Floresa.co – Penanganan kasus perdagangan orang di Indonesia diskriminatif, di mana aparat mempraktikkan pola tajam ke bawah dan tumpul ke atas, kata aktivis kemanusian di Kabupaten Sikka.
Berbicara dalam sebuah diskusi pada 29 Juli, Suster Fransiska Imakulata, SSpS berkata terkesan “ada diskriminasi terhadap orang kecil.”
“Jika pelakunya adalah orang kecil dan tidak punya uang, seringkali cepat dalam penanganan proses hukumnya,” katanya.
“Namun, jika pelakunya adalah orang yang memiliki relasi kuasa yang kuat dan berduit, penanganan kasusnya dibiarkan bertele-tele,” tambah biarawati Ketua Tim Relawan Kemanusiaan-Flores atau TRUK-F itu.
Diskusi di aula TRUK-F digelar sehari sebelum peringatan Hari Anti Perdagangan Manusia pada 30 Juli.
Fransiska berkata, “perdagangan orang di NTT, khususnya di Sikka tumbuh dengan subur” karena lemahnya penegakan hukum yang “membuat orang selalu berniat untuk melakukannya.”
Seharusnya, urusan kemanusiaan menjadi tanggung jawab semua orang sehingga jika terjadi pelanggaran, “baik orang kecil maupun orang yang punya kuasa, proses hukumnya diberlakukan sama,” mengingatkan bahwa semua orang sama di mata Tuhan dan hukum.
Ia menjelaskan, sejak tahun 2000, TRUK-F sudah mengadvokasi 629 korban Tindak Pidana Perdagangan Orang [TPPO]. Mereka adalah anak-anak di bawah umur dan orang dewasa yang direkrut secara langsung maupun melalui media sosial.
Berangkat dari pengalamannya mendampingi korban, Fransiska juga menyoroti pemahaman aparat hukum yang berbeda-beda.
“Polisi punya pemahaman sendiri, jaksa punya pemahaman sendiri dan pengadilan punya pemahaman sendiri.”
Ia menyebut praktik diskriminatif seperti dalam penanganan kasus TPPO terbaru yang melibatkan Yuvinus Solo alias Joker, salah satu caleg DPRD terpilih di Sikka.
Sementara Joker masih bebas kendati sudah jadi tersangka, kata dia, para saksi dan korban sering mengalami intimidasi dan ketidakadilan.
“Mobil dari seorang saksi dalam kasus ini ditahan polisi, tetapi Joker yang menjadi pelaku utama hingga hari ini tidak ditahan,” katanya.
“Dimana kehadiran aparat negara ini yang seharusnya hadir untuk korban?”
Polisi menetapkan Joker sebagai tersangka pada Mei karena mengirim warga Sikka untuk bekerja di Kalimantan pada Maret tanpa melalui mekanisme resmi.
Mereka juga ditelantarkan. Salah satu di antaranya, Yodimus Moan Kaka atau Jodi, meninggal di Kalimantan karena kelaparan.
Valentinus Pogon, kuasa hukum korban Joker berkata, dalam penanganan kasus-kasus TPPO di NTT, aparat belum sepenuhnya responsif terhadap korban.
“Sebaliknya, penyidik lebih condong responsif melindungi pelaku,” katanya.
Ia ikut memberi contoh soal penahanan mobil saksi dalam kasus Joker. Mobil itu dipakai untuk mengantar para korban ke pelabuhan di Maumere sebelum mereka ke Kalimantan.
“Herannya mobil yang dipakai oleh pelaku tidak disita sebagai barang bukti,” katanya.
Valens berkata, para korban hingga saat ini masih diintimidasi oleh Joker, dimana ia dilaporkan mengirim orang ke rumah mereka “agar kasus ini diselesaikan secara kekeluargaan.”
Petrus Arifin, salah satu dari korban Joker dan telah kembali ke Sikka berkata, “karena tidak ada kejelasan proses hukum, kami juga terkatung-katung tanpa pekerjaan.”
“Kami mau pergi kerja, asal proses hukum ini jelas penyelesaiannya. Kami harus tunggu sampai kapan, apalagi aparat penegak hukum terlihat tidak responsif dengan masalah ini karena membiarkan Joker tidak ditahan.”
Ari berkata, saat direkrut oleh Joker, mereka dijanjikan bekerja sebagai pemanen dan pengangkut sawit dengan gaji Rp3.500.000 per bulan.
Namun setiba di Kalimantan, mereka disuruh untuk membersihkan lahan.
“Sudah disuruh begitu, malah kami tidak diakui oleh perusahaan,” kata Ari.
Karena mengetahui pekerjaan mereka tidak seperti yang dijanjikan sebelumnya, Ari dan korban lainnya sempat meminta agar Joker mengembalikan KTP mereka yang disita.
“Joker tidak mau kasih. Dia malah bilang kalau mau ambil KTP harus kembalikan uang tiket Rp570.000 dulu,” katanya.
