Tuntutan 15 Tahun Penjara untuk Johnny Plate: Didakwa Korupsi Rp17,8 Miliar yang Sebagiannya Mengalir ke Lembaga Gereja di NTT

Uang yang didakwa diterima Johnny Plate dalam kasus korupsi proyek BTS 4G ini jauh lebih kecil dibandingkan yang diterima sejumlah pihak untuk ‘mengamankan’ proses hukum.

Baca Juga

Floresa.co – Sidang pengusutan dugaan korupsi dalam proyek infrastruktur 4G di Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi atau Bakti yang berada di bawah Kementerian Komunikasi dan Informatika telah memasuki tahap penuntutan.

Salah satu terdakwa dalam kasus ini Johnny Gerard Plate, eks Menteri Komunikasi dan Informatika, dituntut penjara 15 tahun dalam sidang yang digelar, Kamis 25 Oktober.

Terdakwa lainnya yang tuntutannya dibacakan dalam sidang yang sama adalah Anang Achmad Latif – eks Direktur Bakti. Ia dituntut pidana penjara 18 tahun. Sementara itu, Yohan Suryanto – eks Tenaga Ahli Human Development Universitas Indonesia – dituntut enam tahun penjara.

Dalam tuntutannya terhadap Johnny, oleh Jaksa Penuntut Umum [JPU] menyatakan, ia “terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama,”

Selain pidana penjara, JPU juga menuntut Johnny membayar denda Rp1 miliar, subsider pidana kurungan selama 1 tahun, dan membayar uang pengganti kerugian negara Rp17.8 miliar.

Bila tidak membayar uang pengganti paling lama satu bulan sesudah putusan  berkekuatan hukum tetap, harta Johnny dapat disita dan dilelang. Jika ia tidak mempunyai harta yang mencukupi untuk membayar uang pengganti, diganti dengan pidana penjara 7,6 tahun.

Dalam uraiannya, JPU mengungkapkan sejak tahap perencanaan hingga pelaksanaan,  pekerjaan proyek penyediaan infrastruktur BTS 4G dan infrastruktur pendukung paket 1,2,3,4 dan 5 Bakti Kominfo tahun 2020-2022, “bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”

Akibatnya, kerugian negara mencapai Rp8,03 triliun sesuai hasil audit Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan [BPKP].

Pada tahap pelaksanaan proyek, JPU antara lain mengungkapkan peran Johnny meloloskan perusahaan penyedia power system untuk paket 1 hingga 5.

Ia disebut memerintahkan Anang “bertemu dengan Muhammad Yusrizki Muliawan guna membicarakan bisnis yang dapat dikerjasamakan dalam proyek BTS 4G.”

Muhammad Yusrizki Muliawan merupakan direktur utama PT Basis Utama Prima, perusahaan yang disebut-sebut sebagai milik Happy Hapsoro, suami politikus PDI-Perjuangan, Puan Maharani.

JPU menguraikan bahwa atas perintah Johnny, Anang selanjutnya bertemu dengan Irwan Hermawan dan menyampaikan bahwa dirinya menerima perintah Johny agar “pekerjaan power system BTS 4G Bakti meliputi baterai dan solar panel paket 1,2,3,4 dan 5 diserahkan ke grup bisnis Muhammad Yusrizki Muliawan.”

Irwan Hermawan yang merupakan komisaris PT Solitech Media Sinergy adalah rekan Anang sejak sekolah di Institut Teknologi Bandung.

Irwan bersama salah satu rekannya Windi Purnama, yang juga sudah berkawan sejak sekolah di Bandung memiliki peran sebagai tangan kanan Anang dalam sejumlah urusan proyek  ini, termasuk menjadi perantara penerima uang dari sejumlah kontraktor dan subkontraktor.

Selanjutnya, JPU menguraikan, Muhammad Yusrizki Muliawan pun meminta pengerjaan pengadaan power system yang meliputi baterai dan solar panel kepada para kontraktor pemenang infrastruktur BTS 4G dan infrastruktur pendukung paket 1,2,3,4 dan 5.

Muhammad Yusrizki Muliawan merekomendasikan PT Excelsia Mitra Niaga Mandiri untuk pekerjaan paket 1 dan 2, PT Bintang Komunikasi Utama untuk pekerjaan paket 3 dan PT Indo Electric Instruments untuk pekerjaan paket 4 dan 5.

Aliran Dana

JPU dalam uraiannya mengungkapkan  aliran dana dari para kontraktor dan subkontraktor proyek BTS 4G ini ke Anang melalui Irwan Hermawan dan Windi Purnama.

Total dana yang dikumpulkan dari para kontraktor dan subkontraktor mencapai Rp240,5 miliar yang kemudian mengalir ke berbagai pihak, termasuk kepada Johnny.

Namun, demikian uraian JPU, sebagian besar dana digunakan untuk pengamanan perkara kasus ini saat penegak hukum mulai mengusutnya.

Johnny disebut menerima Rp17,8 miliar yang mengalir ke stafnya dan ke sejumlah lembaga Gereja di NTT dan untuk bantuan korban bencana alam di Flores Timur.

