Gerus Independensi dan Langgengkan Liberalisasi Ekonomi, Alasan Akademisi Tolak Wacana Konsesi Tambang untuk Kampus

Kampus akan melenceng dari tridarma perguruan tinggi jika terlibat dalam aktivitas tambang, kata akademisi

Floresa.co – Wacana konsesi tambang untuk kampus mesti ditolak karena berpotensi menggerus independensi dan melanggengkan liberalisasi ekonomi di perguruan tinggi, kata akademisi dalam diskusi virtual yang digelar baru-baru ini.

Berlangsung pada 8 Februari melalui platform Zoom, diskusi bertajuk “Timang Tambang Kampusku Sayang” menyoroti revisi Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara [UU Minerba]. Melalui UU tersebut pemerintah berencana, salah satunya, memberikan izin konsesi tambang kepada kampus.

Ilham Majid, dosen Universitas Musamus yang berbasis di Kabupaten Merauke, Papua Selatan menilai wacana tersebut merupakan upaya membuat kampus “semakin telanjang” terintegrasi dalam sistem pasar sekaligus mencerabut independensi universitas.

Rencana agar kampus mendapat wilayah izin usaha pertambangan [WIUP], kata dia, memperlihatkan semangat liberalisasi ekonomi dalam sistem pendidikan tinggi di mana kepentingan ekonomi menjadi prioritas,  sedangkan dampak negatif tambang menjadi urusan belakangan.

“Kampus seyogianya menjadi kompas moral dan intelektualitas, bukan jadi alat negara untuk mencuci praktik-praktik buruk industri ekstraktif,” katanya dalam diskusi yang digelar oleh Bakul Pemimpi.

Tata Kasmiati, dosen Universitas Sulawesi Barat menilai pengelolaan tambang oleh kampus melenceng dari tridarma perguruan tinggi, yaitu pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. 

Beban kerja akademisi dinilai bertambah jika kampus terlibat dalam aktivitas tambang, selain mengurangi fokus pada tugas utama, yakni mendidik dan meneliti.

Ia menyebut hal tersebut bukan hanya “di luar kewajaran,” tetapi dapat menciptakan “ketimpangan dan ketidakadilan dalam struktur akademik.”

Keterlibatan kampus dalam aktivitas tambang, kata dia, bisa melahirkan ketimpangan gender dalam dunia akademik karena “sektor pertambangan merupakan industri yang didominasi laki-laki.” 

Selain itu, katanya, peran sebagai pengawas independen akan hilang bila kampus menjadi bagian dari pelaku tambang. 

“Kewajiban kampus bukan mengapitalisasi pendidikan, tapi bagaimana membuat pendidikan menjadi acceptable [dapat diterima] bagi semua orang,” katanya.

Tata berkata, “suka atau tidak, tambang adalah bisnis yang tidak bersih.”

Karena itu, kata dia, kampus seyogianya bertugas memproduksi pengetahuan dan teknologi untuk mereduksi efek negatif aktivitas tambang, bukan sebaliknya, “menjadi agen baru untuk memperluas perusakan.”

“Kalau kampus mengelola tambang berarti ia pelaku [perusakan]. Padahal, kalau terjadi sesuatu, yang menjadi ahli untuk menilai adalah orang-orang di universitas,” katanya.

Zulfatun Mahmudah, akademisi yang juga bekerja di bidang komunikasi publik perusahaan tambang, berkata sektor tersebut membutuhkan modal awal “yang sangat besar.” 

Ia mencontohkan PT Kaltim Prima Coal, perusahaan pertambangan batu bara di Sangatta, Kalimantan Timur yang menghabiskan anggaran sekitar Rp10 triliun dalam pengerjaan konstruksi awal.

Ia berkata, bila kampus mengelola tambang, maka pilihannya adalah melibatkan pihak ketiga.

Hal itu, kata dia, berarti kampus memberi hak konsesi kepada investor dan perguruan tinggi menerima fee, namun institusi tersebut kehilangan kendali penuh atas tambang. 

Ia berkata, pilihan lainnya adalah kampus harus mencari pinjaman, yang berarti harus ada aset sebagai jaminan.

Kedua pilihan itu, kata dia, juga membawa risiko lain yang akan dihadapi kampus, yakni kehancuran reputasi.

Institusi tersebut, katanya, bisa dianggap tidak independen karena “tersandera kepentingan bisnis dan akan kehilangan kredibilitas akademik akibat konflik kepentingan.” 

