Floresa.co – Warga menilai tidak ada jaminan proyek Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) di Mataloko, Kabupaten Ngada luput dari kegagalan, kendati Gubernur NTT, Emanuel Melkiades Laka Lena meminta PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) menyiapkan teknologi terbaik.
“Jangankan berniat datangkan teknologi ramah lingkungan, hingga saat ini PT PLN belum bisa mengurai dengan tepat penyelesaian fenomena lumpur yang muncul di mana-mana,” kata Antonius ‘Tony’ Anu, warga Desa Radabata, Kecamatan Golewa.
Berbicara kepada Floresa pada 17 Juli, ia menilai usulan Laka Lena untuk menggunakan teknologi terbaik “sebagai politik bahasa dan omong kosong demi memuluskan proyek geotermal.”
Dalam kunjungan ke PLTP yang berada di Desa Ulubelu, Kecamatan Golewa itu pada 15 Juli, Laka Lena mengingatkan PT PLN agar tidak mengabaikan berbagai catatan buruk terkait proyek itu.
“Ini bukan kedatangan kami yang pertama dan terakhir. Semua catatan dari berbagai pihak terkait dengan lingkungan tetap harus diperhatikan dan diselesaikan dengan baik,” katanya.
Laka Lena berkata, keberadaan proyek geotermal harus membawa manfaat nyata, “bukan hanya dalam bentuk energi bersih, tetapi juga tanggung jawab sosial dan keadilan bagi masyarakat lokal.”
“Kami maunya masyarakat tetap mendapat manfaat dari proyek ini, tidak ada hal-hal yang merusak lingkungan. Corporate Social Responsibility (tanggung jawab sosial perusahaan) harus jelas, bagi hasilnya juga harus bagus dan teknis pertambangan juga bagus,” katanya.
Laka Lena menegaskan pemerintah provinsi tidak akan menoleransi kelalaian teknis maupun sosial yang dilakukan pengembang proyek.
Karena itu, ia meminta PT PLN menggunakan teknologi terbaik sehingga “tak menciptakan luka baru bagi wilayah yang selama ini sudah mengalami kerentanan ekologis.”

Merespons pernyataan itu, Tony berkata, “sebaik apapun teknologi yang dipakai di lokasi geotermal, tidak ada jaminan bahwa proyek tersebut luput dari kegagalan.”
Ia mencontohkan fenomena lubang yang menyemburkan lumpur dan uap panas disertai bunyi gemuruh di Desa Wogo, Kecamatan Golewa pada pertengahan Desember 2024.
Ia menyebut proyek yang mulai dikerjakan pada 1998 di Desa Ratogesa – kini setelah pemekaran menjadi wilayah Desa Wogo – dan Desa Ulubelu juga bermasalah karena berbagai lubang bekas pengeboran mengeluarkan lumpur panas dan merusak kebun-kebun warga.
“Apakah ada teknologi yang bisa mengatasi semburan lumpur dan air yang sudah tercemar selama ini? Jawabannya, belum ada teknologi yang mampu mengatasi semua kerusakan itu,” katanya.
Tony menilai kunjungan Laka Lena itu mempunyai makna simbolik untuk “memastikan proyek tersebut terus berjalan,” kendati ditolak warga.
Ia juga mengkritisi Laka Lena yang tidak memanfaatkan kunjungan itu untuk “menyerap informasi dari warga yang kontra dengan proyek PLTP itu.”
Kunjungan Laka Lena terjadi setelah Satgas Geotermal yang dibentuknya merilis hasil investigasi terkait proyek PLTP di Flores dan Lembata.
Laporan kunjungan lapangan Satgas di PLTP Mataloko menyebut “timbulnya manifestasi baru di permukaan setelah pengeboran.”
Satgas mengklaim fenomena itu terjadi karena “pelepasan tekanan reservoir, perubahan aliran fluida bawah tanah, peningkatan permeabilitas (retakan baru), keluarnya gas H2S (hidrogen sulfida) dan bau belerang serta pencampuran dengan tanah dan lumpur.”

