Floresa.co – Warga Matalako di Kabupaten Ngada dan Atadei di Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur mengkritik temuan tim satuan tugas (Satgas) bentukan Gubernur Emanuel Melkiades Laka Lena terkait hasil uji petik atau investigasi di lokasi proyek geotermal di wilayah mereka.
Mereka menyebut rekomendasi Satgas itu sarat manipulasi demi meloloskan proyek di berbagai lokasi di Pulau Flores dan Lembata.
Antonius ‘Tony’ Anu, warga Desa Radabata, Kecamatan Golewa, Kabupaten Ngada, yang berbicara dalam konferensi pers daring pada 11 Juli mempersoalkan salah satu rekomendasi Satgas yang menyebut PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) segera merelokasi warga terdampak ke wilayah yang lebih aman.
Menurut Tony, “relokasi apapun bentuknya tidak menutup dan menyelesaikan masalah.”
“Saya bingung mengenai isi rekomendasi Satgas karena tidak dijelaskan detail. Apakah semua warga direlokasi?” kata Tony.
Sementara Andreas Baha Ledjap, Ketua Forum Komunikasi Pemuda Atakore, Kabupaten Lembata menilai kunjungan tim tersebut ke kampungnya pada Mei bertujuan sama seperti tim sebelumnya, yaitu “membatasi akses atau keterlibatan masyarakat secara luas.”
Andre berkata, klaim sepihak dalam temuan Satgas yang menyebut “seluruh masyarakat di Desa Nubahaeraka mendukung penuh proyek” karena “warga yang bertemu Satgas hanya pemilik lahan dan pemangku hak ulayat saja.”
Sementara, “warga umum lainnya tidak dilibatkan,” kata Andre.
Selain Tony dan Andre, konferensi pers itu menghadirkan perwakilan warga dari Wae Sano, Kabupaten Manggarai Barat; Poco Leok, Kabupaten Manggarai; dan Sokoria, Kabupaten Ende.
Upaya Sembunyikan Dampak Buruk
Tim satgas menemukan berbagai fakta terkait proyek geotermal Mataloko, yang diikuti rekomendasi yang intinya tetap mendorong kelanjutan proyek.
Tony berkata, upaya paksa pemerintah dan PT PLN meloloskan proyek menyebabkan “akan ada banyak korban atau warga yang melakukan relokasi mandiri.”
“Tidak jauh dari lokasi semburan lumpur panas, warga terdampak dari Kampung Turetogo, Desa Wogo sudah melakukan relokasi mandiri, tanpa ada bantuan pemerintah dan perusahaan,” katanya.
Selain itu, Tony juga mengkritisi langkah Pemerintah Kabupaten Ngada yang ingin meninjau ulang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) sebagai bentuk respons terhadap perubahan kondisi wilayah akibat dampak eksploitasi proyek itu.
Kendati tim Satgas tak menyebut perluasan RTRW dalam rekomendasi itu, Tony berkata, peninjauan ulang RTRW diperkirakan seluas 992,6 hektare.
Ia menduga RTRW seluas itu digunakan sebagai wilayah pengembangan pertambangan.
Jika itu terjadi, kata Tony, maka dapat dipastikan terjadi pengrusakan terhadap lahan pertanian dan pemukiman warga.
“Lahan yang digunakan warga Mataloko saat ini didominasi lahan yang sangat produktif. Di wilayah yang sama juga terjadi penambahan jumlah penduduk,” kata Tony.

Ia juga mempertanyakan sumur MT-1 yang telah ditutup perusahaan, yang menurut Satgas perlu diperiksa secara berkala dan “mitigasi terhadap kemungkinan semburan ulang mengingat masih adanya uap yang keluar dari area tersebut.”
Menurut Tony, “penutupan fakta tentang semburan lumpur adalah salah satu upaya menyembunyikan keburukan proyek geotermal.”
“Bagaimana mungkin dampak kerusakan itu ditutup-tutupi. Faktanya, semburan lain juga muncul di rumah warga di luar lokasi pengeboran,” katanya.
Terkait pengambilan air dari Sungai Tiwu Bala untuk kepentingan proyek yang menimbulkan penurunan debit dan berdampak pada kurangnya air irigasi pertanian di daerah hilir, Tony bertanya “kalau airnya sudah tercemar, lalu dari mana sumber air untuk proyek geotermal di Matoloko?”
Dalam laporan Satgas, kualitas air sungai itu memang diakui menurun akibat pencemaran limbah proyek.
Tony berkata, saat ini “hampir semua air di sekitar daerah Mataloko banyak digunakan warga menjadi sumber utama untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari serta mengairi sawah.”
“Warga sekarang sadar, Sungai Tiwu Bala sebagai sumber kebutuhan sehari-hari dan untuk persawahan berpotensi dicemari,” kata Tony.
“Banyak warga Ngada bagian selatan mulai menolak proyek geotermal,” tambahnya.
Tidak Melibatkan Seluruh Warga
Menurut Satgas, masyarakat di lingkar proyek geotermal Atadei antusias untuk segera menikmati listrik hasil produksi PLTP.