Ia berkata, KTP mereka baru dikembalikan ketika Jodi meninggal.
Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi [Nakertrans] Kabupaten Sikka, Valerianus Samador Conterius yang ikut berbicara dalam diskusi itu berkata, biaya untuk tenaga kerja, mulai dari tempat asal hingga tempat tujuan, sebenarnya gratis karena sudah menjadi tanggung jawab perusahaan.
“Kalau sampai KTP ditahan, itu tidak benar. KTP hanya diambil datanya, tetapi tidak untuk ditahan,” katanya.
Dalam proses perekrutan tenaga kerja melalui jalan prosedural, kata dia, Dinas Nakertrans memiliki kewenangan untuk memfasilitasi.
Yang menjadi persoalan, “banyak orang memilih jalan non prosedural” karena pengetahuan yang kurang dan keterdesakan ekonomi.
“Bekerja di luar itu pilihan dan hak asasi, tetapi kerja tidak melalui prosedur itu bermasalah,” katanya.
“Ada pihak ketiga yang memanfaatkan situasi ini untuk melakukan perekrutan yang kita sebut sebagai sindikat ilegal,” tambahnya.
Conterius berkata, dalam kasus Joker jelas terjadi pelanggaran karena ia “tidak punya kewenangan melakukan penempatan tenaga kerja keluar daerah.”
Penempatan tenaga kerja, harus dilakukan oleh badan usaha yang memiliki izin dari kementerian dan mendapat rekomendasi dari gubernur melalui kepala dinas terkait, lalu rekomendasi dari dinas tingkat kabupaten.
“Kalau perekrutan dilakukan oleh orang perorang, itu sudah salah. Kalaupun dia [Joker] punya hubungan dengan perusahaan kelapa sawit, dia sebagai apa?”
Perusahaan kelapa sawit itu “harus mengantongi izin dari kementerian untuk melakukan perekrutan di wilayah NTT.”
Conterius juga mengingatkan bahwa syarat seseorang berangkat keluar daerah adalah harus mendapat sosialisasi, memenuhi syarat kesehatan, ikut pelatihan terlebih dahulu dan mengetahui hak-haknya ketika bekerja.
Valentinus Pogon berkata, dari catatan TRUK-F, Joker merupakan pemain lama dalam kasus TPPO, merujuk pada keterangan badan intelijen dan Dinas Nakertrans dalam sebuah rapat koordinasi di kantor Bupati Sikka.
Ia juga berkata, Joker lolos memberangkatkan tenaga kerja ke Kalimantan pada Maret karena “memberikan uang kepada polisi,” sebagaimana yang juga pernah disampaikan para saksi sebelumnya.
Ia menambahkan, lambatnya proses hukum kasus ini juga karena kurang adanya partisipasi Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan TPPO.
Ia berkata, tim gugus tugas pernah merespons kasus ini dengan mengadakan rapat “tetapi kemudian mereka beralasan tidak ada dana untuk pemulangan” korban dari Kalimantan. Para korban, termasuk Ari, kemudian dipulangkan karena bantuan lembaga kemanusiaan dan Dinas Sosial Kabupaten Sikka.
“Padahal, Peraturan Presiden tentang Gugus Tugas TPPO mengatur anggaran pelaksanaan tugas dan fungsi gugus tugas pada kabupaten atau kota.” katanya.
Terkait Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban [LPSK] sebagai anggota gugus tugas pusat, “kami telah melakukan koordinasi dan komunikasi terkait perhitungan kerugian korban sesuai petunjuk jaksa.”
Namun, “sudah satu bulan ini mereka janji saja, [LPSK] tidak pernah datang.”
Sementara itu, Theresia Sri Endras Iswarini dari Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan [Komnas Perempuan] yang juga hadir dalam diskusi berkata, penegak hukum harus berkoordinasi dengan berbagai pihak dalam penanganan kasus TPPO, yaitu pemerintah daerah, masyarakat sipil dan pemangku kepentingan lainnya.
“Jika polisi bekerja sendiri, maka penanganannya pasti akan lamban,” kata Ketua Sub Komisi Pengembangan Sistem Pemulihan ini.
Kepolisian, kata dia, tentu menjadi garda terdepan karena mereka yang menangani laporan dan pengaduan pertama kali.
Selain itu, menurutnya, para korban seharusnya mendapat perlindungan dari LPSK.
“Biasanya ketika kita berhadapan dengan sindikat TPPO, mafia meletakkan korban sebagai salah satu target utama,” katanya.
Theresia juga menyebut, dalam beberapa kunjungannya ke Sikka, ia mendengar banyak hak restitusi para korban yang kurang dipenuhi oleh pihak kepolisian.
Padahal, katanya, dalam Undang-Undang TPPO, hak-hak korban sudah diatur, termasuk restitusi.
“Itu harus diproses bersama LPSK untuk penghitungannya,” katanya.
Editor: Ryan Dagur