Tolak Tambang Batu Gamping, Warga Lingko Lolok Gugat Bupati Matim dan Gubernur NTT ke Pengadilan TUN

Gugatan itu mereka layangkan karena Agas dan Laiskodat menerbitkan Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi Mineral Bukan Logam dan Izin Lingkungan Terhadap Rencana Usaha dan/atau Kegiatan Pertambangan Batu Gamping kepada PT. Istindo Mitra Manggarai di Lingko Lolok yang diteken pada 23 November 2020.

Kupang, Floresa.coIsfridus Sota dan Bonevasius Yudent, warga Lingko Lolok, Desa Satar Punda, Kecamatan Lambaleda, Kabupaten Manggarai Timur (Matim), Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) menggugat Bupati Andreas Agas dan Gubernur Victor Bungtilu Laiskodat ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Kupang.

Gugatan itu mereka layangkan karena Agas dan Laiskodat menerbitkan Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi Mineral Bukan Logam dan Izin Lingkungan Terhadap Rencana Usaha dan/atau Kegiatan Pertambangan Batu Gamping kepada PT. Istindo Mitra Manggarai di Lingko Lolok yang diteken pada 23 November 2020.

Gugatan TUN yang terdaftar dengan Nomor Perkara: 5/G/2021/PTUN-KPG di PTUN Kupang itu diwakili oleh Pengacara Marthen Jenarut, Vitalis Jenarus, Valens Dulmin, Anselmus Malofiks, dan Elias Sumardi Dabur.

Valens menyatakan, tenggugat adalah anggota masyarakat yang tak terpisahkan dari masyarakat adat Lengko Lolok yang memiliki lahan dan hunian di Lingko Lolok dirugikan oleh Keputusan TUN yang diterbitkan tergugat.

“Di atas tanah para penggugat, PT. Istindo Mitra Manggarai mulai merencanakan kegiatan penambangan batu gamping,” kata Valens dalam rilis yang diterima Floresa.co, Kamis 22 April 2021.

BACA: Ruang Hidup Orang Wae Sano Terancam Proyek Panas Bumi

Ia menyatakan, rencana yang tanpa persetujuan penggugat itu akan mengakibatkan penggugat kehilangan hak atas tanah, mata pencaharian dan penghidupan, mata air serta hak untuk menikmati masa depan serta keberlangsungan hidup keluarga dan keturunannya.

“Tanah dan segala yang tumbuh di atasnya, serta hunian milik para penggugat, termasuk rumah gendang masyarakat adat Lengko Lolok masuk dan atau menjadi bagian di dalam wilayah IUP Operasi Produksi Batu Gamping PT. Istindo,” ujarnya sembari menambahkan bahwa wilayah IUP Produksi Batu Gamping PT. Istindo bukan hanya mencakup ruang hidup penggugat tetapi termasuk seluruh masyarakat adat Lengko Lolok.

Menurutnya, jika ruang hidup penggugat dihancurkan maka masyarakat adat Lengko Lolok juga akan musnah.

“Pun identitas kultural seperti Kampung sebagai tempat hunian atau Golo Lonto/Beo Ka’eng, tanah sebagai lahan kelola untuk hidup atau Uma Duat, halaman kampung sebagai tempat untuk ekspresi kreativitas hidup atau natas labar, altar untuk perayaan kehidupan atau Compang Takung serta mata air untuk pemenuhan kebutuhan hidup atau Wae Teku juga akan musnah,” katanya.

Penggugat Tolak Klaim ‘Tua Adat’

Pada 26 Maret 2020, Tju Bin Kuan mewakili PT Istindo dan Zhao Jiang Hao mewakili PT Semen Singa Merah NTT menandatangani “kesepakatan awal” dengan Damianus Demas, yang mengklaim dirinya pemilik atau penguasa dari bidang-bidang tanah hak ulayat.

Menurut Elias, klaim Damianus tersebut merugikan penggugat. Pasalnya, dalam wilayah IUP Produksi Batu Gamping PT. Istindo, terdapat tanah yang masih menjadi tanah ulayat.

BACA: Warga Lingko Lolok: ‘Kami Tak Mungkin Hidup di Langit Jika Tanah Kami Dikuasai Tambang’

“Tua Adat tidak memiliki kewenangan untuk mengklaim bahwa dia untuk dan atas nama masyarakat adat dapat melakukan penyerahan hak atas tanah pada pihak lain tanpa melalui proses musyawarah untuk mufakat bersama masyarakat adat,” jelas Elias.

Ia menegaskan, penggugat tidak pernah memberikan persetujuan dan atau melepaskan hak kepemilikan atas lahan atau tanah pertanian dan bangunan rumah mereka untuk dijadikan areal pertambangan.

Isfridus Sota, warga Lingko Lolok: “Kami tak mungkin hidup di langit jika tanah kami dikuasai tambang.” (Foto: Floresa)

“Tindakan tergugat telah mengabaikan dan atau melanggar hak tenggugat sebagaimana dimaksud Pasal 10 huruf b Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara Pasal 10 huruf b,” kata Elias.

Penetapan wilayah pertambangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat 2, tutur Elias harus dilaksanakan secara transparan, partisipatif, dan bertanggung jawab.

“Selain itu, juga harus dilaksanakan secara terpadu dengan memperhatikan pendapat dari instansi pemerintah terkait, masyarakat, dengan mempertimbangkan aspek ekologi, ekonomi, dan sosial budaya, serta berwawasan lingkungan; sebagaimana dikuatkan oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU VIII/2010,” ujarnya.

Selain itu, tutur Elias, penggugat juga berpotensi mengalami kerugian dari aspek lingkungan hidup karena tidak akan menikmati lingkungan hidup yang sehat.

“Objek gugatan itu diterbitkan di atas wilayah ecoregion karst dan cekungan air tanah yang sudah ditetapkan oleh pemerintah sebagai wilayah yang harus dilindungi dan dipertahankan demi menjaga keberlangsungan eksistensi lingkungan hidup yang sehat,” katanya.

Lebih lanjut, jelas Elias, keputusan tergugat juga melanggar ketentuan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, UU Tentang Lingkungan Hidup, sejumlah Peraturan Pemerintah, termasuk Perda Kabupaten Matim tentang Perlindungan Mata Air dan Peraturan Gubernur Provinsi NTT tentang moratorium tambang.

“Selain menabrak ketentuan UU, keputusan para tergugat juga melanggar asas-asas umum pemerintahan yang baik, antara lain, asas partisipasi masyarakat, asas partisipasi masyarakat,” ujarnya.

BACA: Mimpi ‘Ditegur’ Leluhur, Warga Lengko Lolok Tolak Relokasi Kampung demi Tambang

Asas partisipasi masyarakat, disebut Elias sangat krusial karena menyangkut dampak sosial dan lingkungan masyarakat sekitar pasca diterbitkannya keputusan TUN.

“Dalam konteks ini instrumen perizinan lingkungan hidup, yakni Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) dan Izin Lingkungan,” katanya.

“Dokumen lingkungan tersebut mulai dari awal harus ada partisipasi masyarakat, agar dapat mengakomodasi kepentingan-kepentingan masyarakat sekitar, apalagi Para Penggugat memiliki lahan di lokasi yang akan ditambang, termasuk multiplier effect dari adanya suatu kegiatan usaha,” ujarnya.

Agenda lanjutan setelah terdaftar di Kepaniteraan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Kupang adalah Pemeriksaan sengketa yang dimulai dengan pembacaan isi gugatan dan jawaban Tergugat.

ARJ/Floresa

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini.

spot_img
spot_img

Artikel Terkini