Selain itu, klaim Satgas, masyarakat telah merasakan manfaat program tanggung jawab sosial dari PT PLN berupa pendampingan di sektor pertanian.
Romo Firminus Dai Koban, imam Keuskupan Larantuka yang aktif mendampingi warga menyebut seluruh “warga Desa Atakore menolak proyek geotermal di Atadei.”
“Pada saat tim Satgas data sosialisasi, pemilik lahan yang menolak tidak hadir,” kata Romo Firminus.
Di satu sisi, “sebagian warga Desa Nubahaeraka juga menolak,” hal yang bertolak belakang dengan klaim Satgas.
Apalagi, kata dia, kepemilikan lahan warga di Desa Nubahaeraka tidak berkaitan dengan lahan adat, sebagaimana kepemilikan lokasi “dapur alam” – merujuk pada titik mata air panas – yang berada di Desa Atakore.
“Saya tegaskan memang saat sosialisasi di Desa Nubahaeraka tahun lalu, supaya jangan bor di dapur alam, karena tanah itu berkaitan dengan adat,” kata Romo Firmin.
Di dapur alam yang menjadi titik yang ditargetkan PT PLN di Atadei, terdapat lokasi ritus Ploe Kwar, yaitu pemberian makan kepada Ina Kar sebagai simbol syukur atas hasil panen, dan sebagai syarat awal dilakukannya upacara bakar jagung atau Tun Kwar bagi suku-suku yang ada di Desa Atakore.
“Data mana yang dijadikan rujukan oleh tim investigasi yang katanya independen itu?” kata Andreas Baha Ledjap.

Pernyataan Satgas yang juga dikritisi Andre adalah mengenai klaim bahwa kelompok pendukung proyek menerima rencana pengembangan dan masih membutuhkan informasi lanjutan dari para ahli geotermal dan lingkungan mengenai dampak eksplorasi.
Menurut Satgas, para pemilik lahan yang mendukung berharap dapat melakukan studi banding ke lokasi PLTP lain yang berhasil.
Jika studi itu benar dilakukan, kata Andre, maka itu menunjukkan “keraguan warga atas berbagai dampak dan daya rusak dari PLTP.”
Namun, katanya, hal itu menyiratkan dugaan adanya pihak lain yang menghendaki studi banding kedua bersama PT PLN.
“Tim Satgas harus jujur, pemilik lahan mana yang mau diajak melakukan studi bandung? Lalu, kenapa ke PLTP yang dipandang berhasil? Semua ini tidak dijelaskan secara gamblang,” kata Andre.
Kritikan lain yang disampaikan Andre mengenai kejanggalan selama pertemuan Satgas dengan warga yang digelar di lopo dapur alam pada 23 Mei.
Ia menyebut surat bernomor 400.10/26/KCA/V/2025 yang dikeluarkan pada 18 Mei dan ditandatangani Camat Atadei, Marianus Demoor tidak melibatkan seluruh warga Desa Atakore.
Andre juga mempertanyakan hasil temuan Satgas yang menyebut rencana eksplorasi dan eksploitasi di Atadei mencapai 32 kilometer persegi.
“Jika (luasan itu) dikonversi, menjadi 3.200 hektare,” katanya.
“Temuan tim ini mencakup kampung dan wilayah apa saja, tidak dikatakan dalam sosialisasi. Kami jadinya buta tentang informasi yang disampaikan mereka saat itu,” lanjutnya.
Selain itu, menurut Andre, dalam kunjungan itu tim Satgas menjelaskan kehadiran mereka tidak untuk menjawab pertanyaan warga.
“Faktanya mereka justru menjawab bahkan menjelaskan bahwa salah satu pemilik lahan meminta agar ahli menjelaskan segala dampak, baru setelah itu mereka memutuskan mendukung atau menolak.”
“Penjelasan itu terbukti dari slide presentasi di mana ahli geotermal dan lingkungan memberikan jawaban mereka,” kata Andre.
Fakta lain yang juga diabaikan Satgas, menurutnya, adalah tentang polemik pemasangan pilar yang menimbulkan keresahan bagi warga.
“Warga saat ini cemas karena pemasangan pilar itu tanpa sepengetahuan pemilik lahan,” katanya.
Menurutnya, Satgas sengaja menyepelekan fakta lain bahwa telah terjadi pemasangan pilar oleh tim pengadaan lahan yang hingga saat ini belum dijelaskan alasannya.
Karena itu, Forum Komunikasi Pemuda Atakore dan seluruh warga tetap menolak rencana eksploitasi geotermal di wilayah itu.
Rekomendasi dari Satgas, kata da, dengan jelas “berusaha mengabaikan penolakan warga, karena lebih banyak sosialisasi dampak positif PLTP.”
Ia juga berkata, Melki Laka Lena seharusnya menghentikan pemaksaan terhadap warga untuk menerima proyek, baik “secara halus maupun struktural dengan berbagai bentuk bujukan dan rayuan.”
Perlindungan dan penghargaan terhadap kehidupan warga yang mencakup tanah, air, tumbuhan dan berbagai ritus adat merupakan bagian dari proses berdemokrasi, katanya.
Editor: Anno Susabun