Tarif 3,75 Juta Gagal, Aktivitas PT Flobamor Tetap Perlu Dikawal  

Kontrol publik tetap perlu bagi aktivitas PT Flobamor di TN Komodo, demi tetap tegaknya prinsip-prinsip konservasi dan ekonomi berbasis komunitas.

Oleh: Anno Susabun

Perlawanan publik selama hampir satu semester pada tahun lalu  memang telah berhasil menggagalkan kebijakan kontroversial Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur [Pemprov NTT] di Taman Nasional [TN] Komodo. Tarif 3,75 juta yang hendak diterapkan oleh PT Flobamor, BUMD milik Pemprov NTT pada awal Januari tahun ini batal. Langkah itu merupakan tindak lanjut dari pencabutan Peraturan Gubernur NTT Nomor 85 tahun 2022 sebagai dasar hukumnya.

Kemenangan perjuangan publik juga terjadi ketika pemerintah pusat akhirnya ikut mengambil sikap. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan [LHK], Siti Nurbaya Bakar misalnya bersedia memberitahu Gubernur Viktor Bungtilu Laiskodat, rekannya sesama Partai Nasdem, bahwa sejumlah isi Pergubnya, termasuk penerapan tarif 3,75 juta itu, berlawanan dengan undang-undang.

 Kendati kebijakan tersebut batal, sejak 1 Januari, PT Flobamor sebetulnya tetap mulai beraktivitas di wilayah TN Komodo. Ini menjadi mungkin karena perusahaan ini telah mengantongi Izin Usaha Penyediaan Jasa Wisata Alam [IUPJWA] di wilayah seluas 712,12 hektar. Angka ini merupakan gabungan dari beberapa titik di Pulau Komodo, Pulau Padar dan perairan di dekatnya. Dengan izin itu, perusahaan tersebut telah melakukan sejumlah langkah, termasuk mengganti pemandu wisata lama di lokasi-lokasi strategis yang dikuasainya.

 Model tata kelola baru ini tentu saja mesti tetap dikontrol dan diuji di hadapan prinsip-prinsip konservasi dan ekonomi berbasis komunitas – yang sudah seharusnya menjadi dasar pertimbangan pengelolaan TN Komodo.

Yang Baru Usai Masuknya PT Flobamor

Salah satu kebijakan yang signifikan dari PT Flobamor adalah mengambil alih jasa pemandu wisata alam (naturalist guide) atau ranger yang sebelumnya berada di bawah Koperasi Serba Usaha (KSU), milik Balai Taman Nasional Komodo (BTNK), unit kerja yang terhubung langsung dengan KLHK.

Kami mendapat informasi bahwa per 1 Januari, 57 orang ranger yang berasal dari Kampung Komodo dan Papagarang ditempatkan oleh PT Flobamor di Loh Liang, pintu masuk wisatawan ke Pulau Komodo, dan di Pulau Padar bagian utara.

Sebagian besar dari mereka adalah orang-orang baru yang dilatih Tambling Wildlife Nature Conservation [TWNC] pada akhir tahun lalu. Sisanya, 19 orang ranger yang sebelumnya menjadi anggota KSU.  TWNC adalah bagian dari Grup Artha Graha, milik Tomy Winata yang memiliki kedekatan dengan Gubernur Viktor Bungtilu Laiskodat. PT Flobamor melibatkan TWNC ini di TN Komodo.  

Tidak semua ranger di Loh Liang memang mau bergabung dengan PT Flobamor. Mereka yang menolak bergabung memilih bertahan sebagai anggota KSU. Konsekuensinya, mereka dipindahkan ke Loh Buaya di Pulau Rinca, 3 jam dengan kapal motor biasa dari Pulau Komodo.

Perpindahan ini sebetulnya menimbulkan soal baru. Selain bahwa jarak yang lumayan jauh dari Loh Liang, mereka khawatir terjadinya penurunan penghasilan. Pasca kehadiran bangunan elevated deck atau Jurrasic Park dalam sebutan Luhut Binsar Panjaitan, Menteri Koordinator Maritim dan Investasi, destinasi Loh Buaya tidak lagi memiliki jalur trekking. Padahal, selama ini, di Pulau Komodo dan Padar trekking menjadi aktivitas favorit para wisatawan.

Dari beberapa pemandu wisata yang berbicara dengan kami, mereka khawatir bahwa minat wisatawan ke Pulau Rinca akan makin berkurang.

