Mana Ada Politik Beretika?

Oleh: A. EDDY KRISTIYANTO OFM, Dosen Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta

Ketika dilantik setiap pejabat publik disumpah. Pejabat itu berdiri tegak, tangan diletakkan di atas kitab suci (atau kitab suci didekatkan pada kepalanya), suara lantang, dan dengan kesadaran penuh. Semua apik, formal, dan nadanya “suci”. Sebab tersurat jabatan yang diemban itu untuk memimpin, melayani, mengarahkan, mengelola tanggungjawab dengan menjalankan tugas yang jelas.

Kiranya bukan sebuah pesimisme tanpa dasar, jika ada orang beranggapan: “Di Indonesia ini, sesering upacara sertijab pejabat publik dilaksanakan, sesering itu pula pelanggaran akan sumpah jabatan terjadi.” Lalu, kayaknya pelaku pelanggaran itu hampir identik dengan pejabat publik. Pelanggaran itu dapat dalam bentuk korupsi, penyalahgunaan wewenang, gratifikasi, dan lain sebagainya. Tentu saja, pesimisme itu suatu generalisasi dan tidak seimbang. Sebab kesannya, semua pejabat publik seperti tikus. Padahal tidak demikian halnya.

Tidak sedikit bahkan pengusaha (yang bukan pejabat publik) main mata dengan aparat pemerintah untuk menggolkan proyek. Di banyak lokasi, semua profesi dan fungsionaris (mis. dosen, guru, (maha)siswa, pedagang, orang tua, sopir, ustad, pendeta, imam) tidak luput dari ancaman pelanggaran terhadap etika profesi. Etika Politik konon merupakan bidang yang khas manusia, meskipun Allah –dalam tafsiran saya– juga berpolitik (Eddy Kristiyanto: Sakramen Politik, 2007: 100).

Sebab itu manusia disebut oleh Aristoteles sebagai zoon politikon. Artinya, makhluk yang bersosialitas, yang hidup bermasyarakat dan bersama sesama nya. Agar bukan hanya yang kuat dan hebat yang berkuasa dan menentukan segalanya, maka segala sesuatunya perlu diatur dan disepakati bersama.

Aturan dan kesepakatan bersama itu memastikan rambu­rambu agar hak dan kewajiban setiap pribadi dihormati dan tidak dilanggar. Kesepakatan itu memfasilitasi semua (tanpa kecuali) untuk mencapai tujuan bersama. Rumusan tujuan bersama itu berbeda­beda: keadilan, kemerdekaan, perdamaian, kesejahteraan umum, keamanan, kesetaraan, ketenteraman, kebahagiaan, dan lain sebagainya. Semua rambu itu dibuat dan disepakati bukan untuk dilanggar, melainkan untuk dijunjung tinggi.

Etikawan bukan pertama-­tama soal orang yang mengotak-­atik secara filosofis atau agamawi substansi dan asas etika berikut pola peri laku yang mengangkat keluhuran martabat manusia, melainkan pribadi-­pribadi yang mempraktikkan kesadaran moral yang teruji dan terbukti bagi kebermaanfaatan yang merata. Kesadaran moral yang demikian itu dekat dengan ungkapan pemikiran Lawrence Kohlberg, yang mempromosikan tahap dan perkembangan moral pribadi manusia (lihat The Meaning and Measurement of Moral Development, 1979).

Kesadaran moral yang terpatrikan pada suara hati yang diikuti secara ketat menyingkapkan kedalaman diri pribadi. Secara negatif dirumuskan begini: pribadi yang pola perilaku dan tindakannya bertentangan dengan (tingkat) kesadaran moral insani, misalnya dalam tindakan kekerasan, pemaksaan kehendak, korupsi, diskriminasi, etc.) melacurkan diri pada tahap banal kebinatangan. Dalam persepsi kebanyakan orang (maaf, pandangan ini hanya diangkat dari asumsi yang dipradugakan) etika itu bergaris lurus, tidak berbagi papan pada penyimpangan yang pada dirinya sendiri bersifat mala (kotor, bercela, bernoda).

