Film Dokumenter Soroti Perjuangan Warga Satar Punda Menolak Tambang

Film Gelombang Tambang Satar Punda itu dirilis pada Selasa, 15 Februari 2022, yang diproduksi atas kerja sama Komisi Justice, Peace and Integrity of Creation (JPIC) Ordo Fransiskan, bersama Jaringan Advokasi Tambang, WatchDoc, dan seorang jurnalis, Yohanes Manasye.

Floresa.co – Sebuah film dokumenter yang baru saja dirilis menyoroti keteguhan warga di Desa Satar Punda, Kabupaten Manggarai Timur menentang perusahan pertambangan yang hendak hadir kembali di kampung mereka, setelah sebelumnya bertahun-tahun perusahan tambang beroperasi.

Film Gelombang Tambang Satar Punda itu dirilis pada Selasa, 15 Februari 2022, yang diproduksi atas kerja sama Komisi Justice, Peace and Integrity of Creation (JPIC) Ordo Fransiskan, bersama Jaringan Advokasi Tambang, WatchDoc, dan seorang jurnalis, Yohanes Manasye.

Film berdurasi 23 menit itu menyoroti kehidupan warga Lengko Lolok dan Luwuk, Desa  Satar Punda di mana mereka menyatakan merasakan dampak buruk seperti lahan yang tandus dan terjadi krisis air setelah wilayah mereka menjadi lokasi penambangan mangan selama 20 tahun dan kemudian ditinggalkan begitu saja oleh perusahan.

Dalam film itu, warga juga menyatakan kecemasan karena perusahan tambang batu gamping hanya tinggal menunggu waktu beroperasi di kampung mereka setelah pada 2020 pemerintah menerbitkan izin di atas lahan sekitar 500 hektar, bersama dengan izin pendirian pabrik semen.

Blasius Bandung, warga di Luwuk mengatakan dalam film itu bahwa ia menolak kehadiran pertambangan setelah melihat kerusakan yang terjadi dan menyatakan bahwa ia bisa bertahan hidup dengan mengandalkan hasil pertanian.

“Saya terbiasa bekerja di kebun untuk menghidupi keluarga. Saya bsia sekolahkan anak saya empat orang. Satu yang sudah tamat (kuliah), satu yang SMA, satu SMP dan satu SD. (Mereka dibiayai) dari hasil pertanian,” katanya.

Pastor Alsis Goa Wonga OFM, direktur JPIC Fransiskan yang juga ditampilkan dalam film itu mengatakan bahwa bentang alam di wilayah Desa Satar Punda telah rusak dan ini menjadi tantangan serius bagi masa depan warga yang sangat bergantung pada sektor agraris.

“Apa yang dialami warga puluhan tahun selama perusahan tambang mangan, sekarang ini terancam kembali,” katanya, menyinggung soal izin untuk tambang batu gamping dan pabrik semen.

Melky Nahar, produser eksekutif film itu yang juga Kepala Kampanye Jaringan Advokasi Tambang mengatakan, film ini mau menunjukkan bahwa alih-alih membuat masyarakat setempat sejahtera, mereka malah menderita karena kehadiran pertambangan.

“Padahal sebetulnya mereka bisa bertahan hidup dari hasil pertanian, peternakan dan menenun yang sudah mereka lakukan turun-temurun. Tambang justeru membuat mereka kehilangan itu semua,” katanya.

Ia mengatakan, film itu menjadi bagian dari upaya perlawanan yang terus dilakukan terhadap izin tambang batu gamping dan pabrik yang sudah dikeluarkan pemerintah.

Ia mengatakan film itu akan diputar di aula Gereja Paroki St Fransiskus Assisi karot di Ruteng dalam sebuah acara pada Sabtu, 19 Februari di mana perwakilan berbagai elemen, termasuk masyarakat lingkar tambang akan hadir.

“Film ini juga akan ditayangkan oleh komunitas-komunitas tertentu, agar bisa didiskusikan lebih luas,” katanya.

Film itu, kata dia, juga akan diunggah di kanal Youtube Watchdoc.

Isfridus Sota, warga Lengko Lolok yang vokal menolak tambang mengatakan, “kami berjuang bukan untuk pribadi kami sendiri, tetapi demi keselamatan semua,” termasuk mereka yang mendukung tambang.

“Selama ini saya terus bertanya kepada pemerintah, apakah tidak ada acara yang lain yang sehat untuk mengantar kami ke dalam kesejahteraan hidup, selain dengan tambang,” katanya.

FLORESA

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini.