Jejak Kolonial dalam Baku Rebut Pengetahuan tentang Fosil Manusia Liang Bua, Flores

Para ilmuwan Indonesia dan internasional berebutan untuk menguasai spesimen fosil manusia di Gua Liang Bua, Flores dengan kesimpulan yang bertolak belakang tentang status fosil ini dalam sejarah evolusi manusia. Melampaui perdebatan soal temuan siapa yang lebih tepat, Paige Madison dalam artikelnya yang terbit awal tahun ini menelusuri jejak kolonial dalam polemik tersebut.

Judul kajian: Tug-of-War: Bones and Stones as Scientific Objects in Postcolonial Indonesia; Penulis: Paige Madison; Jumlah halaman: 21; Tahun terbit: 2023; Penerbit: University of Chicago Press, Journal History of Science Society Vol.114/Issue 1.


Sebuah peristiwa menghebohkan terjadi di Jakarta pada awal November 2004, beberapa hari setelah ilmuwan Australia yang melakukan penelitian di Liang Bua, Flores mengumumkan kesimpulan yang menggemparkan dunia sains.

Kehebohan itu dipicu oleh aksi Profesor Teuku Jacob, pakar paleoantropologi dari Universitas Gadjah Mada. Dia membawa pergi fosil manusia Liang Bua yang disimpan di laboratorium Pusat penelitian Arkeologi Nasional di Jakarta, mengangkutnya dalam perjalanan dengan bis ke Yogyakarta.

Beberapa hari sebelumnya, peneliti Australia mengumumkan bahwa fosil yang mereka temukan di Liang Bua itu adalah sebuah spesies manusia purba yang berbeda dengan manusia modern, Homo sapiens

Spesies baru itu mereka beri nama Homo floresiensis, yang juga disebut Hobbit, karena ukuran tubuhnya yang kecil. Mereka juga mengundang para peneliti internasional lain untuk datang ke Jakarta, tempat di mana fosil itu disimpan, untuk melakukan penelitian lebih lanjut. 

Tiba di Universitas Gadjah Mada, tempatnya mengajar dan mengelola sebuah pusat penelitian fosil, Profesor Jacob membuat konferensi pers.

Dia menegaskan bahwa fosisl itu adalah Homo sapiens, bukan spesies tersendiri seperti diklaim oleh peneliti Australia. Fosil itu, kata dia, hanyalah “manusia modern yang disalahtafsirkan,” bahkan memperkirakan bahwa itu adalah tengkorak manusia yang hidup 7.000 tahun lalu.

Pernyataan itu membantah klaim ilmuwan Australia yang menyimpulkan bahwa fosil itu merupakan sesuatu yang sama sekali baru, hidup antara 38.000-18.000 tahun lalu dan menunjukkan hubungan yang lebih dekat dengan nenek moyang yang pernah hidup di Afrika jutaan tahun yang lalu, meski terpisah jauh dalam ruang dan waktu.

Peristiwa pengambilan spesimen fosil itu, serta klaim Profesor Jacob, begitu cepat menyebar ke berbagai penjuru dunia. Jacob  dituduh, diserang dan dianggap melakukan “pencurian” fosil. Tindakannya dicap sebagai “tragedi yang memuakkan bagi sains.” 

Di sisi lain, Jacob merespons dengan menuding pengecamnya telah menyebarkan informasi yang keliru, menganggap mereka sebagai orang-orang yang “arogan.”

Oleh pers, perdebatan itu kemudian disebut-sebut sebagai “baku rebut fosil manusia purba.”

Kejadian hampir dua dekade lalu itu menarik perhatian Paige Madison, seorang peneliti tamu di North Carolina University, Amerika Serikat. Ia secara khusus mengupas kontroversi ini dalam artikel Tug-of-War: Bones and Stones as Scientific Objects in Postcolonial Indonesia (Baku Rebut: Tulang dan Batu sebagai Objek Saintifik di Indonesia Pascakolonial). 

Dalam artikel yang terbit pada Februari 2023 itu dia menyoroti baik peristiwa perebutan fosil manusia Liang Bua maupun klaim kebenaran tentang statusnya dalam sejarah evolusi.

Melampaui perdebatan tentang klaim siapa yang benar di antara para ilmuwan itu, ia berusaha meletakkannya dalam konteks Indonesia pascakolonial dan bagaimana pengaruhnya pada dunia penelitian, terutama kajian arkeologi dan paleoantropologi.

Bagaimana Ini Semua Bermula?

Fosil yang diambil Jacob dari Jakarta itu adalah hasil penggalian yang dilakukan pada 2003 di Gua Liang Bua oleh Mike J. Morwood, arkeolog Australia yang bekerja sama dengan Pusat Penelitian Arkeologi Nasional di Jakarta –  yang dipimpin oleh arkeolog senior Raden Pandji Soejono. Dana untuk penelitian dari pihak peneliti Australia.