“Kampus bisa dianggap menyimpang dari tujuan awalnya sebagai institusi pendidikan dan penelitian. Apakah kampus benar-benar akan mendapatkan keuntungan dari tambang? Atau justru akan merusak reputasinya?,” katanya.

Meredam Kritik dan Perlawanan

Ilham Majid berkata, polemik izin tambang untuk kampus merupakan perang posisi atau perang wacana untuk pencapaian hegemoni di tingkat masyarakat sipil.

Di satu sisi, kata dia, ada wacana konsesi tambang yang harus disukseskan dan di sisi lain, banyak resistensi terhadap praktik-praktik yang “memang terbukti merusak lingkungan.” 

“Lalu, dimunculkan wacana tandingan bahwa mereka yang punya tradisi moralitas dan intelektualitas terlibat pengelolaan tambang. Ini kan untuk meredam kritik dan perlawanan masyarakat,” katanya. 

Ilham berkata, isu perizinan tambang bagi kampus merupakan bentuk desentralisasi pengelolaan tambang di mana yang semula terpusat, kini diserahkan kepada aktor-aktor subnasional, seperti organisasi masyarakat [ormas] dan perguruan tinggi. 

Secara psikologis, kata dia, upaya itu dilakukan agar isu tambang bisa diterima oleh khalayak. 

Sebab, katanya, dalam banyak kasus, persoalan tambang cenderung diwarnai konflik, baik vertikal maupun horizontal.

“Kelas penguasa melihat bahwa gerakan sosial dimotori kelas menengah [termasuk kampus]. Untuk mengurangi resistensi itu, maka dibangunlah wacana tandingan bahwa kampus mengelola tambang,” katanya.

Akbar Reza, dosen Universitas Gadjah Mada Yogyakarta berkata bila diperhatikan, isu izin kelola tambang untuk kampus seperti cek ombak, yakni “lempar dahulu wacananya untuk melihat respons masyarakat sipil, lalu pemerintah akan mengambil sikap.”

“Ini disebut viral based policy atau kebijakan yang berbasis pada viral atau tidaknya suatu wacana. Itulah mengapa diskusi-diskusi seperti ini sangat penting untuk menjaga kompas diri bahwa ruang ini bukan sekadar ruang intelektual, tapi juga spiritual,” katanya.

Ia berkata, hal lain yang meresahkan adalah civitas akademika menjadi tameng untuk legitimasi moral atau intelektual. 

Ketika kampus terlibat pengelolaan tambang, kata dia, maka yang dibutuhkan bukan hanya kapital [modal], tetapi juga kompetensi. 

Kenyataannya, kata Akbar, tidak semua akademisi berkompetensi mengelola tambang.

“Akhirnya, hanya kampus yang punya kapital dan jaringan yang akan mendapat WIUP. Lalu, bagaimana dengan kampus-kampus yang punya akses terbatas? Ya, tetap diadu antara sipil dengan sipil,” tambahnya. 

Sementara itu, Feri Amsari, ahli Hukum Tata Negara di Universitas Andalas, Sumatra Selatan berkata izin tambang bagi perguruan tinggi bukan sekadar bisnis, tetapi mencerminkan nafsu manusia yang berupaya memecah belah kampus.

Kampus yang seharusnya menjadi ruang pengkritik terhadap perilaku pejabat negara, kata dia, kini dijadikan target untuk dipecah belah. 

Ia berkata, fenomena ini mirip dengan upaya membelah ormas, seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama di mana awalnya berbasis keadaban, tetapi kemudian terdorong ke arah perhitungan ekonomi. 

Kini, kata dia, kampus berada dalam ancaman serupa, di mana berbagai kepentingan berupaya mengarahkan institusi akademik ke ranah keuntungan bisnis tambang yang berimplikasi pada fragmentasi internal.

Ia berkata, saat ini, wacana yang berkembang di dalam kampus bukan lagi soal bagaimana meningkatkan kualitas pendidikan, tetapi bagaimana mengekstraksi kekayaan alam. 

Hal ini, kata dia, mengubah esensi kampus sebagai tempat pembelajaran menjadi sekadar alat untuk meraup keuntungan.

“Kampus-kampus dan organisasi akademik harus bersatu. Gerakan ini perlu dikonsolidasikan agar lebih efektif menekan penguasa untuk mencabut kebijakan terkait konsesi tambang bagi kampus,” katanya.

Editor: Anastasia Ika

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di Grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini atau di Channel Whatsapp dengan klik di sini.

BACA JUGA

BANYAK DIBACA