Pasca keterlibatan PT Flobamor, juga terjadi perubahan penerapan karcis masuk. Selama ini, karcis masuk pengunjung ke TN Komodo bernomor seri, mencantumkan dasar hukum dan stempel resmi BTNK, dengan harga lima ribu rupiah sesuai ketentuan PP No. 12 Tahun 2014 tentang Jenis Dan Tarif Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Kementerian Kehutanan [PP 12/2014].

Wisatawan juga mendapatkan karcis lainnya bertuliskan “Kwitansi Jasa Pemandu” seharga 120 ribu rupiah, dilengkapi nomor seri, dasar hukum SK Ketua KSU, dan stempel resmi.

Pasca masuknya PT Flobamor, karcis dari KSU itu diganti dengan karcis berwarna merah bertuliskan “Karcis Masuk Pengunjung Taman Nasional Komodo.” Harganya 120 ribu rupiah dan di dalamnya terdapat logo PT Flobamor dan sebuah logo lain dengan tulisan Komodo.

Sebagai bagian dari penyediaan jasa wisata alam ini, PT Flobamor juga menawarkan wisata minat khusus di atas lahan seluas 712,12 hektar yang menjadi wilayah izinnya. Wilayah konsesi yang tampak dalam Dokumen Perjanjian Kerja Sama Balai TN Komodo dan PT Flobamor tahun 2022 itu mencakup bukan hanya di Zona Pemanfaatan Wisata [berdasarkan SK Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam tahun 2012], melainkan juga di zona-zona lain dalam kawasan TNK yang secara regulasi dimungkinkan untuk aktivitas wisata minat khusus.

Di Loh Sebita, lumbung ikan nelayan Kampung Komodo misalnya, PT Flobamor menguasai 304,42 hektar, dan di Kampung Komodo seluas 88,02 hektar. Lokasi lainnya milik PT Flobamor adalah Loh Liang [87,33 ha], Loh Wau [136,54 ha], Padar Selatan [1,27 ha], Padar Utara [26,31 ha], dan Pink Beach [54,83 ha].

Secara khusus di wilayah Padar Utara, konsesi jasa PT Flobamor tepat berdampingan dengan Izin Usaha Penyediaan Sarana Wisata Alam [IUPSWA] milik PT Komodo Wildlife Ecotourism [KWE] seluas 274,13 hektar yang hingga kini terus diprotes publik.

Sejauh ini, sebetulnya belum diketahui secara pasti seperti apa model wisata minat khusus yang ditawarkan perusahaan ini.

Kontrol Publik

Manajemen baru pengelolaan TNK di bawah PT Flobamor ini, hemat saya, perlu mendapat pengawasan dari publik. Ada beberapa alasan.

Pertama, PT Flobamor hanya mengantongi IUPJWA, bukan IUPSWA. Sebab itu, tidak ada alasan apapun bagi perusahaan ini untuk membangun infrastruktur pada area yang telah menjadi wilayah izinnya.

Kedua, publik juga perlu secara pasti mengetahui apa saja jenis atraksi atau aktivitas wisata minat khusus yang ditawarkan PT Flobamor di lahan izinnya. Informasi ini penting diketahui publik untuk memastikan aktivitas wisata tersebut tidak berbenturan dengan konservasi.

Selain itu, dalam kasus wisata di Loh Sebita, publik perlu mengetahui bagaimana hubungan antara aktivitas wisata di tempat tersebut dengan pemanfaatan area tersebut sebagai wilayah penangkapan ikan dari nelayan Kampung Komodo.

Ketiga, kita perlu memantau kemungkinan terciptanya relasi bisnis antara PT Flobamor dengan perusahaan-perusahaan swasta yang memiliki konsesi untuk pembangunan sarana wisata di dalam kawasan TN Komodo, terutama dengan PT KWE yang konsensinya berdampingan dengan perusahaan tersebut.

Sekali lagi, gagalnya tarif masuk 3,75 juta itu bukan berarti soal yang lahir dengan masuknya PT Flobamor selesai. TN Komodo adalah “piring nasi” bersama bagi banyak komunitas yang bergantung pada pariwisata dan karena itu kepentingan banyak komunitas itu yang mesti diperjuangkan.

Anno Susabun adalah peneliti berbasis di Flores

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di bawah ini.

Baca Artikel Lainnya