Nabit Kalah Hingga Kasasi dalam Konflik dengan ASN, Pukulan Telak untuk Tata Kelola Birokrasi Manggarai yang ‘Sangat Buruk’

Putusan kasasi tersebut sudah inkrah, Bupati Manggarai wajib menjalankannya, kata salah satu dari 13 ASN yang menggugat Nabit.

Floresa.co – Herybertus G.L Nabit, Bupati Manggarai, Provinsi Nusa Tenggara Timur menelan kekalahan hingga tingkat kasasi dalam perkara melawan belasan Aparatur Sipil Negara [ASN] yang menggugat kebijakannya memberhentikan mereka dari jabatan dengan melabrak aturan.

Kekalahan ini mengunci upaya Nabit yang sebelumnya tetap mempertahankan kebijakannya, meski dinyatakan salah oleh pengadilan dan oleh pemerintah pusat. Ia hanya memilki jalur upaya hukum lainnya lewat Peninjauan Kembali, yang menurut praktisi hukum, peluangnya amat kecil.

“Amar putusan; tolak kasasi,” demikian isi putusan kasasi perkara nomor 334 K/TUN/2023 itu yang diakses Floresa di laman Panitera Mahkamah Agung pada 9 Oktober.

Pemohon dalam putusan yang diumumkan pada 4 Oktober itu adalah Nabit dan termohon atau tergugat adalah 13 ASN.

Kristoforus Darmanto,salah satu dari 13 ASN itu mengatakan, dengan kemenangan di tingkat kasasi, itu berarti putusan terkait kasus ini “sudah inkrah” atau berkekuatan hukum tetap.

“Bupati Manggarai wajib melaksanakannya sebagaimana diatur dalam Pasal 116 UU Nomor 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara,” katanya.

Putusan kasasi itu memperkuat putusan di dua Pengadilan Tata Usaha Negara [PTUN] sebelumnya, yaitu PTUN Kupang dan PTUN Mataram yang memenangkan para ASN.

Awal Mula

Kasus ini bermula saat Nabit memberhentikan 26 ASN dari jabatan administrator pada Januari 2022, disinyalir dipicu dendam politik karena perbedaan dukungan saat Pilkada 2020. Mereka berstatus gologan III A dan III B,  terdiri dari tiga kepala bagian di sekretariat daerah, seorang kepala bagian di RSUD Ben Mboi Ruteng, delapan kepala bidang, lima sekretaris dinas, empat camat dan lima sekretaris camat.

Hal itu tertuang dalam Keputusan Nomor: HK/67/2022 tanggal 31 Januari 2022 tentang Pemberhentian dari Jabatan Administrator dan Pengangkatan dalam Jabatan Pelaksana Lingkup Pemerintah Kabupaten Manggarai.

Hal ini diprotes oleh para ASN yang kemudian mengadukannya ke Komisi Aparatur Sipil Negara [KASN]. Hasil kajian KASN memutuskan tidak menemukan alasan yang membenarkan keputusan Nabit. Karena itu, komisi itu merekomendasikan agar para ASN dikembalikan ke jabatan semula.

Namun, Nabit tidak menjalankan rekomendasi itu. Hal ini membuat 13 dari 26 ASN menggugatnya ke PTUN Kupang.

Pada 2 November 2022, PTUN Kupang mengabulkan gugatan itu untuk seluruhnya dan menyatakan Keputusan Nomor: HK/67/2022 batal. PTUN Kupang juga mewajibkan Nabit merehabilitasi harkat, martabat dan kedudukan para penggugat untuk dikembalikan pada jabatan semula atau pada jabatan lain yang setara dengan jabatan semula.

Nabit mengajukan banding atas putusan itu ke PTUN Mataram di Nusa Tenggara Barat yang kemudian ditolak. Pasca putusan ini, ia hanya mengembalikan jabatan kepada delapan dari 26 ASN yang diberhentikan. Kedelapannya tidak termasuk 13 ASN yang mengajukan gugatan.

Selanjutnya, Nabit mengajukan kasasi, yang kini ditolak.

Kristoforus mengatakan, kekalahan beruntun Nabit dalam perkara ini “harus menjadi pelajaran agar tata kelola birokrasi di Manggarai bisa lebih baik ke depan.”

“Kita harus jujur mengakui bahwa Manggarai ini tidak dalam keadaan baik-baik saja,” katanya kepada Floresa pada 9 Oktober.

“Terlalu banyak masalah yang sangat kronis, termasuk tata kelola birokrasi yang sangat buruk,” tambahnya.

Ia menjelaskan, keputusan Nabit yang melabrak aturan telah membuat mereka mengalami “kerugian materiil dan imateriil.”

Floresa sudah menghubungi Nabit untuk meminta tanggapannya terkait putusan ini. Namun, ia tidak merespons.

Persoalan Eksekusi Putusan

Pasca putusan kasasi ini, MA akan menyurati PTUN Kupang sebagai pengadilan tingkat pertama untuk mengeksekusinya. Selanjutnya, PTUN akan memerintahkan Nabit untuk mengeksekusi sendiri.

Eksekusi putusan ini memang kerap menemui kendala, karena UU tentang ASN menempatkan kepala daerah, termasuk bupati, sebagai pejabat pembina kepegawaian yang mempunyai kewenangan untuk melakukan mutasi, promosi, dan demosi. Karena kedudukan seperti ini, seringkali rekomendasi KASN atau putusan PTUN tidak dieksekusi.