Bahwasanya di dalam praksis berpolitik, misalnya, orang berkesan tidak ada cermin etis, bahkan bertolak belakang dengan tatanan etika, hal itu sama sekali tidak usah berarti tak ada etika dalam berpolitik. Nalarnya simpel sekali. Setiap posisi dan profesi politis “berbiaya” tinggi. Contoh berapa cost dan kapital yang dibelanjakan untuk posisi Bupati dan Gubernur? Berapa harga profesi guru dan suami yang setia serta bertanggungjawab?  Cost atau biaya tidak mutlak (harus) diartikan dengan uang, tetapi cost itu dapat berwujud pengorbanan, usaha, jerih lelah, yang semuanya menyatakan “harga”. Jika cost itu hanya diartikan uang dan kekuasaan semata­mata, maka runtutan logikanya dapat dianalogkan seperti ini: Jenis A mencari kesatuan dengan jenis yang mirip, yang dianggapnya mampu melengkapi dan menyempurnakan A.

Kata lainnya, pembelanjaan dengan uang dan kehausan akan kekuasaan hanya tergenapi serta terpuaskan dengan uang dan kekuasaan. Multiplikasi ini tentu tidak sehat dan perlu dipatahkan. Pematahan Politik sangat sering diartikan dan dikaitkan dengan kekuasaan, dan lebih khusus lagi kekuasaan parlemen, pemerintah, partai politik, dan yang urusannya adalah pengaturan kebijakan dan praksis yang berkorelasi dengan kepentingan publik agar tersedia kemungkinan nyata bagi tercapai bonum commune, atau kebaikan bersama.

Namun dua bacaan saya (Etos & Moralitas Politik, Kanisius, 2004; dan terutama D. Runciman, Politics, 2014) memperlihatkan bahwa pengartian seperti itu tidak sepenuhnya tepat, dan bahkan memuat salah kaprah. Ketidaktepatan itu terletak dalam paham tentang politik praktis yang sempit. Sebab dengan pelbagai macam cara dan jalan setiap warga masyarakat – tanpa berafiliasi pada partai politik atau politik kekuasaan – berperan dan berkontribusi bagi pencapaian kesejahteraan bersama.

Hal ini disebabkan pada paham kodrati dan alamiah manusia, yang berevolusi dari kecenderungan dan praksis egoistik dan hanya mementingkan keperluannya sendiri atau kelompoknya menjadi semakin terbuka dan berkiblat pada pemenuhan keperluan sesama dan bersama.

Di dalam taraf dan kesadaran ini, agama dapat berfungsi sebagai salah satu daya pematah kemandegan dan stagnasi, terutama stagnasi yang disebabkan oleh egosentrisme. Artinya, setiap agama sesungguhnya bersifat terbuka, dan yang karena itu mengajari manusia untuk tidak mementingkan diri sendiri dan kelompoknya, rela berkurban, ikhlas menolong dan meringankan beban kehidupan sesama, dlsb. Namun selalu ada saja penafsir – ­penafsir picik, parsial, sempit, yang kontraproduktif, dan yang sesungguhnya bertentangan dengan esensi agama. Sebaliknya, gejala dan pertanda Eropa Barat (misalnya) yang sudah pada meninggalkan agama, terutama karena menilai agama itu tidak bermanfaat.

Sikap ini dapat dipahami sebagai proklamasi kemenangan materialisme dengan pemisahan mutlak antara teknologi (ilmu pengetahuan, rationalitas) dan iman. Lalu atas nama kebebasan dan hak asasi, orang semau gue. Contoh mencolok mata adalah perkawinan antarpribadi berkelamin sejenis; gerakan pro­choice, dlsb. Dalam kenyataannya pula, orang yang mengaku taat beragama dan beriman tidak selalu hidup sesuai dengan sikap luhur ajaran agama dan pancaran iman. Jadi, kesannya selalu ada jarak yang lebar, yang tak terjembatani antara ajaran dan praksis, lalu berkembanglah dalil dan sikap pragmatis dan utilitaristik. Pada tahap ini digagas tentang spiritualitas yang dapat menjadi pegangan.

Seandainya agama itu terlalu banyak mengurusi hal-­hal formal, yuridis, liturgis, dan kanonis, maka mungkin saatnya pematahan sebagaimana digagas di atas dilakukan dengan mem­breakdown agama dalam pesan spiritualitas. Alasannya, salah satu sumber utama pembaruan adalah pengenalan dan penghayatan spiritualitas. Mengingat penafsiran atas spiritualitas agama itu tidak tunggal atau monolinear, maka perjumpaan antarpenafsir dan sharing tafsir spiritualitas bukanlah opsional, melainkan keharusan. Inilah etika politik zaman now, di mana agama dan iman masih berperan!).

Artikel ini sebelumnya dimuat di Jpicofmindonesia.com

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini.

BACA JUGA

BANYAK DIBACA