Floresa.co – Keluarga Yoseph Stanis sedang nyenyak saat dentuman keras tiba-tiba terdengar dari Gunung Lewotobi Laki-laki.
“Pikirnya guntur karena sedang hujan,” katanya mengisahkan peristiwa pada 3 November malam.
“Ternyata bunyi besar dari letusan,” tambah warga Kampung Podor, Desa Boru, Kecamatan Wulanggitang, Kabupaten Flores Timur itu.
Tak lama kemudian, listrik tiba-tiba padam “dan guyuran pasir membuat kami semakin panik.”
“Kami lihat kilat dan api dari gunung, batu kerikil dan pasir jatuh ke atas seng. Di atas seng itu terdengar seperti hujan deras. Kami sadar ketika keluar rumah, ternyata itu hujan campur abu dan pasir,” katanya.
Yoseph, 70 tahun, dan warga lainnya panik dan memutuskan segera mengungsi.
Keluarganya menumpang sebuah mobil pikap milik tetangga, “yang saat terjadi letusan langsung panggil kami ‘mari sudah kita mengungsi.’”
“Untung pikap tetangga yang angkut kami, kalau tidak mungkin kami mati di sana,” katanya.
Lewotobi Laki-Laki mengalami erupsi pada pukul 23.57 Wita, menurut laporan Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Mitigasi Bencana Geologi [PVMBG], yang kemudian menaikkan statusnya dari siaga ke level tertinggi, awas.
Erupsi memaksa ratusan warga Kecamatan Wulanggitang dan Ile Bura mengungsi ke beberapa wilayah yang lebih aman.
Dari pantauan Floresa, ratusan pengungsi terlihat mendatangi dua desa terdekat di wilayah Kabupaten Sikka yakni Desa Hikong dan Desa Kringa.
Yoseph berkata, di antara warga Desa Boru yang mengungsi, sebagiannya adalah lansia seperti dirinya.
Ada juga yang sedang stroke. Salah satunya Jhon Sare, 60 tahun.
“Saya kaget dan gemetar ketika istri kasih bangun saya. Saya pikir ini tidak selamat lagi karena saya sendiri alami stroke,” kata John.
Ia kemudian dibimbing istri dan tetangga untuk menumpang sebuah pikap yang membawa mereka meninggalkan Kampung Podor.
Non Wolor, 19 tahun, warga Kampung Baru, Desa Boru berkata, ia dan tetangganya menyelamatkan diri menggunakan sepeda motor ke Desa Kringa.
“Saya baru dengar dentuman keras begini. Kami lihat lavanya keluar. Pantulan api terlihat jelas di seng rumah,” katanya.
Ia menambahkan, “saya sempat terpisah dengan bapa dan mama. Saya dan adik menggunakan motor sendiri, begitu juga bapa mama”
“Bapa panik karena harus menyelamatkan oma yang sedang sakit, sedangkan di luar rumah banyak orang panik dan berlari menyelamatkan diri,” tambah Non.
Ia berkata, karena jalanan dipenuhi pasir, banyak yang mengalami kecelakaan saat menyelamatkan diri.
“Saya dan adik juga kecelakaan. Ada beberapa warga yang gunakan motor dan pikap, juga alami kecelakaan.”
Sembilan Korban Tewas
Menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana [BNPB], peristiwa ini menewaskan sembilan orang.
Hal ini sejalan dengan pengakuan Fredy Moat Aeng, Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah [BPBD] Flores Timur.
“Umumnya korban yang meninggal dunia akibat tertimpa batu berukuran besar dari semburan Lewotobi Laki-laki,” katanya kepada Floresa.
Salah satu di antara korban adalah Suster Nikolin Padjo, SSpS, 59 tahun, yang meninggal ditimpa reruntuhan bangunan biara.
Aeng berkata, hingga saat ini pihaknya belum mendata secara rinci berapa jumlah kerugian akibat erupsi, “termasuk mereka yang mengalami luka saat berusaha menyelamatkan diri.”
Pantauan Floresa, selain biara para suster SSpS dan beberapa rumah warga yang terbakar dan rusak, terdapat empat sekolah yang juga terdampak, yakni SDI Klatanlo, SDI Wolorona, SMPK Sanctissima Trinitas Hokeng dan Seminari San Dominggo Hokeng.
Sementara menurut BNPB, terdapat 14 desa terdampak.
Enam di antaranya di Kecamatan Wulanggitang, yaitu Desa Pululera, Nawokote, Hokeng Jaya, Klatanlo, Boru dan Boru Kedang.
Di Kecamatan Ile Bura, sebanyak 4 desa terdampak, yaitu di Desa Dulipali, Nobo, Nurabelen dan Riang Rita. Empat desa lainnya di Kecamatan Titehena, yaitu Desa Konga, Kobasoma, Bokang Wolomatang dan Watowara.
Populasi jiwa terdampak, kata BNPB, mencakup 2.734 kepala keluarga, terdiri dari 10.295 jiwa.
Pemerintah pun telah menetapkan masa tanggap darurat selama 58 hari, terhitung sejak 4 November sampai 31 Desember 2024.
Akibat erupsi ini, empat bandara di Pulau Flores sementara berhenti operasi.
Kepala Unit Penyelenggara Bandar Udara Komodo di Labuan Bajo, Ceppy Triono, mengatakan maskapai membatalkan penerbangannya karena alasan keselamatan.
Meletus Berkali-kali
Lewotobi Laki-Laki mengalami beberapa letusan besar pada Januari, yang mendorong pihak berwenang menaikkan statusnya ke waspada dan mengevakuasi sedikitnya 2.000 penduduk.
Indonesia, negara kepulauan yang luas, sering mengalami letusan gunung api karena posisinya di “Cincin Api” Pasifik, area dengan aktivitas vulkanik dan seismik yang intens.
Pada Desember tahun lalu, letusan di salah satu gunung berapi paling aktif, Gunung Marapi di Sumatera Barat, menewaskan sedikitnya 24 pendaki, sebagian besar dari mereka adalah mahasiswa.
Pada Mei, lebih dari 60 orang meninggal setelah hujan lebat menyapu material vulkanik dari Marapi ke daerah pemukiman.
Bulan itu, Gunung Ruang di Provinsi Sulawesi Utara juga meletus berulang kali, memaksa ribuan penduduk pulau-pulau terdekat mengungsi.
Editor: Ryan Dagur