BerandaREPORTASEMENDALAMDakwaan Pencemaran Nama Baik...

Dakwaan Pencemaran Nama Baik Luhut Pandjaitan oleh Aktivis Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti, Kabar Buruk Bagi Demokrasi dan Kebebasan Sipil

Bagi masyarakat sipil, tindakan Fatia dan Haris merupakan bagian dari upaya mengontrol kerja pemerintah dan pejabat publik agar tidak terjadi absolutisme kekuasaan.

Floresa.co – Proses hukum terhadap dua aktivis hak asasi manusia, Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti, yang didakwa melakukan pencemaran nama baik terhadap Luhut Binsar Pandjaitan, menurut sejumlah organisasi advokasi, adalah “kabar buruk bagi demokrasi dan situasi kebebasan sipil di Indonesia.”

“Kasus ini juga hanya satu dari sekian banyak serangan yang ditujukan kepada aktivis, jurnalis, pembela HAM, perempuan pembela HAM, mahasiswa dan elemen masyarakat sipil secara umum,” demikian menurut Koalisi Masyarakat Sipil, gabungan dari 55 organisasi, dalam sebuah pernyataan.

Haris, pendiri Lokataru dan Fatia, Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan [KontraS] menjalani sidang perdana di Pengadilan Negeri Jakarta Timur pada Senin, 3 April. Mereka didakwa melakukan pencemaran nama baik terhadap Luhut, Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi [Menko Marives], yang dikenal sangat dekat dengan Presiden Joko Widodo.

Kasus ini bermula saat Haris dan Fatia menyinggung keterlibatan Luhut dan beberapa jendral purnawirawan TNI Angkatan Darat dalam bisnis tambang di Papua, khususnya dalam rencana izin tambang di Blok Wabu, Intan Jaya, yang terus mendapat penolakan dari warga Papua.

Keduanya membahas hal itu dalam sebuah podcat yang mengulas laporan kajian Koalisi Bersihkan Indonesia berjudul “Ekonomi Politik Penempatan Militer di Papua – Kasus Intan Jaya.” Podcast itu dipublikasi di kanal YouTube Haris Azhar “NgeHAMtam” pada 20 Agustus 2021. Luhut menolak temuan kajian itu, menilainya sebagai bentuk pencemaran nama baik, hingga mensomasi, lalu menggugat Haris dan Fatia.

Menurut Jodi Mahardi, juru bicara Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi, seperti dilansir Tempo.co, unggahan video Haris Azhar telah membentuk opini atau pernyataan yang tidak benar, tendensius, pembunuhan karakter, fitnah, penghinaan atau pencemaran nama baik.

Dalam dakwaan jaksa yang dibacakan saat sidang pada 3 April, Haris dan Fatia dinyatakan melanggar UU Informasi dan Transaksi Elektronik [ITE] dan KUHP, khususnya terkait pasal tentang pencemaran nama baik dan penyebaran berita bohong.

Dakwaan itu dikritik Koalisi Masyarakat Sipil, karena menyebut apa yang dilakukan Haris dan Fatia merupakan “ekspresi warga negara yang sifatnya sah dan konstitusional sehingga tidak dapat dikenakan tindak pindana, terlebih sampai pada proses di pengadilan.”

“Aktivitas yang dilakukan oleh Fatia dan Haris merupakan bagian dari upaya masyarakat sipil dalam mengontrol kerja pemerintah dan pejabat publik agar tidak terjadi absolutisme kekuasaan,” kata koalisi, dan menyebut dakwaan itu adalah bentuk kriminalisasi.

Koalisi juga menyebut konstruksi dalam surat dakwaan, khususnya pasal yang berkaitan dengan delik pencemaran nama baik, “terlihat sekali sebagai bentuk pembungkaman terhadap kebebasan berpendapat.”

“Terlebih pasal lainnya yang dijeratkan kepada Fatia dan Haris adalah penyebaran berita bohong yang mana seringkali digunakan oleh aparat penegak hukum dalam membungkam kritik publik,” kata koalisi.

Koalisi juga menyatakan, penggunaan UU ITE juga menunjukan lemahnya komitmen pemerintah dalam mengimplementasi pedoman implementasi undang-undang kontroversial itu, terutama pada poin yang menyebutkan bahwa undang-undang itu “tidak dapat dikenakan pada bentuk penilaian, pendapat, hasil evaluasi atau sebuah kenyataan.”

“Sayangnya, pendapat yang berbasis pada sebuah kajian/riset terhadap suatu kebijakan penting di Papua dengan melibatkan skandal konflik kepentingan pejabat publik justru dipidanakan,” kata koalisi.

Muhammad Isnur, kuasa hukum Fatia dan Haris juga menyebut kasus ini “begitu kental dengan muatan politik,” terkait posisi Luhut sebagai Menko Marives.

“Luhut pun terkenal memiliki pengaruh yang sangat besar di pemerintahan, sehingga ia diduga mudah untuk mengontrol proses penegakan hukum terhadap Fatia dan Haris,” ujarnya.

Isnur juga mengkritik dakwaan jaksa yang terbatas pada ucapan Fatia dan Haris, “padahal jauh dari pada itu, video podcast yang diunggah merupakan bahasan yang mendalam berkaitan dengan riset koalisi masyarakat sipil.”

“Hal ini sekaligus menandakan bahwa jaksa enggan untuk menyentuh pada aspek yang lebih substansial dengan mempertimbangkan riset ekonomi-politik penempatan militer di Papua,” katanya.

