FLORESA.CO – Reaksi publik terhadap informasi kenaikan tarif masuk Taman Nasional Komodo Komodo [TN Komodo] dijemput oleh Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur [Pemprov NTT] dengan mengadakan sosialisasi kebijakan pada Kamis, 14 Juli 2022.
Bertempat di Kantor Bupati Manggarai Barat [Mabar], sosialisasi ini dihadiri oleh Bupati dan Wabup Mabar, Ketua DPRD Mabar, Kadis Pariwisata NTT Sony Libing, pengkaji kebijakan Institut Pertanian Bogor [IPB] Dr. Irman Firmansyah, perwakilan BTNK, BOPLBF, Kajari, Wakapolres Mabar, tokoh masyarakat, dan masyarakat sipil dari berbagai asosiasi wisata di Labuan Bajo.
Catatan ini berisi ringkasan yang coba dibuat amat singkat tetapi memuat poin-poin pokok yang diangkat, baik oleh pemerintah dan pengkaji maupun oleh masyarakat sipil.
Sebagai pemandu acara, Bupati Mabar Edi Endi memberi kesempatan pertama kepada Kadis Pariwisata yang mewakili Pemprov NTT.
“Kami mau ikut menjaga dan melestarikan hewan purbakala ini, agar ia lestari sampai dunia kiamat,” ungkap Sony mengutip kata-kata Gubernur NTT, Voctor Laiskodat ketika meminta bagian dalam pengelolaan TN Komodo kepada Pemerintah Pusat.
Pemprov NTT telah meminta ahli dari IPB, Universitas Indonesia [UI], Universitas Udayana, dan Undana Kupang untuk mengkaji soal carrying capacity atau Daya Dukung Daya Tampung Wisata [DDDTW] Berbasis Jasa Ekosistem di TN Komodo.
Menurut Sony, Pemprov akan membuat riset lanjutan tentang karakter ekosistem Komodo, bekerja sama dalam konservasi dengan Pemerintah Pusat, merancang pemberdayaan masyarakat lokal melalui community-based tourism, dan menata manajemen wisata dengan system digital.
Selain itu, kata dia, pemerintah juga memungut dana kontribusi dari wisatawan sebesar 3.75 juta per tahun untuk memenuhi ongkos konservasi dan pengelolaan wisata. Dana tersebut juga akan mengalir dalam pos pendapatan asli daerah [PAD] Pemprov dan Pemda Mabar.
Situasi ruangan sontak riuh ketika pengkaji DDDTW Irman Firmansyah mulai bicara. Irman mulai dengan mengangkat temuan IUCN bahwa Komodo tidak hanya rentan tetapi sudah terancam punah. Dari segi ekonomi, menurut Irman, ada perlambatan nilai manfaat ekonomi dari kunjungan wisatawan di TN Komodo. Buktinya, pertumbuhan pengunjung TN Komodo tahun 2013 hingga 2016 adalah 1,3 kali dan 2016 hingga 2019 sebanyak 2 kali lipat dari sebelumnya. Sedangkan, pertumbuhan PNBP 2013-2016 adalah 5 kali dan tahun 2016-2016 hanya 1,6 kali lipat.
Polemik Kenaikan Tarif Masuk: Ke mana Arah Pengelolaan Taman Nasional Komodo?
Selain itu, Irman juga mempresentasikan temuan tentang perubahan iklim yang akan berdampak bagi lingkungan [biodiversitas, penggunaan lahan, dll] serta prioritas jasa ekosistem dan daya tampung wisatawan [219.000 di P. Komodo dan 39.420 di P. Padar].
Tentang metode riset yang ia gunakan, yaitu System Dynamics & Spatial Dynamics, Irman memantik keributan dalam ruangan setelah mengajak siapapun untuk berdebat, dengan catatan lawannya tersebut ialah seorang akademisi.
“Kalau ada yang mau berdebat akademik, saya ‘open’, tapi sesama akademisi. Kalau yang tidak juga nanti akan habis waktu,” tuturnya yang disambut dengan teriakan dan celetukan dari peserta sosialisasi.
“Anda memang pakar, kami orang Flores semuanya bodoh,” sahut salah seorang peserta di sela-sela keributan peserta lain. Bahkan, Irman juga mengklaim bahwa dirinya sudah banyak berdiskusi dengan Profesor Emil Salim untuk membicarakan masalah TN Komodo.
