Floresa.co – Komisi Nasional untuk Hak Asasi Manusia [Komnas HAM] mendorong hakim Pengadilan Negeri Ruteng mengabulkan praperadilan Mikael Ane, warga adat Ngkiong di Manggarai Timur yang 14 bulan dibui namun dilepaskan dalam putusan kasasi karena dinyatakan tidak bersalah.
Selain pemulihan nama baik, Koordinator Subkomisi Pemajuan HAM di Komnas HAM, Anis Hidayah mendorong hakim mengabulkan ganti rugi yang diajukan Mikael, “yang hak atas keadilannya telah terampas peradilan sesat.”
“Kami mendorong reformasi peradilan yang tak lagi merampas hak-hak warga adat,” katanya kepada Floresa pada 23 Agustus.
Anis berkata, masih banyak warga adat, tak cuma Mikael, yang hingga kini menjadi korban peradilan sesat.
Tanpa menyebutkan jumlahnya, ia mengatakan hak memperoleh keadilan merupakan aduan terbesar kedua yang diterima Komnas HAM sepanjang 2023.
Dalam sangkaan tersebut, “aparat penegak hukum yang paling banyak diadukan.”
Komnas HAM mencatat jumlah aduan terkait hak memperoleh keadilan menyusul hak memperoleh kesejahteraan. Aduan terbanyak ketiga terkait hak memperoleh rasa aman.
Sidang praperadilan Mikael memasuki hari kelima pada 23 Agustus, dengan agenda pembacaan kesimpulan.
Dalam salinan dokumen analisis fakta persidangan yang diterima Floresa usai sidang, kuasa hukum Mikael menyatakan empat lembaga negara “membela diri dengan mengklaim proses hukum dilakukan sesuai aturan yang berlaku.”
Terhadap jawaban empat lembaga negara, kuasa hukum Mikael “berkesimpulan mereka mengakui telah menangkap, menahan dan menuntut Mikael, tindakan hukum yang dinyatakan keliru oleh Mahkamah Agung.”
Selain itu, bukti-bukti yang dihadirkan keempatnya dinilai tak relevan dengan praperadilan ganti rugi dan pemulihan nama baik.
Berdasarkan penjabaran analisis fakta persidangan, kuasa hukum Mikael “meminta hakim menolak eksepsi para termohon dan turut termohon seluruhnya.”
Sidang 23 Agustus akan disusul putusan pada 26 Agustus, sesudah melewati lima hari sidang berturut-turut.
Mikael mengajukan tuntutan ganti rugi dan pemulihan nama baik kepada empat lembaga negara, usai ia dilepaskan Mahkamah Agung dalam sengketa lahan dengan Taman Wisata Alam Ruteng.
Keempatnya adalah Balai Pengamanan dan Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan Wilayah Jawa, Bali dan Nusa Tenggara; Polres Manggarai Timur; Kejaksaan Negeri Manggarai dan Kementerian Keuangan.
Mikael ditangkap pada 28 Maret 2023, dua tahun sesudah mendirikan rumah di atas tanah yang diklaim pemerintah sebagai bagian dari kawasan taman wisata alam itu.
Sejak itu ia tak pernah pulang, hingga Pengadilan Negeri Ruteng memvonisnya satu tahun enam bulan penjara pada 5 September 2023. Ia juga diwajibkan membayar denda Rp300 juta, subsider enam bulan tahanan.
Melalui putusan kasasi yang dibacakan 6 Mei, Mahkamah Agung menyatakan Mikael “lepas dari segala tuntutan hukum.”
Dalam sidang perdana praperadilan pada 19 Agustus, Mikael menyatakan negara telah menerapkan hukum yang keliru hingga membuatnya dibui.
Berlandaskan alasan tersebut, ia menuntut negara mengganti kerugian materiil sebesar Rp98.500.000 dan imateriil sebesar Rp450.000.000.
Abdon Nababan, seorang pemerhati warga adat sebelumnya meminta hakim memutuskan praperadilan yang berpihak kepada Mikael.
Ia menyatakan, keberpihakan hakim dalam praperadilan Mikael akan menjadi “tonggak sejarah pemulihan hubungan antara negara dan warga adat.”
Sementara Anis “menyesalkan praktik peradilan sesat yang membuat Mikael sampai harus berdiri pada titik ini.”
“Kami menaruh hormat pada Mikael yang tak gentar memperjuangkan hak-haknya,” katanya.
Editor: Ryan Dagur