Sidang Praperadilan Warga Flores yang Dilepaskan MA, Pemerhati Minta Hakim Tak Abaikan Nilai-Nilai Hidup Komunitas Adat 

Ia mengingatkan warga adat hidup dan tinggal lebih dulu ketimbang hutan lindung

Floresa.co – Abdon Nababan, seorang pemerhati warga adat, mendorong hakim Pengadilan Negeri Ruteng mengedepankan “hati nurani, nilai-nilai hidup, sejarah dan fakta sosiologis” dalam memutuskan praperadilan permintaan ganti rugi dan pemulihan nama baik seorang warga adat yang sidangnya sedang berjalan.

Putusan yang berpihak pada Mikael Ane, warga adat Ngkiong, Kabupaten Manggarai Timur itu, kata Abdon kepada Floresa pada 21 Agustus, “dapat menjadi tonggak sejarah pemulihan hubungan antara negara dan warga adat.”

Hak warga adat atas lahan komunal, kata Abdon yang pernah menjabat sekretaris jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara [AMAN], “bukan hak yang diberikan negara.”

Sebaliknya, wilayah adat merupakan hak bawaan yang melekat dalam diri komunitasnya, yang “tak akan hilang kecuali warga adatnya punah.”

Mikael mengajukan tuntutan ganti rugi dan pemulihan nama baik kepada empat lembaga negara, usai ia dilepaskan Mahkamah Agung dalam sengketa lahan dengan Taman Wisata Alam Ruteng.

Keempatnya adalah Balai Pengamanan dan Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan Wilayah Jawa, Bali dan Nusa Tenggara; Polres Manggarai Timur, Kejaksaan Negeri Manggarai dan Kementerian Keuangan.

Mikael ditangkap pada 28 Maret 2023, dua tahun sesudah mendirikan rumah di atas tanah yang diklaim pemerintah sebagai bagian dari kawasan taman wisata alam itu.

Sejak itu ia tak pernah pulang, hingga Pengadilan Negeri Ruteng memvonisnya satu tahun enam bulan penjara pada 5 September 2023. Ia juga diwajibkan membayar denda Rp300 juta, subsider enam bulan tahanan.

Melalui putusan kasasi yang dibacakan 6 Mei, Mahkamah Agung menyatakan Mikael “lepas dari segala tuntutan hukum.”

Dalam sidang perdana praperadilan pada 19 Agustus, Mikael menyatakan negara telah menerapkan hukum yang keliru hingga membuatnya dibui.

Berlandaskan alasan tersebut, ia menuntut negara mengganti kerugian materiil sebesar Rp98.500.000 dan imateriil sebesar Rp450.000.000.

Sidang praperadilan ganti rugi dan pemulihan nama baik yang diajukan Mikael memasuki hari ketiga pada 21 Agustus. Sidang berlanjut 22 Agustus dan akan ditutup 26 Agustus dengan pembacaan putusan.

Dalam sidang ketiga, kuasa hukum Mikael, Maximilianus Herson Loi, yang juga Ketua Pelaksana Harian Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Wilayah Nusa Bunga, menghadirkan dua saksi dan setidaknya 15 bukti dokumen.

Kedua saksi mengetahui pekerjaan Mikael, serta bagaimana ia tak lagi menjual kopi sejak awal 2023 lantaran dibui. Sementara kios sembako, yang menjadi usaha sampingan keluarga Mikael, ditutup lantaran disita negara.

Dokumen yang dijadikan alat bukti termasuk surat penangkapan terhadap Mikael.

Herson menyebut ini merupakan kasus “pertama di Flores terkait dengan ganti rugi dan rehabilitasi karena diputus lepas dari segala tuntutan hukum.”

Bagi Abdon, Mikael sedang memperjuangkan keberadaannya sebagai masyarakat adat.

“Tempat-tempat mungkin terbentuk oleh peraturan pascakemerdekaan,” katanya, “tetapi tidak dengan warga adat dan tanah ulayatnya.”

Ia menyatakan, tindakan Mikael yang membangun rumah di tanah ulayat adalah “untuk menghormati dan memanfaatkan warisan leluhur.”

Leluhur Mikael, kata Abdon, “tinggal di sana sebelum Taman Wisata Alam Ruteng terbentuk.”

“Mereka ada dan hidup sebelum peraturan itu ada,” katanya.

Menyebut pemerintah tak menyertakan partisipasi warga adat dalam pembentukan hutan lindung di pelbagai wilayah Indonesia, Abdon menyebut “pemilik tanah ulayatnya malah dikriminalisasi.”

“Saya salut pada Mikael,” katanya, “yang menyadari hak-haknya dan mampu ‘berdiri’ hingga tahap praperadilan.”

Editor: Ryan Dagur

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini.

TERKINI

BANYAK DIBACA

BACA JUGA