Anggota tim yang melakukan pengalian di Liang Bua pada 2003. Berdiri dari kiri ke kanan: Jatmiko, Wahyu Saptomo, duduk: Thomas Sutikna, Raden Pandji Soejono dan Michael Morwood. (Dokumen Tim Liang Bua)

Itu bukanlah keterlibatan pertama Soejono dalam penggalian di Liang Bua. Bersama Jacob, mereka telah terlibat dalam penelitian di lokasi itu sejak 1970, melanjutkan upaya yang dimulai oleh Pastor Theodor Verhoeven SVD, imam Katolik asal Belanda pada tahun 1950-an. Sayangnya penelitian mereka terhenti sejak krisis ekonomi 1997 karena keterbatasan dana.

Sebagaimana dijelaskan Madison, Soejono dan Jacob adalah dua ilmuwan Indonesia pascakolonial yang berusaha melepaskan diri dari bayang-bayang kolonial. Dalam konteks riset adalah melawan superioritas peneliti asing.

Karena itu, saat penggalian di Liang Bua bersama Marwood, Soejono sebetulnya tidak terlalu bersemangat karena itu berarti orang asing lagi yang memegang kendali.

Apalagi ketika kemudian Peter Brown, ahli paleoantropologi dari The University of New England, Australia yang dilibatkan untuk menganalisis hasil penggalian, alih-alih Jacob, yang selain rekannya, adalah juga representasi peneliti Indonesia. 

Tentang keterlibatan Brown, Madison menulis, Soejono “tidak senang karena ada orang asing lain yang datang untuk mengambil alih analisis.”

Karena itulah, tanpa persetujuan Marwood, setelah publikasi analisis awal bahwa hasil penggalian yang mereka temukan adalah Homo floresiensis, Soejono dan Jacob diam-diam mengatur agar fosil-fosil itu dipindahkan ke laboratorium yang dikelola Jacob di Universitas Gadjah Mada.

Madison mencatat bahwa meskipun Brown dan Morwood tidak berusaha untuk memindahkan fosil dari Liang Bua ke Australia, tetapi mengundang orang asing lainnya ke Jakarta untuk melakukan analisis “merupakan pengingat yang jelas bagi Soejono dan Jacob akan sejarah keahlian yang hanya dimiliki oleh orang asing.”

Bagi Jacob, fakta bahwa penelitian itu didanai asing tidak serta membuat mereka menjadi pengendali urusan dalam negeri Indonesia. Hal ini juga diamini Soejono yang yang mengeluh bahwa tim Morwood mendominasi analisis, termasuk mengumumkan hasil penemuan tersebut tanpa kehadiran peneliti Indonesia. Arkeolog lain, tulis Madison, menyebut hal ini memberi kesan bahwa “peneliti Indonesia hanyalah asisten,” padahal mereka telah melakukan penggalian di Liang Bua selama puluhan tahun.

Warisan Kolonial yang Mempengaruhi Perdebatan

Dalam artikel ini, Madison menghindari untuk menilai posisi siapa yang benar dan salah dalam menganalisis manusia purba Liang Bua itu. Ia lebih memilih mengelaborasi konteksnya dalam sejarah Indonesia pascakolonial.

Baginya, jelas bahwa langkah Jacob membawa fosil itu atas bantuan Soejono, berangkat dari latar itu. Jacob berada dalam posisi berjuang untuk mendapatkan pengakuan atas penelitiannya di Flores. Soejono juga memperjuangkan pengakuan atas pekerjaan sebelumnya di Liang Bua. 

Karena itu, ketika para ilmuwan asing membuat pernyataan publik yang mengklaik penemuan mereka pada 2003 itu sebagai sesuatu yang tak terduga dan mengejutkan, tulis Madison, “Jacob dan Soejono menjadi semakin frustrasi dengan apa yang mereka anggap sebagai arogansi dan kecenderungan kolonial.”

Klaim demikian mengabaikan upaya yang telah lama dilakukan Jacob dan Soejono yang sejak 1970-an dan 1980-an telah merintis laboratorium masing-masing: Soejono di Jakarta dengan fokus pada penelitian terhadap artefak arkeologi, Jacob di Yogyakarta untuk fosil-fosil.

Dan, salah satu yang mereka teliti adalah hasil penggalian dari Liang Bua, yang mereka sebut sebagai sebuah proyek Indonesia, “dengan benda-benda yang tertanam di tanah Indonesia, yang digali oleh penggali Indonesia.”

Gua Liang Bua di Kabupaten Manggarai, Flores. (Dokumen Pusat Arkeologi Nasional)

Situasi Pascakolonial

Meski amat menghargai konteks pascakolonial dalam melihat posisi Jacob dan Soejono, Madison juga memberi catatan penting bahwa misi peneliti Indonesia untuk melepaskan diri dari bayang-bayang kolonial memang tidak mudah.

Salah satu pemicunya adalah karena penjajah, terutama Belanda, tidak berbuat banyak untuk membantu perkembangan ilmu pengetahuan di Indonesia. Belanda “hanya melakukan sedikit usaha untuk mengintegrasikan masyarakat setempat ke dalam ilmu pengetahuan atau pendidikan yang mendorong mereka terus bertumbuh.”