Mempertanyakan Nama Baik Luhut

Sementara itu, dalam sebuah pernyataan yang diperoleh Floresa, Darmawan Triwibowo, Direktur Eksekutif Yayasan Kurawal, lembaga yang memberi perhatian pada penguatan demokrasi memberi catatan bahwa sebetulnya tidak ada nama baik untuk Luhut, hal yang menjadi subyek perkara ini.

Karena itu, kata dia, kasus ini tidak mempunyai basis yang memadai untuk ditindaklanjuti.

Klaim Darmawan bahwa tidak ada nama baik untuk Luhut merujuk pada data tentang purnawirawan TNI itu dalam tiga laporan internasional sejak 2016. Laporan yang mengungkap harta tersembunyi, penggelapan pajak, transaksi rahasia, serta kasus pencucian uang yang melibatkan orang terkaya dan berkuasa di dunia itu dimuat dalam Panama Papers (2016), The Hidden Buyers (2019) dan Pandora Papers (2021).

”Dalam konteks tersebut, nama baik Menko Marinves Luhut Binsar Pandjaitan adalah sebuah ilusi yang menyesatkan,” kata Darmawan.

Dalam Panama Papers, sebagaimana dijelasakan Yayasan Kurawal, Luhut ditengarai menduduki posisi sebagai Direktur Mayfair International Ltd, perusahaan cangkang di Republik Seychelles, negara suaka pajak di Afrika, yang dimiliki oleh dua perusahaan, PT Persada Inti Energi dan PT Buana Inti Energi. Dua perusahaan itu, secara langsung ataupun tidak, terkoneksi dengan Luhut melalui PT Toba Bara Sejahtra Tbk.

Di Pandora Papers, Luhut disebut diindikasikan memainkan peran serupa melalui perusahaan bernama Petrocapital SA, yang terdaftar di Republik Panama.

“Di perusahaan itu, nama Luhut ditunjuk menjadi Presiden Direktur dalam rapat yang digelar pada 19 Maret 2007,” kata Kurawal.

Kurawal juga mengutip laporan Global Witness dalam “The Hidden Buyers” yang menyoroti tidak transparannya transaksi penjualan 61,79% saham Toba Bara Sejahtera pada 9 November 2016 kepada perusahaan Singapura, Highland Strategic Holdings yang dimiliki perusahaan pengelola aset Watiga Trust Pte.

“Kerahasiaan yang melingkupi transaksi itu mengaburkan nama pemilik akhir dari saham yang dijualbelikan. Nilai transaksi yang diperkirakan mencapai US $ 71,8 juta itu, berikut informasi jumlah uang yang diterima Luhut sebagai investor pengendali, pun tidak pernah diungkapkan kepada publik,” kata Kurawal.

Nama Luhut, demikian Kurawal, juga disebut di dalam laporan “Coalruption – Elit Politik dalam Pusaran Bisnis Batubara” yang dirilis Koalisi Bersihkan Indonesia pada tahun 2018.

“Laporan tersebut menengarai keterlibatan Luhut dalam kelindan konflik kepentingan, perdagangan pengaruh serta korupsi politik terkait perizinan dan pengelolaan tambang batu bara di Kalimantan Timur,” kata Kurawal.

Dalam menyatukan bisnis dan politik di sektor batu bara, Luhut, kata Kurawal, menggunakan struktur lama oligarki politik, yakni istana kepresidenan, militer, dan partai politik, terutama Partai Golkar.

“Dia juga menggunakan lanskap baru yaitu desentralisasi, bekerja sama dengan elit dan penguasa lokal.”

Jejak Luhut dalam segala sengkarut konflik kepentingan, korupsi politik, penghindaran pajak, pencucian uang dan penyembunyian aset ini, kesimpulan Kurawal, membuat ‘nama baik’ Luhut sebagai sesuatu yang layak dipertanyakan dan “dakwaan pencemaran nama baik yang ditujukan kepada Fatia dan Haris menjadi tidak relevan dan gugur dengan sendirinya.”

“Sebab, Kurawal berpendapat, tidak ada lagi nama baik Luhut Binsar Pandjaitan yang tersisa untuk dicemarkan,” demikian menurut lembaga tersebut.

Darmawan juga mendesak Presiden Joko Widodo untuk memberhentikan Luhut dari posisinya sebagai Menko Marves “sebelum kredibilitas pemerintah dan kepercayaan publik makin tergerus oleh rekam jejak, tindakan, serta ucapannya.”

“Sudah waktunya #LuhutOut,” katanya.

Dukungan untuk Haris dan Fatia

Di tengah proses pidana kasus ini, sejumlah elemen terus berupaya menyatakan dukungan untuk Haris dan Fatia.

Saat sidang pada 3 April, organisasi masyarakat sipil, akademisi, buruh dan mahasiswa menggelar aksi solidaritas di depan Pengadilan Negeri Jakarta Timur dan selasar ruang sidang.

Dimas Arya, koordinator aksi, mengatakan mereka hendak menunjukkan kepada publik dan menyampaikan kepada pengadilan bahwa pemidanaan terhadap Haris dan Fatia oleh seorang pejabat publik merupakan gejala sebuah negara yang otoriter.

“[Ini] adalah bentuk kritik terhadap kesewenangan negara yang masih acap kali abai terhadap hak-hak berpendapat warganya terutama ketika menyampaikan kritik perbaikan untuk situasi Papua,” katanya.

Aksi ini, kata dia, juga “sebagai bentuk dukungan kepada seluruh korban kekerasan dan kriminalisasi yang sampai saat ini masih terus direpresi dengan ancaman hukum.”

Sidang kasus ini akan dilanjutkan pada 17 April, dengan agenda eksepsi dari Haris dan Fatia atas dakwaan jaksa.

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di bawah ini.

Baca Juga