ReportaseMendalamKonsorsium Pangan Bernas Gandeng Floresa Gelar Pelatihan Jurnalistik untuk Puluhan Pemuda di Manggarai Barat

Konsorsium Pangan Bernas Gandeng Floresa Gelar Pelatihan Jurnalistik untuk Puluhan Pemuda di Manggarai Barat

Pelatihan selama tiga hari diikuti sesi mentoring selama enam bulan mendatang

Floresa.co – Konsorsium Pangan Bernas, aliansi beberapa organisasi yang fokus pada pembenahan sistem pangan berkelanjutan dan inklusif, berkolaborasi dengan Floresa menggelar pelatihan jurnalistik untuk puluhan pemuda dari berbagai desa di Kabupaten Manggarai Barat.

Pelatihan tersebut merupakan bagian dari program jurnalisme dan kampanye media sosial dari dari konsorsium yang terdiri atas Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP), Yayasan Komodo Indonesia Lestari (Yakines) dan Yayasan Keanekaragaman Hayati (Kehati).

Berlangsung pada 18-20 Juni di Hotel Parlezo, Labuan Bajo, fasilitator pelatihan adalah Anastasia Ika dan Anno Susabun–keduanya editor–dan kontributor Floresa Elisa Lehot.

Peserta yang berasal dari sepuluh desa di Kecamatan Komodo, Sano Nggoang dan Mbeliling juga akan mengikuti mentoring selama enam bulan ke depan.

Antonius Babo Wea, Koordinator Program Urban Futures dari Yakines yang membuka rangkaian kegiatan berkata, pelatihan jurnalistik penting guna “melukis dan memahat peradaban.”

Antonius menyatakan keterampilan menulis jurnalistik “dapat menjadi pegas” bagi kaum muda guna menyajikan informasi publik yang berkualitas “berdasarkan kerja-kerja nyata terkait sistem pangan berkelanjutan di komunitas masing-masing.”

“Kami berharap teman-teman peserta dapat menjadi penggerak dalam membangun perubahan yang signifikan dan mendasar pada sistem pangan kita di Manggarai Barat,” katanya.

Bangun Perspektif Kritis

Sesi pertama pada hari pertama pelatihan diisi pendalaman materi terkait dasar-dasar jurnalistik.

Anno Susabun memulai sesi dengan memperkenalkan Floresa sebagai media independen yang terus berupaya membangun perspektif kritis dalam melihat pelbagai soal di tengah masyarakat.

“Sebagai media massa yang independen, kami selalu berangkat dari cara pandang bahwa realitas sosial kita tidak pernah netral, tetapi diwarnai relasi kuasa yang timpang antara penguasa dan warga yang rentan jadi korban dalam pembangunan tak berkeadilan,” katanya.

Perspektif relasi kuasa, kata Anno, penting sebagai dasar mengambil sikap terhadap pembangunan semacam itu, “agar posisi kita tegas memihak kelompok yang rentan, bukan mengabdi kepentingan pemerintah dan elite bisnis.”

Jurnalisme yang memihak kelompok rentan, lanjutnya, menunjukkan ciri media massa yang berorientasi pada kepentingan publik.

Hal itu sejalan dengan beberapa prinsip dasar jurnalisme, yakni kebenaran, independensi, akuntabilitas, keberimbangan dan penuh rasa kemanusiaan.

“Kewajiban pertama jurnalisme adalah pada kebenaran, dan kesetiaan utama ialah kepada warga,” katanya.

Sementara itu prinsip keberimbangan tak berarti media memegang asas netralitas, namun tetap mengambil posisi bersama kelompok rentan.

“Berimbang tidak berarti memberi porsi yang sama bagi penguasa dan warga, tetapi dengan sudut pandang kelompok rentan, kita tetap memberi peluang penguasa menyatakan atau mengonfirmasi pendapatnya.”

Sesi berikutnya yang difasilitasi Anastasia Ika terkait wawancara jurnalistik dan teknik penulisan berita.

Wawancara, kata Ika, merupakan satu dari tiga ragam riset dalam jurnalistik, selain riset pustaka dan observasi.

Ika menjelaskan, wawancara jurnalistik mengandung percakapan antara jurnalis dengan orang yang memiliki pengetahuan faktual tentang suatu hal, termasuk yang memiliki pendapat yang relevan dengan isu yang sedang didalami.

“Datanglah ibarat sebuah gelas kosong,” katanya, “supaya pengetahuan kita terisi ketika mewawancarai narasumber.”

Karena itu, kata dia, “hal penting yang perlu dipertimbangkan adalah, apakah jurnalis lebih banyak berbicara atau mendengarkan?”

Pendalaman materi itu diikuti praktik wawancara terkait sistem irigasi yang rusak di suatu desa di Manggarai Barat. Peserta secara berpasangan memeragakan jurnalis dan yang lain sebagai perwakilan pemerintah yang relevan.

Perseveranda Venty Rohmina, seorang anak muda asal Desa Nggorang, Kecamatan Komodo mengaku memperoleh tiga pelajaran penting dalam praktik wawancara. 

“Saya belajar berkomunikasi dengan efektif, berpikir kritis serta membangun kepercayaan diri di depan narasumber, siapapun orangnya,” kata perempuan 18 tahun itu. 

Para peserta pelatihan sedang mewawancarai seorang nelayan di Pantai Pede pada sesi praktik hari kedua, 19 Juni 2025. (Dokumentasi Konsorsium Pangan Bernas)

Cerita dari Lapangan

Pada hari kedua pelatihan, peserta belajar meliput ke tiga lokasi yang mewakili empat subsistem pangan, masing-masing produksi, distribusi, konsumsi dan pengolahan limbah.

