PerspektifEditorialKematian Wati dan Pemkab Matim

Kematian Wati dan Pemkab Matim

Floresa.co – Berita tentang Marselina Kurniawati (15), gadis asal Golo Labang, Desa Watu Lanur, Manggarai Timur (Matim), yang meninggal akibat tumor di alat kelaminnya, menoreh duka yang mendalam.

Ucapan turut berduka bermunculan di media sosial sembari menyayangkan janji palsu Pemkab Matim yang disampaikan sebulan sebelum ajal menjemput Wati – sapaan gadis itu.

Sekarang, kita tidak hanya meratapi kepergian Wati. Kita selayaknya meratapi sikap Pemkab Matim itu.

BACA: Kisah Getir Marselina Kurniawati dan Janji Palsu Pemkab Matim

Sebab, kasus itu  secara gamblang mempertontonkan integritas rendah Pemkab yang bertindak tidak sesuai dengan standar moral.

Saat Wati sedang dalam keadaan kritis dan dirujuk ke Rumah Sakit Sanglah di Denpasar, Bali pada Juli lalu, Bupati Matim Yoseph Tote sudah berjanji akan membantu biaya pengobatan Wati.

Namun, hingga Wati pergi untuk selamanya, ia tidak sempat merasakan adanya bantuan pemerintah.

Sekda Matim Mateus Ola Beda, kemudian membela diri dalam kasus ini.

BACA: Pemda Matim Bantah Beri Harapan Palsu untuk Keluarga Marselina Kurniawati

Ia mengatakan, bukannya memberi janji palsu, tetapi proposal permohonan bantuan yang diajukan keluarga Wati sedang diproses.

Argumentasi demikian, jamak terdengar dari mulut para pejabat, dimana-mana. Itu bukan alasan baru.

Pertanyaan untuk mengkritisi jawaban demikian sangatlah sederhana; Tidakkah pihak Pemkab memperhitungkan kondisi Wati? Mengapa harus berbelit-belit, sementara kondisi gadis itu sudah kritis? Bupati Tote sendiri juga sudah mengetahui kondisi Wati, tidakkah ia merasa perlu mengintervensi agar urusan birokrasi diperpendek, sehingga Wati cepat dibantu?

Siapa yang sebenarnya lebih penting: nyawa Wati ataukah mengikuti secara rigid prosedur?

Dalam situasi seperti itu, kita membutuhkan pelayan-pelayan masyarakat yang mampu bertindak bijak.

Mengambil inisiatif mempercepat prosedur, dengan pertimbangan kemanusiaan, tentu langkah yang diharapkan.

Alasan bahwa bila mengambil langkah extra ordinary, maka pemerintah menyalahi prosedur, tentu gugur di hadapan pertimbangan kemanusian.

BACA: Pemkab Matim Harus Belajar dari Kasus Wati

Kasus Wati, mirip dengan seseorang yang kecelakaan di jalan, tetapi harus menunggu kelengkapan administrasi baru boleh mendapat pengobatan. Hingga ajal menjemput, urusan tetek bengek semacam itu belum juga selesai. Dan si korban pun meninggal.

Hal demikian mengerikan. Kita tenttu berharap, cukup kali ini saja nyawa rakyat ditelantarkan, hanya karena alasan prosedur.

Pejabat pemerintah tentu bukan robot, tetapi makhluk yang berakal, dan lebih lagi, bernurani.

DUKUNG KAMI

Terima kasih telah membaca artikel kami.

Floresa adalah media independen. Setiap laporan kami lahir dari kerja keras rekan-rekan reporter dan editor yang terus berupaya merawat komitmen agar jurnalisme melayani kepentingan publik.

Kami menggalang dukungan publik, bagian dari cara untuk terus bertahan dan menjaga independensi.

Cara salurkan bantuan bisa dicek pada tautan ini: https://floresa.co/dukung-kami

Terima kasih untuk kawan-kawan yang telah mendukung kami.

Gabung juga di Grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini atau di Channel WhatsApp dengan klik di sini.

BACA JUGA

spot_img

TERKINI

BANYAK DIBACA