Floresa.co – Puluhan mahasiswa di Flores Timur yang tergabung dalam Aliansi Cipayung Plus memprotes langkah polisi yang menyita arak tradisional, menyebut hal itu tidak sesuai prosedur.
Mahasiswa dari Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) dan Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) itu menggelar unjuk rasa pada 10 Juni.
Unjuk rasa itu merespons penyitaan 20 liter arak oleh polisi saat Operasi Pekat Turangga pada 21 Mei di tempat penyulingan milik Tomas Hurit, warga Desa Ile Padung, Kecamatan Lewolema.
Para mahasiswa memulai aksi di kantor Polres Flores Timur sekitar pukul 10:00 Wita, lalu berlanjut ke kantor bupati dan kantor DPRD.
Pantauan Floresa, massa aksi membawa sejumlah spanduk bertuliskan “Kapolres Flotim Gagal Menjalankan Tugasnya”; “Menolak Keras Pemusnahan Arak di Tanah Lamaholot” dan “Cipayung Menggugat! Jangan Musnahkan Budaya Kami”.
Spanduk lainnya bertulis “Jangan Hanya Datang saat Kampanye, Hilang saat Rakyat Menderita” dan “ Perda Sudah Ada, Perbub Mana? Bupati Jangan Tidur, Save Perda Nomor 3 Tahun 2014.”
Perda itu mengatur tentang pengendalian dan pengawasan minuman beralkohol tradisional.
Dalam orasinya, Pirlo Luron, Ketua LMND Flores Timur berkata, memproduksi arak tradisional bukan tindakan kriminal.
“Arak adalah kearifan lokal budaya Lamaholot,” katanya merujuk pada suku yang mendiami Flores Timur dan Lembata, pulau di sebelah timur Flores.
Ia mengkritisi langkah polisi yang dinilai menyalahgunakan wewenang karena telah bertindak sepihak.
“Pengendalian dan pengawasan bukan tugas polisi, melainkan wewenang Satpol PP dan tim-tim terpadu lainnya. Itu pun harus berkoordinasi dengan bupati,” katanya.
Hal itu, kata Pirlo, ditegaskan dalam Peraturan Gubernur NTT Nomor 44 Tahun 2019 Bab V Pasal 11 ayat (4).
Ayat itu menyatakan, tim terpadu berkoordinasi dengan pemerintah kabupaten/kota dalam pengendalian dan pengawasan peredaran arak.
Peraturan itu juga menyebut tim terpadu dapat berkoordinasi dengan kepolisian sesuai kebutuhan, sebagaimana tertuang dalam ayat 5.
Dengan penyitaan itu, kata dia, polisi “tidak menghargai budaya kearifan lokal” dan melenceng dari Perda Nomor 7 Tahun 2020 Pasal 4 tentang Objek Kebudayaan.
“Bunyi Perda Nomor 7 Tahun 2020 Pasal 4 sudah jelas bahwa objek kebudayaan yang meliputi warisan budaya, situs bersejarah dan bentuk budaya lainnya perlu dilindungi dan dimanfaatkan demi kepentingan masyarakat. Salah satunya adalah arak,” katanya.
Orator lainnya, David Geo Lein, Ketua PMKRI Cabang Larantuka berkata, arak bukan sekadar warisan kebudayaan, melainkan aset ekonomi masyarakat.
“Dengan menyuling arak, mereka bisa menyekolahkan anak dan membeli beras demi kebutuhan hidup,” katanya.
Respons Polisi
Setelah melalui negosiasi dengan beberapa anggota polisi, massa aksi diizinkan beraudiensi dengan Kapolres Flores Timur, AKBP Adhitya Octorio Putra pada pukul 11.10 Wita.
Dalam audiensi itu, David mempertanyakan alasan polisi menggerebek tempat penyulingan arak milik Tomas Hurit tanpa koordinasi dengan Pemda.
Menanggapi pertanyaan itu, Kapolres Adhytia menegaskan polisi menjalankan tugas internal dan “tidak perlu melakukan koordinasi.”
“Hasilnya baru nanti kita koordinasikan,” katanya, “sekaligus rencana pemusnahan barang bukti.”
Razia itu juga terkait angka kriminalitas di Flores Timur yang meningkat dan hampir 50 persen dipicu minuman keras, kata Adhitya.
Dari 83 kasus kriminalitas di Flores Timur tahun ini, kata dia, hampir setengahnya atau 40 kasus diawali oleh minuman keras.”
Polisi, jelasnya, tidak hanya razia ke tempat penyulingan.
“Kami juga melakukan patroli rutin setiap malam. Ketika ada yang duduk nongkrong, kami berikan edukasi dan mengimbau jika tidak ada kepentingan lagi sebaiknya bubar,” jelasnya.