Selain dua pembicara itu, perwakilan Balai TN Komodo, Urbanus, juga mempresentasikan informasi tentang situasi TNK dan kerja-kerja mereka di lapangan.
Sebagian besar materi yang dipaparkan oleh Sony dan Irman dimentahkan oleh peserta pada sesi diskusi.
Pertama, para pelaku wisata tetap sepakat menyatakan tidak setuju pada kebijakan kenaikan tarif masuk TNK. Beberapa pelaku wisata menyatakan bahwa pembangunan pariwisata yang berkeadilan mesti memperhatikan nasib pelaku wisata serta keluarga mereka. Angka tiket yang sangat besar ini tidak masuk akal dan pasti mengurungkan niat wisatawan untuk berkunjung. Penetapan tarif ini adalah kebijakan yang kontraproduktif dengan semangat kebangkitan ekonomi masyarakat local pasca pandemi.
Selain itu, para pelaku wisata juga mempertanyakan pernyataan Shana Fatina, Direktur BPOLBF, tentang 50 destinasi wisata alternatif yang bisa dikunjungi wisatawan jika tidak mau ke TN Komodo.
Kedua, dasar hukum pungutan karcis masuk TN Komodo adalah PP No 12 tahun 2014. Dalam peraturan tersebut, TN yang berada di Rayon I memungut karcis masing-masing untuk wisatawan asing dan wisatawan domestik sebesar 250 ribu rupiah dan 20 ribu rupiah, TN yang berada di Rayon II memungut masing-masing 200 ribu dan 10 ribu rupiah.
Sedangkan TN di Rayon III memungut masing-masing 150 ribu dan 5 ribu rupiah. Para pelaku wisata mempertanyakan dasar hukum kebijakan kenaikan tarif menjadi 3.75 juta ini.
BACA: Perusahaan-perusahaan yang Pernah dan Masih Mengantongi Izin Investasi di Taman Nasional Komodo
Ketiga, beberapa pelaku wisata juga mengajukan pertanyaan tentang mengapa pengelolaan tarif masuk mesti diserahkan kepada PT Flobamor. Ervis Budisetiawan kemudian mengungkapkan beberapa data bahwa BUMD Provinsi NTT itu tidak menyetor deviden sebesar 1.6 milyar kepada Pemprov NTT tahun 2019 dan 2020. Selain itu, ada juga dugaan privatisasi di TN Komodo oleh PT yang sama.
Keempat, Ketua FORMAPP Mabar, Rafael Todowela mempertanyakan perusahaan-perusahaan swasta yang tidak mendukung konservasi dalam TN Komodo. Perusahaan-perusahaan yang dimaksud ialah PT Segara Komodo Lestari [SKL] yang mendapat izin mengelola 22,1 hektar lahan di Pulau Rinca, PT Komodo Wildlife Ecoturism [KWE] yang memperoleh izin mengelola lahan 151,9 Hektar di Pulau Komodo dan 274 hektar di Pulau Padar.
Ada juga PT Synergindo Niagatama mendapat izin seluas 15,3 Ha di Pulau Tatawa. Lalu, ada juga PT Flobamor yang disebut akan menguasai sebagaian wilayah di Loh Liang Pulau Komodo.
Menurutnya, kenaikan tarif ini adalah wacana liar yang menciptakan ketidakstabilan pembangunan pariwisata serta mengancam keselamatan Komodo dan penduduk asli dalam Kawasan. “Hentikan wacana liar ini. Bikin gaduh saja. Mengganggu stabilitas pasar pariwisata,” ujarnya.
Kegiatan sosialisasi ini akhirnya berlangsung tanpa kesepakatan. Para pelaku wisata tetap menyatakan penolakan dan sudah merencanakan aksi demonstrasi di Labuan Bajo mulai hari Senin, 18 Juli mendatang.
Sementara itu, Kadispar NTT menyatakan bahwa keputusan akhir kebijakan ini akan diambil oleh Gubernur NTT, Viktor Laiskodat.
“Saya hanya staf, decision maker itu adalah atasan saya, Pak Gubernur,” ungkapnya.
FLORESA