Unjuk Rasa di Kementerian ESDM dan PT PLN, Warga Poco Leok Jabodetabek Tolak Proyek Geothermal

Mereka menyatakan aksi ini merupakan bentuk solidaritas terhadap perjuangan sesama warga di kampung halaman mereka di Poco Leok, Manggarai.

 Floresa.co – Perwakilan dari warga di Jakarta dan sekitarnya – Jabodetabek – yang berasal dari daerah Poco Leok di Kabupaten Manggarai, NTT, menggelar aksi unjuk rasa menolak proyek geothermal yang mereka sebut sedang mengancam masa depan kampung halaman mereka.

Aksi pada 8 Maret 2023 ini digelar bersama Serikat Pemuda NTT di depan kantor Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral [EDSM] dan kantor pusat PT Perusahaan Listrik Negara [PLN] di Jakarta.

Dalam sebuah pernyataan yang diperoleh Floresa, mereka menyatakan aksi ini merupakan bentuk solidaritas terhadap perjuangan sesama warga di kampung halaman mereka melawan proyek yang dikerjakan PT PLN ini.

Mereka secara khusus menyinggung upaya baru-baru ini dari warga Poco Leok yang menolak kehadiran Bupati Manggarai Herybertus GL Nabit sebagai bentuk protes atas izin lokasi yang ia keluarkan lewat SK Nomor HK/417/2022 terhadap proyek ini.

“Diaspora Poco Leok Jabodetabek bersama Serikat Pemuda NTT menolak kelanjutan proyek geothermal ini,” kata mereka.

Proyek itu merupakan perluasan dari Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi [PLTP] Ulumbu di Desa Wewo – sekitar tiga kilometer arah barat Poco Leok – yang sudah beroperasi sejak 2012.

Perluasan proyek yang menargetkan penambahan energi listrik 40 Megawatt ini, juga proyek serupa lainnya di wilayah Flores, dilakukan menyusul penetapan Flores sebagai pulau geothermal lewat SK Menteri ESDM Nomor: 2268 K/30/MEM/2017.

Karena itu, dalam aksi ini, mereka mendesak Kementerian ESDM mencabut SK itu dan “mengeluarkan keputusan penghentian total pembangunan geothermal di Poco Leok dan seluruh daratan Flores.”

Sementara di kantor PT PLN, mereka meminta perusahan negara itu meninjau lagi proyek itu dengan menimbang penolakan dari warga.

Mereka juga meminta PLN mengkaji kembali kebutuhan listrik dasar wilayah Flores, khususnya Mangggarai, terkait apakah benar kapasitas listrik dari PLTP Ulumbu saat ini belum cukup.

Jika memang kapasitas listrik itu sudah cukup, kata mereka, upaya ekspansi ke Poco Leok “menjadi kontraproduktif dan karenanya perlu dihentikan.”

Engelbertus Wahyudi, salah satu pengunjuk rasa  menyebut upaya wargaPoco Leok menentang proyek ini mesti diperhatikan secara serius karena menyangkut “keberlangsungan hidup dan alam” mereka.

Sementara Erik Rayadi yang langsung datang dari Poco Leok ke Jakarta menjelaskan, penolakan warga adalah kesepakatan kolektif yang tidak muncul sekejap, tetapi lahir dari kesadaran akan risiko tinggi kehadiran proyek itu terhadap 12 kampung adat yang menjadi bagian dari wilayah Poco Leok.

Ia mengatakan, beberapa warga Poco Leok juga telah melakukan studi ke wilayah gagal proyek geothermal di Mataloko, Kabupaten Ngada.

“Di Mataloko kita disajikan kehancuran akibat geothermal,” jelas Erik, menyinggung bekas pengeboran yang ditinggalkan dan kini terus mengeluarkan asap serta merusak lahan pertanian warga.

Sementara itu, Saverius Jena, Ketua Umum Serikat Pemuda NTT mengatakan, mereka akan terus mengkawal proyek geothermal di Poco Leok dan Flores secara umum.

Ia menekankan bahwa proyek itu bakal memisahkan masyarakat Poco Leok dari tanah mereka dan mengingatkan bahwa penolakan warga berdiri di atas konsep penting bagi masyarakat adat Manggarai, yakni gendang one, lingko peang, yang menekankan kesatuan tidak terpisahkan antara kehidupan di kampung dan tanah.

Ia juga menyebut rentannya proyek ini bagi keselamatan warga, mengingat topografi Poco Leok sebagai wilayah pegunungan dan rentan dengan bencana seperti longsor.

Save merujuk pada hasil kajian asesmen risiko oleh Risk Consulting Group Jakarta pada 2019, yang merekomendasikan agar proyek ini dihentikan.

Suara Protes Warga

Unjuk rasa ini berlangsung lebih dari sepekan setelah warga di Desa Lungar, salah satu dari tiga desa di wilayah Poco Leok melakukan aksi penolakan kunjungan Bupati Nabit pada 28 Februari.

Dalam aksi yang videonya viral itu, yang melibatkan kaum perempuan dan anak-anak, mereka berusaha menghadapi bupati itu yang hendak menggelar diskusi dengan warga tentang proyek tersebut.

Mereka mengecam Nabit, yang menurut mereka mengeluarkan izin lokasi, mengabaikan sikap penolakan mereka terhadap proyek itu.

Menyusul ramainya pemberitaan terkait penolakan terhadapnya, Nabit mengatakan dalam sebuah video bahwa yang terjadi pada hari itu “bukanlah penolakan terhadap kehadiran bupati Manggarai, tetapi penolakan terhadap proses perluasan eksplorasi proyek geothermal Ulumbu.”

“Kehadiran kami adalah untuk mendengar semuanya, menyerap semuanya, sehingga kami bisa menjembatani aspirasi yang ada untuk disampaikan kepada pemerintah provinsi, pemerintah pusat dan pihak PT PLN,” katanya dalam video yang diunggah di Facebooknya.

Dalam video itu, ia mengatakan menghargai aspirasi warga dan menyebut respons mereka sebagai “ekspresi dari masyarakat Manggarai yang perlu didengar.”

Sementara itu, Perhimpunan Mahasiswa Katolik Indonesia [PMKRI], organisasi yang selama ini ikut mengadvokasi perjuangan masyarakat adat Poco Leok.

mempertanyakan urgensi kunjungan Bupati Nabit setelah menerbitkan SK penetapan lokasi proyek itu.

Jika menjalankan perannya sebagai bupati, kata Laurensius Lasa, Ketua Presidium PMKRI Cabang Ruteng, kunjungan itu mestinya dilakukan sebelum dia menerbitkan SK penetapan lokasi tersebut.

“Ketika dia baru datang setelah menerbitkan SK yang mendukung PT PLN, berarti dia hadir sebagai juru bicara PLN. Makanya, dia ditolak,” kata Loin, sapaannya.

Penolakan itu, jelas dia, “merupakan bentuk ekspresi masyarakat terhadap perilaku bupati yang tidak pro rakyat.”

spot_img

Artikel Terkini