Respons Wakil Bupati
Saat tiba di Kantor Bupati Flores Timur, sempat terjadi perdebatan, lantaran massa yang hendak berorasi langsung diarahkan pegawai Pemda untuk audiensi.
Setelah perdebatan sekitar 10 menit, mereka lalu diizinkan untuk berorasi.
Saat audiensi, David meminta Pemda segera merancang peraturan bupati tentang pengendalian dan pengawasan minuman beralkohol tradisional.
“Kehadiran kami ini meminta pemerintah daerah melalui wakil bupati untuk segera menerjemahkan turunan Perda Nomor 3 Tahun 2014 ke dalam peraturan bupati,” katanya.
Ia menyayangkan bahwa “Perda telah ditetapkan selama satu dekade lebih,” namun “Satpol PP dan dinas terkait lainnya tidak menjalankan tupoksi sesuai Perda.”
Maria Margaretha Dai, salah satu peserta aksi yang orangtuanya bekerja sebagai penyuling arak berkata, peraturan bupati itu penting “untuk melindungi masyarakat.”
“Mereka merasa takut apabila ada operasi dari polisi,” katanya.
Menggapai hal itu, Wakil Bupati Flores Timur, Ignasius Boli Uran berjanji Pemda segera menerbitkan Surat Izin Usaha Perdagangan Minuman Beralkohol (SIUP-MBT) untuk mengawasi minuman tradisional.
“Silakan memproduksi (arak). Pemerintah berkewenangan mempercepat SIUP-MBT,” katanya.

Ignas mengklaim “polisi melakukan operasi pekat bukan untuk menegakkan Perda, melainkan operasi temporal” dan “tidak dalam konteks tidak boleh penyulingan arak.”
Ia juga berjanji akan mempermudah proses penerbitan SIUP-MBT karena tidak ingin “mempersulit masyarakat.”
Melalui mahasiswa, ia berkata agar menyampaikan kepada masyarakat: “silakan bekerja menyuling arak.”
Audiensi dengan DPRD
Di kantor DPRD, setelah melalui negosiasi dengan beberapa anggota dewan mereka diizinkan masuk ke ruangan untuk audiensi.
David kembali menegaskan agar lembaga tersebut segera mengevaluasi Perda Nomor 3 Tahun 2014, “apakah masih relevan atau tidak.”
Sementara Irfan, salah satu anggota PMKRI meminta DPRD segera berkoordinasi dengan dinas terkait untuk memfasilitasi dan mempermudah proses penerbitan SIUP-MBT.
Ia menambahkan, “DPRD harus bekerja sama dengan pemerintah daerah untuk mensosialisasikan peraturan itu sampai pada tingkat desa.”
Menanggapi aspirasi mahasiswa, Gafar Ismail, anggota DPRD dari Partai Gelora berkata, pengaturan tentang arak “memang ada di pemerintahan.”
“Bahwa ada peran pengawasan yang perlu dilakukan lembaga ini,” katanya, “akan disikapi secara kelembagaan.”

Sementara anggota lainnya, Ruth Wungubelen berkata terkait pengawasan terhadap produksi dan penjualan arak “penanganan oleh Satpol PP dan PPNS, bukan polisi.”
Ia juga mengklaim DPRD “menjadi tidak berdaya karena peraturan bupati tentang itu tidak ada.”
Setelah melalui diskusi panjang, DPRD menyatakan kesiapan untuk menindaklanjuti tuntutan massa lewat koordinasi dengan Forum Komunikasi Pimpinan Daerah untuk menerbitkan SIUP-MBT.
Pirlo Luron dari LMD berharap semua janji yang disampaikan dalam setiap audiensi itu dapat dilaksanakan.
“Jika tidak, kami akan melakukan konsolidasi massa dan menggelar aksi lanjutan. Kami tidak akan berhenti perjuangkan keadilan,” katanya.
Editor: Ryan Dagur