Lewat Tenun Ikat, Alfonsa Horeng Promosikan Flores ke Penjuru Dunia

Floresa.co – Alfonsa Horeng adalah salah satu contoh perempuan Flores yang mampu menerobos kungkungan dominasi laki-laki yang begitu kental dalam budaya kebanyakan suku di Flores.

Melalui tenun ikat,  Alfonsa bisa keluar dari dapur, tempat yang menjadi wilayah kerja kebanyakan perempuan Flores.

Hingga saat ini, setidaknya, perempun kelahiran Nita, Kabupaten Sikka, 1 Agustus 1974 ini, sudah menjelajah 33  negara di berbagai benua, kecuali Afrika. Dia telah menunjukkan bahwa perempuan Flores tak hanya berada di sekitar dapur, tapi mampu menjalankan peran di ranah publik.

Negara-negara yang pernah disambanginnya di benua Amerika antara lain  Amerika Serikat, Brasil, Chili, Peru, Kosta Rika, Panama, Kuba, Mexico, dan Ekuador. Sedangkan di Eropa diantaranya di Jerman, Swis, Prancis, Inggris, Belanda, dan Italia. Negara-negara bagian di Australia juga hampir semuanya sudah ia jelajahi. Di Asia sendiri, selain tentunya Indonesia, dia juga sudah menyambangi Filipina, Thailand, Jepang, dan Vietnam.

Di negara-negara tersebut, sarjana pertanian dari Universitas Widya Mandala, Surabaya ini, mengaku bukan untuk berdagang tenun ikat Flores.

Tenun dia jadikan hanya sebagai sarana untuk memperkenalkan Flores dengan segala keanekaragaman budaya serta keindahan alamnya. Dan itu semua, menurut dia, tercermin dalam tenun ikat yang dihasilkan oleh para perempuan Flores.

Dia berbicara di kampus-kampus serta museum di negara yang disambanginya itu. Memberikan workshop, melakukan  presentasi dan demonstrasi bagaimana tenun ikat Flores dibuat.

“Karena itu, saya kalau keluar negeri selalu bawa peralatan tenun,” katanya saat ditemui Floresa.co disela-sela acara pameran tenun ikat Ende di Museum Tekstil, Jakarta, Minggu lalu (23/11/2014).

Berbagai model tas dengan bahan dasar dari tenun ikat Ende (Foto: Floresa)
Berbagai model tas dengan bahan dasar dari tenun ikat Ende (Foto: Floresa)

Kalau diundang dalam seminar-seminar di berbagai forum, Alfonsa mengaku tak hanya mau menjadi peserta yang duduk manis mendengarkan presentasi. Dia justru meminta untuk tampil di mimbar sebagai pembicara.

“Kalau saya yang bicara, saya minta mimbarnya dihiasi tenun ikat Flores,” ujarnya.

Ada pengalaman menarik ketika dia berkunjung ke beberapa negara di Amerika Latin.

Di sana, menurutnya, juga ada tenun ikat. Tetapi sayangnya, mayoritas sudah menjadi kenangan yang hanya bisa dilihat di museum-museum di negara itu.

“Ketika mereka melihat tenun ikat Flores, mereka terharu dan merasa nenek moyang mereka kembali hidup,”ceritanya.

Alfonsa tak khawatir tenun ikat Flores dijiplak oleh orang lain di negara-negara yang pernah diajarinya itu.

Karena menurut dia, tenun ikat Flores adalah sebuah karya seni warisan leluhur yang proses pembuatannya rumit.

Kalau pun toh ada yang menjiplak motifnya, menurut dia, orisinalitasnya tak bisa ditiru. Karena, tenun ikat Flores yang asli dihasilkan dari berbagai tumbuhan yang tumbuh di Flores.

“Alam mereka tidak sama dengan kita. Karena itu, apa yang saya lakukan lebih ke memperkenalkan warisan tradisi tenun ikat Flores sebagai heritage ke dunia,”ujarnya.

Dengan cara seperti itu, dia beharap masyarakat di negara-negara yang dikunjunginya tertarik untuk datang ke Flores.

Lebih dari itu, menurut dia, cara seperti ini juga merupakan bagian dari diplomasi untuk menjaga perdamaian dunia. Karena menurutnya, lewat perjumpaan dengan beragam manusia terjadi dialog kemanusiaan yang pada  gilirannya akan menciptakan saling pengertian.

Langkah kaki Alfonsa menjelajah berbagai negara bermula dari kecintaannya terhadap tenun ikat Flores.

Dia  mengamati ada banyak wisatawan yang berkunjung ke Flores dan mencari tenun ikat yang asli. Tetapi semakin sulit didapat.

Karena itu, pada 24 Mei 2002, bersama 14 teman lainnya, dia mendirikan Lepo Lorun atau rumah tenun di  kampungnya, Nita, Kabupaten Sikka.

Kelompok ini kemudian terus berkembang ke kampung lainnya. Perkembangannya menjadi pesat karena nyaris setiap kampung memiliki motif tenun yang berbeda. Saat ini, anggota kelompok tenun besutan Alfonsa sudah berjumlah 1.023 orang.

Para anggotanya pun tak lagi hanya di Kabupaten Sikka, tetapi sudah menjalar ke Kabupaten Ende dan Flores Timur.  Rencananya, mereka juga akan mendirikan kelompok serupa di Manggarai.

“Kami  baru observasi di Todo, Ruteng, dan Labuan Bajo,” ujarnya.

Alfonsa (duduk) saat pameran tenun ikat Ende di Jakarta, Minggu (24/11/2014). (Foto: PTD/Floresa)
Alfonsa (duduk) saat pameran tenun ikat Ende di Jakarta, Minggu (24/11/2014). (Foto: PTD/Floresa)

Dia mengaku mendirikan kelompok tenun ini bukan didorong oleh motif ekonomi. Dia tak setuju apabila tenun ikat Flores semata-mata dilihat sebagai barang dagangan.

“Tenun ikat Flores adalah warisan atau heritage yang perlu dijaga dan dilestarikan, di dalamnya ada niai spiritual dan unsur magis,”ujarnya.

Karena itu, dia pun tak mau kalau penenun disebut pengrajin. Sebutan itu, kata dia, mengurangi  makna menenun sebagai aktivitas yang mengandung nilai spiritual dan magis menjadi hanya sekadar sebagai aktivitas ekonomi.

“Kalau di luar negeri, kami (penenun) dipanggil profesor, dosen, atau maestro bukan pengrajin,”ujarnya membandingkan.

Alfonsa tak mau suatu saat tenun ikat Flores hanya ditemui di museum-museum. Karena itu, dia terus menggerakan perempuan Flores lainnya untuk kembali belajar menenun.

“Menenun jangan dianggap sebagai pekerjaan orang kampung, tetapi ini adalah identitas yang perlu dijaga dan dilestarikan.” (PTD/Floresa)

spot_img

Artikel Terkini