JPU misalnya menguraikan pada Maret 2021 sampai Oktober 2022, Windi Purnama memberikan uang kepada Heppy Endah Palupi melalui stafnya yang bernama Yunita sebesar Rp500 juta per bulan untuk memenuhi permintaan Johnny kepada Anang. Uang tersebut untuk operasional dan tambahan insentif staf Kementerian Kominfo, sehingga total pemberian selama 20 bulan adalah sebesar Rp10 miliar.

Kemudian, lanjut JPU, pada 2022 Windi Purnama memberikan uang kepada Heppy Endah Palupi sebesar Rp1,5 miliar atas perintah Johnny kepada Anang.

Heppy Endah Palupi kemudian meminta bantuan kenalannya, Muhammad Zainal Arifin untuk mentransfer uang tersebut ke Yayasan Pendidikan Katolik Arnoldus sebesar Rp500 juta dan kepada Keuskupan Agung Kupang sebesar Rp1 miliar.

“Hal tersebut merupakan bantuan dari Johnny Gerard Plate yang sebelumnya telah diserahkan secara simbolis ketika Johnny Gerard Plate melakukan kunjungan ke Kupang,” sebut JPU.

Aliran uang lainnya yang juga terkait dengan Johnny adalah pada 2022. Kala itu, Windi Purnama memberikan uang kepada Walbertus Natalius Wisang, staf ahli Johnny sebesar total Rp4 miliar.

Kemudian, pada Maret 2022 dan Agustus 2022, Windi Purnama menyerahkan uang kepada Latifa Hanum, Kepala Divisi Layanan Telekomunikasi dan Informasi untuk Pemerintah di BAKTI, sejumlah total Rp1,8 miliar.

Dana itu dipakai untuk membayar tagihan biaya hotel perjalanan dinas Johnny, Anang, beserta staf Bakti ke Paris sebesar Rp453.6000.000, London sebesar Rp167.600.000 dan Amerika Serikat sebesar Rp404.608.000.

Sebagiannya lagi, menurut JPU, digunakan untuk memenuhi permintaan Johnny menyumbang  korban bencana banjir di Kabupaten Flores Timur sebesar Rp200 juta. Selain itu adalah permintaan sumbangan oleh Johnny untuk Gereja Masehi Injili Timor  di Kupang sebesar Rp250 juta.

Dana Pengamanan Kasus Lebih Jumbo

Dibandingkan dana yang mengalir ke Johnny, uang dari para kontraktor dan subkontraktor proyek BTS 4G ini lebih banyak mengalir ke sejumlah pihak untuk ‘pengamanan perkara’.

JPU misalnya menguraikan pada pertengahan tahun 2022 bertempat di Grand Hyatt, Jakarta, Windi Purnama menyerahkan uang kepada orang bernama Sadikin sebesar Rp40 miliar.

“Penyerahan uang tersebut ditujukan kepada BPK [Badan Pemeriksa Keuangan] terkait dengan audit yang dilakukan oleh BPK atas proyek pembangunan BTS 4G 2021-2022 yang mengalami keterlambatan,” ujar JPU.

Tak hanya ke BPK, uang pengamanan ini juga mengalir ke berbagai pihak yang ditengarai sebagai makelar kasus alias markus. Namun, tidak diuraikan muara dari uang tersebut, entah ke lembaga penegak hukum apa.

Pada pertengahan 2022, sebut JPU, bertempat di sebuah hotel di Sentul Bogor, Windi Purnama juga menyerahkan uang kepada orang bernama Nistra, yang merupakan staf ahli anggota Komisi I DPR RI  sebesar Rp70 miliar untuk dapat menghentikan proses penegakan hukum kasus ini.

Selanjutnya pada Agustus 2022 bertempat di kantornya sendiri di Jalan Terusan Hang Lekir, Jakarta, Irwan Hermawan menyerahkan uang kepada Edward Hutahaean sebesar Rp15 miliar untuk penghentian proses hukum kasus ini.

Edward Hutahaean yang merupakan eks komisaris independen di PT Pupuk Indonesia Niaga yang sebelumnya bernama PT Mega Eltra anak usaha dari Perusahaan BUMN, PT Pupuk Indonesia (Persero).

Kemudian pada Oktober 2022, bertempat di kantor Windi, Irwan Hermawan menyerahkan uang kepada Windu Aji Sutanto dan Setyo sebesar Rp66 miliar.

Uang tersebut, menurut JPU, juga “untuk penghentian proses penegakan hukum”

Upaya pengamanan kasus ini tak berhenti. Pada kurun November-Desember 2022, bertempat di rumah Dito Ariotedjo, Irwan Hermawan menyerahkan uang kepada Dito Ariotedjo sebesar Rp27 milir.

Dito merupakan politikus Golkar yang dilantik Presiden Joko Widodo sebagai Menteri Pemuda dan Olahraga pada 3 April 2023.

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kawan-kawan bisa berdonasi dengan cara klik di sini.

Terkini