Floresa.co- Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) masih rendah atau menduduki peringkat ke 32 dari 34 provinsi di Indonesia.
Kenyataan ini diungkapkan oleh Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Andrinof A. Chaniago dalam sambutanyan yang dibacakan Direktur Politik dan Komunikasi Bappenas Wariki Sutikno pada Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) Provinsi NTT Tahun 2016 di Kupang, Selasa, (31/3/2015).
“Dari segi peningkatan kualitas kesejahteraan manusia, maka provinsi masih perlu upaya untuk meningkatkan IPM,” kata Menteri Andrinof Chaniago
IPM NTT berada di kisaran 68,77 (2013). Artinya, lanjut Menteri Adrinof, meskipun terus mengalami peningkatan, namun pencapaian IPM Provinsi Nusa Tenggara Timur menduduki peringkat ke 32 dari 34 provinsi di Indonesia, sehingga perlu terus ditingkatkan.
Lebih lanjut Menteri Adrinof menjelaskan, dari sisi kesenjangan yang ditunjukkan oleh rasio gini menunjukkan bahwa rasio gini Provinsi NTT (0,35) di bawah rasio gini nasional (0,41).
Rasio gini Provinsi NTT menunjukkan peningkatan dari tahun 2004 sampai dengan 2010, namun pada tiga tahun terakhir menunjukkan penurunan.
Namun demikian, tingkat kesenjangan ekonomi yang terjadi di Nusa Tenggara Timur berkategori tinggi yang menunjukkan perekonomian di kabupaten/kota di provinsi ini belum merata, katanya.
Kesenjangan antardaerah di Nusa Tenggara Timur juga dapat dilihat dari perbedaan antara pendapatan per kapita penduduk Kota Kupang hampir lima kali lipat pendapatan per kapita penduduk Kabupaten Sumba Barat Daya.
Dari sisi distribusi ekonomi, kontribusi PDRB didominasi oleh sektor pertanian (35 persen) dan jasa-jasa (26 persen). Sementara itu sektor angkutan, telekomunikasi dan industri pengolahan peranannya masing-masing mengalami penurunan yakni 6,4 persen menjadi 5,7 persen, dan 1,8 persen menjadi 1,4 persen.
Adapun sebagian besar penduduk bekerja pada sektor pertanian (65 persen), dan jasa (11,5 persen). Beberapa sektor yang mengalami penurunan antara lain berada di sektor pertanian dan pertambangan masing-masing 12,58 persen dan 0,87 persen.
Sementara itu, pekerja di sektor industri pengolahan hanya menyerap tenaga kerja 4,91 persen dan tingkat pertumbuhan penyerapan tenaga kerja relatif stagnan. Dari seluruh angkatan kerja, sebagian besar angkatan kerja telah menamatkan pendidikan SD yaitu sebesar 66,40 persen, katanya menjelaskan
Di bidang investasi, kata Menteri Adrinof, potensi simpanan masyarakat masih mencukupi untuk pembiayaan investasi di daerah. Hal ini mengindikasikan bahwa sebagian besar pinjaman masyarakat yang dilakukan di Nusa Tenggara Timur adalah bersifat konsumtif.
Dalam perspektif jangka panjang, pola ini kurang sehat karena pertumbuhan yang digerakkan oleh konsumsi saja tidaklah berkelanjutan. Karena itu selain upaya mendorong akumulasi tabungan masyarakat, juga diperlukan upaya mendorong investasi masyarakat di sektor produktif.
Dari sisi penggunaan APBD juga menunjukkan bahwa hampir 67 persen dana APBD digunakan untuk belanja pegawai (50 persen) dan belanja barang jasa (17 persen). Sementara itu, porsi belanja modal yang merupakan investasi publik masih rendah sekitar 12 persen.
Selain hal tersebut di atas, tentunya kita menyadari masih terdapat beberapa permasalahan dan tantangan lain yang dihadapi oleh Pemerintahan Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Permasalahan itu antara lain laju pertumbuhan PDRB Provinsi Nusa Tenggara Timur relatif masih rendah dan cenderung menurun, pencapaian PDRB per kapita Nusa Tenggara Timur berada dibawah PDB per kapita Nasional, tingkat kemiskinan Nusa Tenggara Timur berada di atas tingkat kemiskinan Nasional, katanya. (Antara/ARS/Floresa)