tertera dalam surat bertanggal 28 September.

Dalam wawancara dengan Floresa pada 2 Oktober pagi, Ipda I Made Budiarsa, Kepala Sub Bagian Hubungan Masyarakat Polres Manggarai mengatakan ketujuh warga “dipanggil secara acak guna dimintai klarifikasi terkait laporan informasi anggota Polres Manggarai.”

Tanpa merinci identitas pelapor, Made mengatakan laporan informasi tersebut “terkait penghadangan terhadap aparat saat melaksanakan tugas pada 27 September.”

Sekitar 30-an personel gabungan polisi dan tentara mendatangi Poco Leok pada tanggal itu, mengawal petugas dari PT Perusahaan Listrik Negara yang hendak menuju lokasi proyek geothermal.

Muhammad Jamil, Kepala Divisi Hukum Jaringan Advokasi Tambang [Jatam] mengkritisi panggilan terhadap warga ini karena menunjukkan “polisi telah gagal menjalankan fungsinya.”

“Polisi sepertinya tidak paham bagaimana menerapkan perlakuan yang sama di hadapan hukum sesuai Pasal 28D UUD 1945,” katanya kepada Floresa.

Pasal itu menyebutkan bahwa ‘setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.’

Ketimbang langsung memanggil warga yang mempertahankan tanah, menurut Jamil, “polisi harus lebih dulu periksa, siapa yang melapor, dan isi laporannya apa?”

Dalam konteks hak asasi manusia, “siapapun berhak bereaksi ketika haknya dirampas,” katanya menyinggung keterlibatan ketujuh warga itu dalam aksi protes menolak proyek geothermal.

Proyek geothermal Poco Leok merupakan perluasan dari Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi Ulumbu, sekitar 3 kilometer sebelah barat Poco Leok, yang beroperasi sejak 2012.

Pemerintah menargetkan proyek ini menghasilkan energi listrik 2 x 20 megawatt. meningkat dari 10 megawatt yang sudah beroperasi saat ini.

Proyek ini termasuk dalam Proyek Strategis Nasional, bagian dari Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik PT PLN 2021-2030.

Warga Poco Leok terus melakukan perlawanan terhadap proyek yang berada di tanah ulayat dan dekat dengan pemukiman mereka.

Mereka terlibat dalam beberapa kali upaya penghadangan aparat dan perusahaan yang mendatangi wilayah mereka, selain dengan menggelar rangkaian unjuk rasa.

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kawan-kawan bisa berdonasi dengan cara klik di sini.

Terkini