Sebanyak 23 peserta pelatihan dibagi ke dalam empat kelompok yang turut didampingi tim Floresa

Mereka meliput ke Pantai Pede (produksi), Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Kampung Ujung (distribusi) dan Pasar Rakyat Batu Cermin atau yang kerap disebut Pasar Wae Kesambi (konsumsi dan pengolahan limbah pangan). 

Fitriatun Nisa, petani muda asal Desa Golo Bilas, Kecamatan Komodo “merasakan susahnya bertemu dan bicara dengan narasumber.”

Ia bersama enam peserta lainnya meliput ke Pantai Pede. Setiba di sana sekitar pukul 11 Wita, “nyaris tidak ada nelayan di sana.”

Hanya tiga nelayan yang berhasil mereka temui. Lainnya “sudah kembali ke rumah sejak pukul 6 Wita.”

Yohanes Heldiardus Solami, petani muda dari Desa Pantar, Kecamatan Komodo, mengaku “sedih sekaligus terharu” mendengar cerita seorang di antara nelayan itu.

Kepada Ardus, sapaan Heldiardus, nelayan itu bercerita ia melaut sejak pukul 04.00 wita dan pulang selepas tengah hari.

Juku eja–ikan kembung berwarna kemerahan–yang paling sering ia tangkap. “Itu pun tak sebanyak dulu,” kata nelayan itu seperti ditirukan Ardus, “entah mengapa sekarang sulit dapat ikan.”

Sementara itu, Asis Sanda yang meliput ke TPI Kampung Ujung mengaku “mempelajari bagaimana saya datang ke lokasi liputan dengan satu fokus persoalan yang lalu berkembang menjadi lebih kompleks.”

Keberagaman masalah di TPI Kampung Ujung itu ia temukan sesudah berbicara dengan beberapa narasumber pedagang. 

Kepedulian antar peserta  pelatihan tampak pada 19 Juni siang di TPI Kampung Ujung, seperti diceritakan Ika yang turut mendampingi mereka.

Seorang narasumber pedagang, kata Ika, meninggalkan lapak untuk makan siang. 

Ni Putu Marcella Wiryastra, peserta pewawancara, menyadari belum sempat memotret pedagang itu. 

Perseveranda Venty Rohmina lalu menemani Marcella hingga pedagang itu kembali ke lapak sebelum memotretnya sebagai pelengkap narasi berita.

“Tak hanya bekerja secara mandiri, tetapi peserta juga sekaligus belajar bekerja sebagai tim,” kata Ika tentang gagasan praktik peliputan pada hari kedua pelatihan.

Salah satu peserta pelatihan, Perseveranda Venty Rohmina tengah mewawancarai pedagang di TPI Kampung Ujung pada sesi praktik hari kedua, 19 Juni 2025. (Dokumentasi Konsorsium Pangan Bernas)

Pentingnya Memetakan Masalah

Arnoldena Safira, salah satu peserta dari Kelurahan Wae Kelambu mengaku “turut berefleksi selama tiga hari pelatihan.”

Ia bercerita kerap memasukkan opini pribadi dalam tulisan tentang ketidakadilan sosial.

Selepas pelatihan, “saya menyadari pentingnya menulis secara komprehensif supaya pembaca dapat memahami apa saja yang dihadapi korban ketidakadilan,” kata Neriah, sapaannya.

Sementara Tomas Simorangkir, staf lapangan Yakines yang sejak 2023 mendampingi warga di Desa Nampar Macing dan Desa Golo Leleng–keduanya di Kecamatan Sano Nggoang–menilai “pelatihan akan memperkuat kerja saya di lapangan.”

Dalam pelatihan, “saya belajar untuk memberi ruang yang lebih luas, tak hanya petani, melainkan juga pihak-pihak lain yang berkepentingan dalam isunya,” kata lelaki 39 tahun itu.

Pada akhir pelatihan, peserta menyusun rencana peliputan selama enam bulan mendatang. Peliputan berbasis masalah pertanian di kampung masing-masing peserta itu akan dimentori tim Floresa.

Anno dan Ika memeriksa satu per satu rencana peliputan peserta sebelum difinalkan.

Asis Sanda mengaku “belajar bagaimana menyusun rencana peliputan yang terstruktur, tajam dan relevan dengan lingkungan terdekat.”

“Saya juga belajar pentingnya mendetailkan masalah, lokasi dan narasumber dalam setiap rencana peliputan,” kata staf Yakines berusia 27 tahun itu.

Sementara Theresia Angelina Kartika Sari, petani muda dari Desa Wae Lolos, Kecamatan Sano Nggoang menyatakan pelatihan “memberikan pengetahuan akan pentingnya memetakan masalah” sebelum memulai peliputan.

“Rupanya memetakan masalah itu tak semudah bayangan. Untuk menggali masalah itu seorang jurnalis mesti datang seumpama sebuah gelas kosong,” kata Theresia.

Editor: Herry Kabut

DUKUNG KAMI

Terima kasih telah membaca artikel kami.

Floresa adalah media independen. Setiap laporan kami lahir dari kerja keras rekan-rekan reporter dan editor yang terus berupaya merawat komitmen agar jurnalisme melayani kepentingan publik.

Kami menggalang dukungan publik, bagian dari cara untuk terus bertahan dan menjaga independensi.

Cara salurkan bantuan bisa dicek pada tautan ini: https://floresa.co/dukung-kami

Terima kasih untuk kawan-kawan yang telah mendukung kami.

Gabung juga di Grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini atau di Channel WhatsApp dengan klik di sini.

BACA JUGA

spot_img

TERKINI

BANYAK DIBACA