Satgas juga menyebut fenomena korosi pada seng atap rumah warga terjadi karena H2S dari manifestasi panas bumi yang muncul bersamaan dengan “udara dan uap air yang berpotensi membentuk senyawa asam yang sangat korosif terhadap logam, terutama seng.”
Mereka juga menyebut isu penyakit kulit dan gatal pada masyarakat di sekitar PLTP terjadi karena paparan gas H2S.
Hal ini “sangat mungkin menjadi pemicu penyakit kulit dan gatal-gatal pada masyarakat, terutama jika terjadi dalam durasi lama, serta di lingkungan lembab dan tanpa pengelolaan lingkungan yang memadai.”
Satgas juga mengakui bahwa terjadi penurunan hasil pertanian warga karena aktivitas pengeboran yang menyebabkan gas H2S terlepas dalam jumlah signifikan dan tidak ditangani dengan baik.”
Menurut Satgas, pengambilan air dari Sungai Tiwu Bala juga telah menimbulkan keresahan terjadinya penurunan debit air sungai yang berpotensi pada kurangnya air untuk kepentingan irigasi di daerah hilir dan penurunan kualitas air akibat pencemaran limbah proyek.
Dalam rekomendasinya atas temuan itu, Satgas menyebut pengembang proyek perlu segera merelokasi warga terdampak ke wilayah yang lebih aman.
Menurut Satgas, Pemerintah Kabupaten Ngada juga perlu meninjau ulang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) sebagai bentuk respons terhadap perubahan kondisi wilayah akibat dampak eksploitasi.
Di sisi lain, mereka menyarankan agar pengembangan PLTP Mataloko dan Nage diarahkan menjadi bagian dari Geopark Kabupaten Ngada.
Satgas juga merekomendasikan agar pengembang proyek perlu memeriksa secara berkala dan memitigasi kemungkinan semburan ulang, mengingat masih adanya uap yang keluar dari sumur MT-1 yang telah ditutup.
Selain itu, menurut Satgas, pengembang harus memantau sumur-sumur lain beserta area sekitarnya dan segera bertindak jika ditemukan indikasi kebocoran.
Tony Anu mengkritisi beberapa rekomendasi Satgas itu dalam konferensi pers bertajuk “Geotermal Bukan Alasan Menghancurkan Hidup Kami: Tolak Laporan Sesat Tim Teknis Gubernur NTT” yang digelar secara hybrid pada 11 Juli.
Ia mempersoalkan salah satu rekomendasi Satgas yang menyebut PT PLN segera merelokasi warga terdampak ke wilayah yang lebih aman.
Menurutnya, “relokasi apapun bentuknya tidak menutup dan menyelesaikan masalah.”
“Saya bingung mengenai isi rekomendasi Satgas karena tidak dijelaskan detail. Apakah semua warga direlokasi?” katanya.
Tony berkata, upaya paksa pemerintah dan PT PLN meloloskan proyek menyebabkan “akan ada banyak korban atau warga yang melakukan relokasi mandiri.”
“Tidak jauh dari lokasi semburan lumpur panas, warga terdampak dari Kampung Turetogo, Desa Wogo sudah melakukan relokasi mandiri, tanpa ada bantuan pemerintah dan perusahaan,” katanya.
Tony juga mengkritisi langkah Pemerintah Kabupaten Ngada yang ingin meninjau ulang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) sebagai bentuk respons terhadap perubahan kondisi wilayah akibat dampak eksploitasi proyek itu.
Kendati tim Satgas tak menyebut perluasan RTRW dalam rekomendasi itu, Tony berkata, peninjauan ulang RTRW diperkirakan seluas 992,6 hektare.
Ia menduga RTRW seluas itu digunakan sebagai wilayah pengembangan pertambangan.
Jika itu terjadi, kata Tony, maka dapat dipastikan terjadi pengrusakan terhadap lahan pertanian dan pemukiman warga.
“Lahan yang digunakan warga Mataloko saat ini didominasi lahan yang sangat produktif. Di wilayah yang sama juga terjadi penambahan jumlah penduduk,” kata Tony.

PLTP Mataloko yang dibangun di atas lahan 210.700 meter persegi dan menargetkan energi listrik sebesar 2×10 MW.
Proyek itu diperkirakan menelan anggaran Rp101,8 miliar.
Lokasinya berada di Kecamatan Golewa, sekitar 15 kilometer arah timur dari Bajawa, ibu kota Kabupaten Ngada.
Proyek ini gagal berulang yang berujung kemunculan lumpur dan uap panas di kebun milik warga sejak 2006.
Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral dan PT PLN mengakui kegagalan itu, menyebut dua sumur pengeboran awal “tidak memenuhi syarat sebagai pemasok uap PLTP Mataloko.”
Kerusakan tersebut sempat diperbaiki, yang membuat PLTP Mataloko bisa beroperasi pada 2010. Namun, pada tahun berikutnya terjadi kerusakan pada sistem pembangkit.
Pada 2013 hingga 2015, PLTP kemudian kembali beroperasi, sebelum kemudian tidak berfungsi lagi karena uap berkapasitas 5 MW tidak dapat menggerakkan turbin.
Setelah kegagalan itu, pada 2019, pengerjaannya dimulai kembali. Namun, target operasi dari proyek di lokasi yang menyimpan potensi panas bumi 60 MW cadangan terduga tersebut dihentikan pada tahun berikutnya karena kembali memunculkan belerang.
Laporan Floresa pada 15 Desember 2023 mengungkap cerita kegetiran warga di sekitar lokasi tersebut, yang telah merasakan dampak, seperti rusaknya lahan pertanian, keroposnya atap rumah dan munculnya penyakit.
Dampak lainnya adalah rasa takut munculnya lubang-lubang semburan lumpur bercampur uap panas di pemukiman mereka.
Editor: Herry Kabut