Di sisi lain, tulis Madison, karena berbagai keterbatasan dan fokus yang diarahkan pada pembangunan lain bagi Indonesia yang baru merdeka, ditambah dengan kemerosotan ekonomi, kemiskinan dan kelaparan, dukungan bagi dunia penelitian masih sangat terbatas.

“Hanya dua bulan setelah penggalian pertama di Liang Bua selesai, ketegangan nasional memuncak menjadi kekerasan, dan Indonesia memasuki periode yang para akademisi sebut sebagai ‘hari-hari tergelap,’” tulis Madison.

Ia juga menambahkan bahwa tahun 1989 merupakan tahun terakhir tim di Gua Liang Bua karena kekurangan dana. Laporan akhir memang diketik rapi, daftar spesimen disusun, dan catatan-catatan disandingkan dengan laporan-laporan dari tahun-tahun Soejono sebelumnya, namun laporan itu hanya “disimpan secara internal di pusat penelitian, tidak dipublikasikan.” 

Ini menunjukkan bahwa meskipun Liang Bua adalah contoh penting sebuah proses peralihan dari peneliti asing ke pribumi, hal yang diperjuangkan Jacob dan Soejono, namun karena dukungan yang tidak memadai, mereka tidak bisa berbuat maksimal, termasuk tidak ada publikasi resmi yang dihasilkan dari penelitian mereka, baik di jurnal lokal maupun internasional.

Mengkritisi Penilaian Barat

Dengan lensa yang memberi tempat penting terkait konteks pascakolonial dan konflik lintas budaya, Madison juga memberi catatan tentang cara para ilmuwan Barat menilai orang seperti Jacob.

Salah satu yang disinggungnya adalah tudingan Barat bahwa Jacob merupakan penimbun fosil yang membatasi akses bagi peneliti internasional di laboratorium yang dikelolanya. Ia dicap “penjaga kunci kerajaan fosil”. 

Madison menegaskan pentingnya melihat soal ini dengan konteks pascakolonial. Ia mengatakan, Jacob pada prinsipnya berpegangan bahwa tujuannya adalah memprioritaskan pemberian akses kepada para peneliti Indonesia dan Asia Tenggara yang sebelumnya cenderung disingkirkan. 

Ia menyinggung pernyataan Jacob bahwa untuk mempelajari fosil yang dimilikinya, ilmuwan setidaknya harus “tertarik pada negara yang masih muda ini dan berusaha mengembangkan ilmunya”, serta memberikan kontribusi yang berarti.

Hal ini membuat, berbeda dengan penilaian di Barat, tulis Madison, di Indonesia, Jacob justru dipandang “menyelamatkan” fosil dari orang asing dan mengangkat generasi peneliti muda pribumi. 

Di sisi lain, Madison juga menyoroti klaim soal Homo floresiensis dari Marwood dan Brown. Dengan kesimpulan baru dari peneliti Australia yang menyebut Homo floresiensis itu hidup sekitar 38.000-18.000, tulis Madison, itu berarti “mengubah cerita inti tentang evolusi manusia” dan “buku-buku sejarah harus ditulis ulang.” 

Ini memberi kesan bahwa ia mempertanyakan hasil analisis mereka terhadap fosil-fosil itu.

Melihat ke Depan 

Artikel Madison ini perlu dibaca secara luas di Indonesia, bukan hanya di kalangan ilmuwan tetapi juga pemerintah dan masyarakat umum, termasuk di Flores. 

Bagi kalangan akademisi atau ilmuwan, kajian Madison ini memberikan lensa baru untuk melihat kompleksitas di balik perdebatan pengetahuan, yang juga ikut dipengaruhi oleh konteks lintas budaya.

Artikel ini juga menjadi ajakan bagi para ilmuwan atau akademisi Indonesia lainnya untuk meneliti lebih lanjut Gua Liang Bua, yang sebagaimana dikatakan Verhoeven pada lima dekade lalu bahwa  itu merupakan “sebuah tempat yang terlampau penting” untuk diabaikan. 

Bagi pemerintah, baik di pusat maupun di daerah, penting sekali untuk mendorong dan mendukung penelitian-penelitian di Liang Bua, agar tidak hanya dikuasai oleh peneliti asing. Adalah sangat ironis bahwa hingga saat ini Kabupaten Manggarai ataupun Provinsi NTT tidak menyiapkan tenaga ahli khusus yang mendalami arkeologi Liang Bua.

Ada kecenderungan bahwa situs Liang Bua hanya sekadar dijadikan obyek wisata, tanpa usaha untuk menggali dan memahami ilmu pengetahuan terkait dengan situs ini. 

Artikel ini dapat menjadi pintu masuk untuk memahami kekayaan ilmu pengetahuan itu, sekaligus juga untuk memahami bahwa ilmu pengetahuan tidak pernah terlepas dari pertarungan kekuasaan global sejak zaman kolonial hingga saat ini. 

Tanpa memperkuat diri di bidang ilmu pengetahuan, kita terancam sekadar menjadi konsumen dari produksi pengetahuan yang dikuasai pihak lain dan menjadi penonton dari kehebatan-kehebatan yang tercipta dengan posisi kepakaran yang dihasilkan di situs-situs penting di rumah kita sendiri. 

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kami bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di bawah ini.