Floresa.co – “Keinginan merantau tak semata-mata dipicu kurangnya lapangan kerja,” kata Dominggus Elcid Li yang telah dua dekade meriset permasalahan buruh migran di NTT.
Lebih dari itu, warga memutuskan bermigrasi lantaran “merasa terpuruk di tanah sendiri.”
Elcid, Direktur Institute of Resources Governance and Social Change [IRGSC], lembaga riset berbasis di Kupang secara khusus menyoroti “program pemerintah yang berfokus pada investasi pembangunan, belum berpihak pada masyarakat.”
Kondisi itu, katanya, membuat ruang hidup menyempit.
“Lahan tanam, yang selama ini menjadi tumpuan sebagian warga, turut terkena imbasnya,” katanya.
Hal ini diperparah dampak perubahan iklim yang tak diimbangi pengetahuan tentang mitigasi sektor pertanian. Akibatnya, produksi pertanian menurun.
“Sektor pertanian rakyat tertatih-tertatih untuk mampu bersaing,” kata Elcid kepada Floresa pada 20 Desember.
Warga akhirnya “memilih merantau di bawah bayang-bayang eksploitasi dan perdagangan orang.”
Gagasan akan “Dunia yang Lebih Adil”
Pernyataan Elcid merespons peringatan Hari Buruh Migran Sedunia yang jatuh pada 18 Desember.
Hari Buruh Migran Sedunia didedikasikan untuk mempromosikan dunia yang lebih adil bagi semua, termasuk orang-orang yang mesti menempuh perjalanan berbahaya demi menafkahi keluarga.
Peringatannya juga menandai pembentukan Konvensi Internasional tentang Perlindungan Hak-Hak Semua Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya.
Diadopsi Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 1990, konvensi tersebut mulai berlaku pada 2003.
Melalui konvensi tersebut, komunitas internasional mendorong pemerintah sedunia memastikan bahwa hak-hak buruh migran ditegakkan, terlepas dari status “prosedural” atau “non-prosedural” serta lokasi mereka.
Pamungkas Ayudaning Dewanto, antropolog di Universitas Vrije Amsterdam di Belanda pada April menyatakan “pertama-tama yang perlu dilakukan negara adalah tak mendiskriminasi pekerja migran asal NTT berangkat secara prosedural atau non-prosedural.”
Tanpa mendefinisikan keduanya pun, “perlindungan negara terhadap semua pekerja migran cenderung minim.”
Ijazah Seadanya, Kompetensi Minim
Meski dorongan global terus terbentuk demi memperkuat perlidungan bagi buruh migran dan keluarga mereka, kata Elcid, “kita belum juga mengurai persoalan berlapis terkait para perantau dari NTT.”
Elcid menemukan “masih banyak warga NTT bekerja pada sektor pekerjaan kasar karena rendahnya keterampilan [low skill level].”
Di sisi lain, banyak “anak muda NTT merantau hanya dengan ijazah seadanya.”
Akibatnya, “mereka terpaksa ‘menjual tenaga.’”
Kekurangan dalam pelbagai sektor itu memperdalam kerentanan mereka,” kata Elcid.
Organisasi Buruh Internasional atau International Labour Organization mencatat minimnya keterampilan sebagai salah satu pemicu praktik kerja paksa dan perdagangan orang.
Tak hanya terjadi di darat, kedua bentuk pelanggaran hak asasi manusia itu juga terjadi di laut.
Laut yang Jauh dari Jangkauan Keadilan
Sebanyak 122 pekerja migran Indonesia asal NTT meninggal di lokasi penempatan sejak Januari hingga 6 Desember, menurut Kepala Balai Pelayanan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia [BP3MI] NTT, Suratmi Hamida.
Sebagian besar buruh migran itu, kata Suratmi seperti disitir dari Kompas, meninggal karena sakit dan mengalami kecelakaan kerja.
Ia tak menjabarkan pada sektor dan basis apa mereka bekerja.
Menurut Ketua Umum Serikat Buruh Migran Indonesia [SBMI], Hariyanto Suwarno, keterbatasan informasi “kian menyulitkan pelindungan, terutama bagi yang bekerja di laut.”
Karakter laut, yang tak selamanya terjangkau sistem komunikasi, membuat awak kapal perikanan [AKP] migran sulit meminta dan mendapat bantuan ketika nyawa mereka terancam.
ILO mencatat terdapat beragam pelanggaran pada AKP, mulai dari jam kerja tidak kenal waktu, pemberian makanan basi, ketiadaan air bersih, ruang tidur tak manusiawi serta kekerasan verbal, fisik dan mental.
Kasus serupa menimpa AKP migran asal NTT, Sikry Elmadem Subu.
AKP migran asal Desa Sahraen, Kecamatan Amarasi Selatan di Kabupaten Kupang itu meninggal pada awal tahun ini di perairan yurisdiksi Fiji, negara kepulauan di selatan Samudra Pasifik.
Ia dilaporkan meninggal akibat komplikasi dua penyakit.
Jenazah Sikry baru dipulangkan ke kampung halamannya pada 18 Maret.
Koordinator Departemen Kemaritiman SBMI, Dios Lumban Gaol, mempertanyakan beberapa kejanggalan terkait kematiannya, “termasuk dugaan tindakan tak manusiawi yang diambil nakhoda selama Sikry sakit.”
SBMI dan sejumlah organisasi masyarakat sipil lainnya lalu melaporkan kasus Sikry ke Taiwan, yang dalam kontrak kerja Sikry disebut sebagai calon negara penempatan.
Berbulan-bulan mengadvokasi pemenuhan rasa keadilan bagi keluarga Sikry, kolaborasi tersebut mulai berbuah hasil pada November. Keluarga Sikry, kata Dios pada 20 Desember, “telah menerima ganti rugi dari perusahaan penempatan.”
Tetapi itu saja belum cukup.
“Bagaimanapun, pemerintah tak boleh lagi mengabaikan mereka yang bekerja di laut,” kata Dios.
Dengan cara itulah “kasus Sikry tak akan terulang ke AKP migran lainnya.”
Temukan Akar Masalahnya
“Pekerjaan layak seharusnya menjadi hak semua orang,” tulis Hariyanto Suwarno dalam “Catatan Akhir Tahun SBMI, 2024: Migrasi Paksa dan Beban Ekonomi: Mengurai Akar Perdagangan Orang Terhadap Buruh Migran.”
“Pemerintah,” tulis Hari, sapaannya, “harus memastikan setiap warga negara memiliki pekerjaan yang tak hanya meghidupi, melainkan juga menjamin keselamatan mereka.”
Sementara bagi Elcid, kompleksitas persoalan buruh migran asal NTT “perlu menjadi pekerjaan rumah utama para kepala daerah terpilih.”
Alih-alih hanya berjanji, “kepala daerah terpilih perlu mengedepankan kebijakan berbasis riset.”
Langkah semacam itu “akan membantu pemerintah daerah pertama-tama memahami akar permasalahan, termasuk mengapa warga sulit bertahan di kampung.”
Ketika pertanyaan itu pelan-pelan terjawab, kata Elcid, “apakah pemerintah menemukan diri mereka sebagai salah satu akar permasalahan?”
Editor: Anastasia Ika