Meski demikian, ASN penggugat bisa menyurati atasan Nabit, termasuk presiden agar melalui Menteri Dalam Negeri dan Gubernur NTT memberinya sanksi.

Edi Hardum, praktisi hukum mengatakan, ketimbang menambah kerumitan masalah jika tidak mengeksekusi kebijakan itu, ia berharap Nabit menjalankannya untuk memperlihatkan ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku.

“Jika tidak, ia akan tercatat sebagai bupati yang membangkang terhadap hukum. Orang yang membangkang terhadap hukum, dalam perspektif positivisme hukum, sama saja dengan penjahat,” kata Edi kepada Floresa.

Ia mengatakan, jika Nabit tidak menjalani putusan in, “sama halnya juga sedang mengajari masyarakat menjadi penjahat.”

“Ini akan menjadi preseden buruk ke depan dan bisa jadi akan diikuti oleh para kepala daerah lainnya di Indonesia. Padahal, saat pelantikan mereka bersumpah untuk menaati peraturan perundang-undangan yang berlaku,” katanya.

Edi pun menganjurkan agar Nabit menempuh mekanisme kekeluargaaan dengan meminta maaf kepada para ASN yang berkonflik dengannya atau memanggil mereka untuk membicarakan secara bersama-sama upaya penyelesaian masalah ini.

“Cara-cara seperti ini jauh lebih bermartabat, ketimbang ngotot membela keputusan yang sudah dinyatakan salah secara hukum. Cara seperti ini juga akan menguntungkan bagi beliau sebagai pribadi dan sebagai bupati, juga secara elektoral jika nanti dia mau maju lagi dalam Pilkada,” katanya.

Perihal kemungkinan bagi Nabit untuk mengajukan Peninjauan Kembali, meskipun undang-udang memberi peluang, kata Edi, sebaiknya tidak dilakukan karena bentuknya adalah upaya hukum luar biasa yang mengandaikan adanya bukti baru dan seharusnya hanya untuk kasus-kasus serius.

“Kasus ini sebetulnya sederhana. Yang dibutuhkan hanyalah kemauan dan niat baik bupati untuk menyelesaikannya. Itu saja,” katanya.

Senada dengan itu, Heman N. Suparman, Direktur Eksekutif Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah menyatakan, mengembalikan ASN yang telah diberhentikan itu ke jabatan semula selain secara normatif adalah memang isi rekomendasi KASN, putusan PTUN dan kasasi di MA, juga menunjukan ke publik Manggarai bahwa Nabit menghormati hukum dan peraturan perundang-undangan yang ada.

“Kalau kita berangkat dari perspektif tata kelola pemerintahan yang baik, manajemen ASN itu harus transparan dan akuntabel,” katanya.

“Dengan langkah ini,” kata Herman merujuk ke pengembalian jabatan ASN yang dibebastugaskan itu,  “menurut kami satu bentuk pertanggungjawaban bupati juga terhadap asas-asas itu.”

“Mengembalikan ASN itu ke jabatan semula pembelajaran baik untuk kepemimpinan selanjutnya. Bahwa dalam proses, apakah itu mutasi, promosi bahkan demosi, harus patuh pada kaidah-kaidah yang ada,” katanya.

Ia menjelaskan, jika jabatan-jabatan yang sebelumnya dijabat oleh ASN itu sudah diisi orang lain, seperti halnya usulan Edi, “kita merekomendasi pendekatan yang lebih kultural, ngomong secara kekeluargaan, berunding ke depannya seperti apa.”

Deretan Soal Tata Kelola Pemerintahan Era Nabit

Konflik dengan ASN ini merupakan salah satu dari beberapa masalah yang menyita perhatian publik semenjak Nabit – yang saat kampanye menggelorakan Salam Perubahan untuk Manggarai – mulai memimpin pada 2020.

Pada awal tahun lalu, Manggarai juga dihebohkan dengan kasus pengangkatan Tenaga Harian Lepas [THL] di sejumlah dinas meski sudah dilarang oleh pemerintah pusat. Para THL baru itu berasal dari tim sukses, juga orang dekat sejumlah pejabat, termasuk anak kandung wakil bupati.

Pada September tahun lalu, kabupaten itu juga dihebohkan dengan pengakuan seorang kontraktor bahwa ia dimintai fee untuk bisa mendapatkan proyek dari dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.

Permintaan fee, kata kontraktor itu, melibatkan Meldyanti Hagur, isteri Nabit dan perantara Rio Senta, seorang mantan tim sukses saat Pilkada. Kasus ini sempat diusut, termasuk dengan memeriksa Meldyanti, namun kemudian dihentikan karena polisi mengklaim tidak cukup bukti.

Pada Februari, di kabupaten itu juga terungkap praktek pungutan liar dalam pengurusan dokumen kependudukan, seperti KTP elektronik, yang melibatkan salah satu mantan tim suksesnya saat Pilkada 2020.

Sementara itu, hingga kini enam dinas di kabupaten itu masih dipimpin oleh pelaksana tugas selama hampir dua tahun.

Hal ini melanggar Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 13 Tahun 2014 tentang Tata Cara Pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi Secara Terbuka di Lingkungan Instansi Pemerintah yang menyatakan bahwa jabatan pelaksana tugas adalah tiga bulan dan bisa diperpanjang maksimal enam bulan.

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini.

BACA JUGA

BANYAK DIBACA